Benarkah Puasa Syawal Penanda Maqbulnya Puasa Ramadhan?
Cari Berita

Advertisement

Benarkah Puasa Syawal Penanda Maqbulnya Puasa Ramadhan?

Duta Islam #04
Selasa, 21 Mei 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Penjelasan puasa syawal sebagai penanda maqbulnya puasa Ramadhan (sumber: istimewa)
Idul fitri merupakan perayaan umat Islam setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan, umat Islam tidak diperkenankan makan dan minum di siang harinya. Maka, pada hari raya idul fitri, umat Islam diperbolehkan untuk menikmati makanan dan minuman, bahkan haram kalau berpuasa di hari itu.

DutaIslam.Com – Ketidakbolehan berpuasa di hari raya idul fitri merupakan penghormatan kepada umat Islam yang telah merayakan kebagian setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Pada hari pertama bulan Syawal, umat Islam menikmati anugerah dan nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Umat Islam disunahkan berpuasa lagi mulai hari kedua bulan Syawal. Kesunahan berpuasa di bulan Syawal selama enam hari sebagai penyempurna ibadah puasa Ramadhan. Imam Muslim meriwayatkan hadis, bahwa Rasululullah bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang tahun.”

Baca: 5 Tips Sukses Ibadah Ramadhan

Dikatakan di dalam kitab Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, sebagian ulama fikih mengamini bahwa kesunahan puasa selama 6 hari pada bulan Syawal berlandaskan hadis sebagaimana penjelasan di atas.

ذَهَبَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ صِيَامَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ سُنَّةٌ لِحَدِيثِ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Sebagian ulama fikih berpendapat bahwa hukum puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah karena berlandaskan hadis, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti puasa sepanjang tahun” ( al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 287).

Dari penjelasan di atas, puasa enam hari di bulan Syawal dan puasa Ramadhan dinilai seperti puasa satu tahu. Ada kesan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal melengkapi ibadah puasa Ramadhan. Apakah puasa enam hari di bulan Syawal merupakan penanda diterimanya ibadah puasa Ramadhan.

Menurut Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki banyak faedah. Salah satu faedah menjalankan ibadah puasa enam hari di bulan Syawal adalah sebagai salah satu indikasi diterimanya ibadah puasa Ramadhan.

Baca: 5 Amalan Utama di Bulan Ramadhan


Imam Ibnu Rajab menjabarkan pendapatnya di atas, bahwa suatu amal kebaikan ketika diterima Allah SWT, niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya untuk melakukan suatu kebaikan lain. Dalam hal ini, melaksanakan ibadah puasa Ramadhan adalah suatu kebaikan, puasa enam hari di bulan Syawal juga merupakan kebaikan .

Ketika umat Islam berpuasa selama enam hari di bulan Syawal pasca menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, artinya umat Islam beralih dari suatu kebaikan ke kebaikan lain. Sebagaimana yang dijelaskan Imam Ibnu Rajab di atas, penanda diterimanya suatu amal kebaikan adalah diberikannya taufik untuk melakukan kebaikan lain. Maka bisa jadi melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal menjadi penanda bahwa diterimanya ibadah puasa Ramadhan di sisi Allah SWT.

Pendapat Imam Ibnu Rajab selaras dengan pernyataan sebagian ulama yang mengatakan pahala suatu kebaikan adalah kebaikan lain yang dikerjakan setelahnya. Kebaikan yang diiringi dengan kebaikan lain setelahnya merupakan penanda diterimanya kebaikan tersebut. Pun demikian, dengan suatu keburukan.

Baca: 3 Hal Keistimewaan Bulan Ramadhan


كَمَا قَالَ بَعْضُهمْ : ثَوَابُ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا فَمَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اَتْبَعَهَا بَعْدَهَا بِحَسَنَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى قَبُولِ الْحَسَنَةِ الأُولَى كَمَا أَنَّ مَنْ عَمِلَ حَسَنَةً ثُمَّ اَتْبَعَهَا بِسَيِّئَةٍ كَانَ ذَلِكَ عَلَامَةَ رَدِّ الْحَسَنَةِ وَ عَدَمِ قَبُولِهَا

“Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, pahala kebaikan adalah kebaikan yang dilakukan setelahnya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan kemudian mengiringinya dengan kebaikan lain, maka hal itu menjadi salah satu penanda diterimanya kebaikan sebelumnya (di sisi Allah SWT).

Begitupula dengan orang yang melakukan kebaikan, kemudian mengiringinya dengan kejelekan, maka hal itu menjadi salah satu penanda tidak diterimanya kebaikan yang telah ia lakukan (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaiful Ma’arif fi Ma li Mawasimil ‘Am wal Wazha`if, 301). [dutaislam.com/in]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB