Tidak Ada Hak Menerima Mantan Anggota ISIS Kembali ke Indonesia
Cari Berita

Advertisement

Tidak Ada Hak Menerima Mantan Anggota ISIS Kembali ke Indonesia

Minggu, 23 Juni 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
foto anggota negara islam yang ingin pulang ke indonesia
Video beberapa WNI Indonesia yang ingin pulang dari Suriah setelah kebangkrutan ISIS ternyata tidak memiliki alasan lagi yang membenarkan mereka kembali ke pangkuan NKRI karena mereka tidak lagi mengakui Indonesia sebagai rumah dan negara.
Oleh Iqbal Aji Daryono

Dutaislam.com - Pagi tadi saya ikut menonton video itu. Seorang perempuan bercadar mengatakan ia ingin "pulang" ke Indonesia. ISIS telah bangkrut, lebih dari 900 orang mantan "warga" ISIS asal Indonesia kehilangan induk, dan mbak-mbak bercadar itu ingin kembali ke kampung halamannya dengan jaminan keamanan.

Menyimak video itu, saya jadi ingat satu peristiwa di dekat kompleks saya, waktu keluarga kami masih menumpang tinggal sementara di Australia.

Alkisah, seorang lelaki paruh baya dipenjara. Pasal yang menjeratnya sangat serius dan sensitif, yaitu kejahatan seksual berulang-ulang kepada anak-anak. Setelah sekian tahun menjalani masa hukumannya, tibalah saat lelaki itu kembali bebas. Secara hukum ia memang sudah berhak pulang ke rumahnya, yang jaraknya tak seberapa jauh dari kompleks kami.

Warga pun protes. Tak cuma para penghuni kampung tempat tinggal si mantan predator, bahkan juga guru-guru di sekolah yang lokasinya cuma sepelemparan batu dari kampung tersebut.

Jelas, mereka paham sekali bahwa secara legal si mantan predator sudah memenuhi kewajibannya. Dia sudah tuntas menjalani hukuman, dan semestinya hak-hak hukumnya dikembalikan. Akan tetapi, rasa takut itu tak dapat dimungkiri. Tak terkecuali pada diri kami sendiri.

Kami punya anak perempuan. Waktu si mantan predator itu dikeluarkan dari penjara, anak kami berumur menjelang tujuh tahun. Dapat Anda bayangkan, bagaimana perasaan kami jika anak kami berada di luar rumah, sementara hilir mudik di dekatnya seorang lelaki berotot yang punya rekam jejak sebagai predator seksual dengan anak-anak sebagai sasaran rutinnya!

Baca: Pernahkah Kalian Melihat Mujahidin Cium Mesra Pipi Kafir Zionis? Jawab: Lha Ini Fotonya!

Kasus anak kami dapat sedikit diabaikan, karena toh dia selalu kami antar-jemput ke dan dari TK-nya. Namun, ada banyak tetangga kami yang biasanya membebaskan anak-anak mereka untuk bermain-main di halaman rumah, main sepeda, dan sebagainya. Bagaimana dengan mereka?

Ketakutan itu pun menjadi ketakutan komunal. Sekali lagi, warga kampung bukannya tak sadar hukum. Namun, ada ketakutan massal yang berdiri nyata di atas hukum.

Situasi ini lumayan sulit. Dalam kasus-kasus bernuansa rasis, misalnya, cara membacanya bakalan lebih gampang. Perasaan terancam hanya karena suatu warna kulit dengan mudah dapat digolongkan sebagai prasangka ras. Itu perasaan yang berbau stigma, karena jahatnya seratus orang berkulit anu tidak meniscayakan kejahatan seribu orang lainnya dari warna kulit yang sama.

Namun, ketakutan kepada seorang mantan predator seksual, meski ia telah menjalani hukuman dan rehabilitasi sekalipun, tidak bisa dipandang semata-mata sebagai prasangka. Lha wong rekam jejaknya jelas ada.

****

Saya tak tahu bagaimana kelanjutan kasus protes warga kepada kepulangan si mantan predator seksual itu. Yang jelas, kasus itu terlintas kembali di kepala saya begitu saja, saat pagi tadi berita warga ISIS yang ingin "pulang" terangkat lagi.

Sudut pandang pertama yang saya ingin sampaikan sederhana saja. Ada orang-orang yang merupakan mantan anggota kelompok berbahaya ingin bergabung kembali ke dalam masyarakat lamanya. Sebagian di antara orang-orang itu bahkan pernah jadi kombatan, pernah menembaki orang-orang yang berbeda keyakinan, pernah meledakkan ini-itu sebagai manifestasi ideologi dan perjuangan.

Lalu, apakah benar warga masyarakat yang menolak orang-orang itu untuk kembali berdekatan dengan mereka adalah warga yang bodoh, jahat, kejam, tidak berperikemanusiaan, dan kurang sarapan HAM?

Itu baru sudut pandang pertama, terkait kekhawatiran manusiawi sekaligus kekhawatiran yang wajib didengarkan pula oleh negara. Adapun perspektif kedua terkait status para mantan warga ISIS yang ingin "pulang" itu.

Sengaja kata "pulang" saya bubuhi tanda petik, karena konsep pulang di sini pasti memunculkan gugatan baru.

Begini maksud saya. Ketika orang-orang itu pergi meninggalkan Indonesia dalam proyek hijrah mereka, apa yang mereka datangi? Ya, mereka datang dan bergabung ke dalam suatu entitas politik yang bukan cuma berada di luar negara Indonesia, melainkan juga menerapkan sistem yang sama sekali berbeda.

Sistem itu bukan negara-bangsa sebagaimana Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Mereka bukan cuma meninggalkan wilayah negara Indonesia secara geografis, namun juga meninggalkan keanggotaan dalam sebuah negara bernama Republik Indonesia, bahkan meninggalkan keikutsertaan dalam konsep negara-bangsa mana pun.

Gampangnya, sudah pasti mereka keluar dari status warga negara Indonesia (WNI).

Bukti keluarnya mereka dari status WNI itu bukan cuma berdasarkan logika dan etika sebagaimana saya sampaikan barusan. Sebab, ada prosesi konkrit yang menunjukkan bahwa mereka memang secara demonstratif menyatakan bukan lagi WNI, yaitu dengan aksi-aksi pembakaran paspor Republik Indonesia.

Paspor, selain KTP, adalah bukti legal tertulis atas status kewarganegaraan seseorang. Membakarnya dalam sebuah agenda pernyataan publik yang disebarkan ke mana-mana, secara substantif, sudah sangat layak dipandang sebagai momen dilepasnya status sebagai WNI.

Kalau argumen yang bersifat "hakikat paspor" itu kurang memuaskan, kita bisa langsung menengok dasar hukumnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007, ada sembilan hal yang menyebabkan hilangnya kewarganegaraan Indonesia. Saya kutip enam saja yang paling relevan.

Pertama, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. Kedua, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin Presiden. Ketiga, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia. Keempat, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Baca: Tanda Bahaya Bila TNI Sudah Terpapar Ikut Barisan Shalat ala Wahabi

Kelima, tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing. Keenam, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.

Saya agak bingung mengidentifikasi ISIS, apakah mereka "negara" atau bukan. Yang jelas mereka entitas politik yang punya sistem tata pemerintahan sendiri, dengan wilayah geografis sendiri, dengan pemimpin sendiri, dan warga mereka masuk ke sistem tersebut sambil melepaskan diri dari sistem thaghut lama (negara) yang telah mereka tinggalkan.

Artinya, enam poin dari Peraturan Pemerintah yang saya kutip tersebut sudah sangat meyakinkan secara administratif-legal untuk menyatakan bahwa para mantan warga ISIS tidak lagi berstatus warga negara Indonesia.

Hilangnya status WNI itu membawa konsekuensi-konsekuensi lanjutan.

Pertama, negara Republik Indonesia tidak lagi bertanggung jawab secara legal atas mereka. Negara mana pun hanya bertanggung jawab atas warganya, bukan atas siapa pun yang lahir di wilayahnya. Kalau Anggun C Sasmi yang kelahiran Jakarta itu mendapat masalah keimigrasian di Amerika, yang sibuk bukan Kedutaan Besar Republik Indonesia, melainkan Kedutaan Besar Prancis.

Sewaktu Myuran Sukumaran diancam hukuman mati di Indonesia, yang ribut adalah pemerintah Australia. Sebab dia warga negara Australia, meski berdarah Sri Lanka dan lahir di London.

Kedua, posisi para mantan warga ISIS itu bagi negara Indonesia setara saja dengan warga negara asing lainnya. Artinya, kalau memang isu yang mau diangkat adalah kemanusiaan, ada banyak isu kemanusiaan lain yang bisa diambil Indonesia untuk membantu warga dunia. Menampung pengungsi dari Rohingya kek, Suriah kek, Zimbabwe kek, Venezuela kek. Toh ini urusannya sama-sama kemanusiaan.

(Eh, sebelum ke warga dunia, proyek kemanusiaan ke warga negara sendiri bisa pula ditengok. Itu para pengungsi Syiah Sampang apa kabar?)

Ketiga, karena para mantan warga ISIS itu bukan lagi WNI, sementara itu mereka juga bukan warga negara-bangsa mana pun, semestinya tanggung jawab kemanusiaan atas mereka diambil oleh masyarakat dunia bersama-sama. Terkesan kita cuci tangan, memang. Tapi apa benar radikalisasi mereka itu kesalahan Indonesia?

Keempat, sulit juga menyatakan bahwa "mereka ingin pulang". Pulang adalah kembali ke rumah. Padahal, mereka tak lagi mengakui bahwa Indonesia rumah mereka. Kalau mereka ingin ke Indonesia, istilahnya bukan pulang, melainkan migrasi.

Kalau migrasi, ya semestinya mengajukan visa dulu. Entah visa kerja, visa studi, atau visa turis. Nanti seiring proses, mereka bisa mengajukan kewarganegaraan Indonesia. Tentu saja terserah Kantor Imigrasi Indonesia apakah akan menerima permohonan kewarganegaraan dari mereka. Dan, tentu juga terserah Kedubes RI (Kedubes RI Cabang ISIS?) apakah akan memberi mereka visa.

Ada beberapa kawan yang mengibaratkan mereka itu cuma khilaf dan berselingkuh saja. Setelah insyaf, mereka ingin kembali ke pasangan resminya.

Saya tidak sepakat dengan analogi itu. Bagi saya, mereka bukan cuma berselingkuh, melainkan sudah bercerai. "Surat nikah" mereka sudah mereka bakar dan hancurkan, status "pernikahan" mereka dengan Republik Indonesia sudah sejak awal mereka nyatakan bubar, sebab mereka menikahi pasangan baru dengan sumpah-janji yang juga baru.

Maka, ibaratkan ada seorang perempuan menceraikan suaminya karena terpikat lelaki lain yang mengaku-ngaku juragan batubara. Setelah secara sah dia menikahi lelaki itu, ternyata citra kaya raya si lelaki itu ketahuan palsu belaka. Si perempuan kecele, meninggalkan si "juragan batubara" yang bangkrut tiba-tiba, kemudian kembali ke mantan suaminya sambil bilang, "Yang, terima aku kembali ya."

Tentu tidak berlebihan kalau si mantan suami menjawab dengan nada dingin, "Hehehe. Tidak semudah itu, Esmeralda!". [dutaislam.com/ab]

Iqbal Aji Daryono, esais, tinggal di Bantul

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB