Kisah Mantan HTI Keluar Karena Doktrin 'Dosa Besar Tidak Berjuang Tegakkan Khilafah'
Cari Berita

Advertisement

Kisah Mantan HTI Keluar Karena Doktrin 'Dosa Besar Tidak Berjuang Tegakkan Khilafah'

Duta Islam #02
Senin, 22 Juli 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Syaiful Wijayanto dan Ainur Rofiq Al Amin. (Foto: FB Ainur Rofiq Al Amin)
Oleh Ainur Rofiq Al Amin

DutaIslam.Com - Tadi malam, saya didatangi tamu yang ternyata mantan eks-HTI bernama Mas Syaiful Wijayanto. Dia mulai ikut halaqah umum pada tahun 2008 tepatnya di masa akhir SMA-nya di sebuah SMA NEGERI di Jombang. Dalam waktu 1 bulan mengikuti halaqah umum, ia pun mantap untuk menjadi bagian dari HTI dengan menaikkan statusnya dari halaqah umum menjadi darisin.

Proses halaqah umum tersebut ia jalani di bawah bimbingan seorang musyrif (alm) Bapak B seorang Guru di MAN Kab. Mojokerto yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Singkat cerita, ia melanjutkan kuliah di UIN Maliki Malang jurusan Pendidikan Agama Islam, dan sekitar tahun 2011 atau 2012 (ia lupa-lupa ingat tahun persisnya) ia pun mantap untuk diambil sumpah setianya (qosam) sebagai syarat menjadi anggota HTI yang kemudian dikenal dengan istilah hizbiyyin.

Pengalamannya menjadi pengelola maktab HTI menjadikannya banyak mendapat informasi penting seluk beluk gerakan dan aktifitas para tokohnya yang singgah di Malang.

Suatu saat ia ditelpon oleh salah satu petinggi HTI Malang yang juga berprofesi sebagai Guru Agama Islam di sebuah SMAN di Malang yang berstatus ASN untuk menyiapkan maktab karena akan ada orang DPP HTI yang ditugaskan mengontak militer di Malang untuk tujuan tholabun nushroh.

Tahun 2011, ketika liburan semester ia pulang kampung dan menghadiri pertemuan salah satu tokoh HT dari Timur Tengah di PP Al-Mimbar Sambong Jombang. Tokoh itu adalah Ahmad Al Qossos penulis kitab "Usus al Nahdlah al Rasyidah".

Kenapa dia keluar?
Tahun 2013, setelah lulus kuliah ia memutuskan untuk pulang kampung dan berpamitan kepada pengurus HTI Malang. Waktu itu tidak terbetik sedikitpun bahwa niatnya pulang meninggalkan Malang adalah untuk berhenti dari HTI. Justru ia berpikiran ingin melebarkan sayap “dakwah” HTI di kampungnya.

Setelah kepindahannya ke Jombang nampaknya ia merasakan suasana yang berbeda sama sekali dengan suasana kampus. Interaksinya dengan masyarakat membuka cara berpikirnya. Ia pun mulai menyadari ada yang salah dengan aktivitasnya selama ini di HTI. Melalui perenungan yang mendalam ia pun berkali-kali shalat istikhoroh. Semakin hari keyakinannya untuk meninggalkan HTI semakin mantap. Ia pun memutuskan untuk keluar dari HTI.

Hingga suatu hari mas’ul (ketua) HTI Jombang wilayah utara Brantas (Ploso, Kabuh, Kudu, dan Ngusikan) baru menghubunginya via sms untuk diajak melanjutkan halaqohnya yang di Malang sebelumnya. Namun ia menolak dan menyampaikan keinginannya untuk berhenti dari HTI.

Hingga suatu malam mas’ul HTI tersebut datang ke rumahnya, namun ia sudah bulat untuk menolak melanjutkan halaqoh. Hingga suatu hari berikutnya ia diajak bertemu dengan pimpinan DPD II HTI Jombang bernama AF yang waktu itu adalah Guru SMAN di sebuah kecamatan di Jombang. Pertemuan ketiganya dilakukan di masjid Jami’ Bedah Lawak Kecamatan Tembelang.

Setelah AF menanyai alasan keluar, maka ia pun mengajukan 10 poin alasan keluarnya terdiri dari 9 poin terkait pemikiran HTI dan 1 poin tentang fakta keburukan perilaku oknum syabab-syabab HTI Malang. Dari 10 poin tersebut, hanya 1 poin yang ditanggapi, sedangkan 9 poin tentang pemikiran HTI itu hanya ditanggapi dengan kalimat “ya untuk 9 poin ini perlu kita diskusikan di lain waktu”

Ia pun menunggu tanggapan mas’ul AF tentang 9 poin tersebut, namun waktu berjalan tidak ada realisasi janji tersebut, yang ada malah ia diminta ikut dulu saja halaqoh dan rapat-rapat yang diadakan HTI Jombang. Namun ia menolak karena ia sudah hafal dengan siasat syabab-syabab HTI.

Adakah kecaman atau olok-olok setelah dia keluar? Pasti ada, semisal, seorang temannya yang dari Madura dan juga anggota eks-HTI menyindir bahwa keluarnya karena sudah nyaman masuk PNS. Aneh kan? Padahal banyak anggota eks-HTI yang jadi PNS/ASN hingga saat ini. Terlebih lagi sejatinya dia keluar tahun 2013 dan diterima menjadi PNS sebagai guru SMP tahun 2015.

Lalu apa alasan dia keluar? Yang pokok adalah adanya doktrin dalam kitabnya bahwa sesiapa yang tidak berjuang menegakkan khilafah, maka baginya dosa besar yang akan diterima. Dia merenungi hal itu sambil bertanya kepada diri sendiri, apakah orangtuanya dan keluarganya juga akan menanggung dosa besar? Hal ini yang mendorong dia berani mempertimbangkan untuk menolak doktrin dosa besar, ditambah ada acara di TV 9 yang waktu itu narasumbernya salah seorang Habaib dari Madinah menyatakan tidak ada dosa besar kalau tidak menegakkan sistem khilafah. Maka dia dengan mantap berani keluar dari HTI.

Namun yang perlu dicermati juga, adanya doktrin dosa besar ini pula yang membuat dia awalnya gamang dan tidak berani keluar. Banyak teman-temannya yang juga kemakan doktrin itu sehingga terbelenggu dalam dekapan atau cengkraman ormas yang sudah dilarang ini tanpa berani keluar.

Saat ini dia berjuang bersama NU dengan mengikuti kegiatan NU di kampungnya. Dia bertekad mengisi NKRI dengan ajaran Islam yang rahmah dan ramah. [dutaislam.com/gg]

Source: Ainur Rofiq Al Amin

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB