Kenapa Harus Kitab Kuning ? Tidak Langsung Al-Qur'an dan Sunnah Saja ?
Cari Berita

Advertisement

Kenapa Harus Kitab Kuning ? Tidak Langsung Al-Qur'an dan Sunnah Saja ?

Duta Islam #07
Kamis, 25 Juli 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Taqlid pada ulama
Taqlid pada ulama. Foto: istimewa
Sebenarnya judul yang lebih tepat seharusnya “Kenapa Harus Bermadzhab dan Taqlid Kepada Ulama?” karena yang dimaksud dengan menggunakan kitab kuning ialah ikut salah satu Madzhab dalam arti taqlid kepada Ulama. mari kita ulas kenapa kita harus Taqlid dan bermadzhab.

DutaIslam.Com - Fenomena penolakan sebagian kalangan terhadap konsep taqlid untuk kaum awam menimbulkan polemik bagi ummat Islam, terutama bagi orang seperti kita yang tiada memiliki kemampuan untuk memahami agama langsung dari sumbernya yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits).

Disamping itu keengganan untuk bermadzhab (Taqlid) telah serta merta membangkitkan semangat sebagian ummat Islam untuk beristinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah) tanpa disertai sarana yang memadahi. Dan akibatnya dapat kita rasakan, betapa spirit agama yang semestinya adalah “Rahmatan Lil ‘Alamiin” berubah menjadi “Fitnah Perpecahan” diantara sesama ummat Islam.

Oleh karenanya sebelum kita melepaskan diri dari mata rantai bermadzhab (Taqlid) sebaiknya kita bercermin diri setidaknya tentang beberapa hal :

Pertama : Adakah kita telah memahami bahasa arab dengan benar ?

Memahami bahasa arab dengan benar adalah sarana pertama yang mesti kita kuasai, mengingat dua sumber utama dalam Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah yang notabene menggunakan bahasa arab dengan mutu yang sangat tinggi. Ilmu yang mesti kita kuasai dalam bidang ini setidaknya meliputi Gramatika Arab (Nahwu-Shorof), Sastra Arab /Balaghoh (Badi’, Ma’ani, Bayan), Logika Bahasa (Manthiq) Sejarah Bahasa, Mufrodat, dan seterusnya.

Hal ini penting guna meminimalisir kesalahan dalam mengidentifikasi makna yang dikehendaki syari’at dari sumbernya secara Harfiyah (Tekstual), juga untuk mengidentifikasi nash-nash yang bersifat ‘Am, Khosh, berlaku Hakiki, Majazi dan seterusnya

Perihal yang naif jika kita berani mengatakan “Halal-Haram, Sah-Bathil, Shohih-‘Alil” hanya berdasar pemahaman dari terjemah Al-Qur’an atau As-Sunnah. Sebagai ilustrasi sederhana, berikut kami kutipkan peran pemahaman bahasa arab yang baik dan benar dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah :

Contoh Fungsi Gramatika Arab.
Firman Allah yang menjelaskan tata cara berwudhu :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Baca: Membaca Gus Yahya dalam Memaknai Rahmah Sebagai Ramah

Coba anda perhatikan kalimat وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dalam firman Allah diatas, dimana kata tersebut dibaca Nashob (dibaca Fathah pada huruf lam) padahal kata tersebut lebih dekat dengan kata بِرُءُوسِكُمْ (kepala kalian) yang dibaca Jar (dibaca Kasroh pada huruf Ro’) dengan konsekuensi makna sebagai berikut :

1. Jika kata وَاَرْجُلِكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu adalah mengusap, bukan membasuh, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلِكُمْ disambung dengan kata بِرُءُوسِكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) adalah وَامْسَحُوا (dan Usaplah)

2. Jika kata وَاَرْجُلَكُمْ (dan kedua kaki kalian) dibaca Jar (kasroh) maka yang harus dilakukan untuk kaki ketika berwudhu adalah membasuh, bukan mengusap, hal ini disebabkan kata وَاَرْجُلَكُمْ disambung dengan kata وُجُوهَكُمْ yang berarti amil (kata kerjanya) adalah فَاغْسِلُوا (Basuhlah)

Coba anda perhatikan : betapa dengan sedikit perbedaan, berimplikasi makna dan kewajiban yang berbeda. Dimana ketika kata وَاَرْجُلَكُمْ dibaca fathah/Nashab maka kewajibannya adalah membasuh, sedang jika kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca Kasroh/Jar, maka kewajibannya adalah mengusap. Adakah hal ini kita dapati dari Al-Qur’an terjemah ?

Contoh Fungsi Balaghoh/Sastra Arab.
Masih dalam tema ayat diatas, coba anda perhatikan kata إِذَا قُمْتُمْ dengan menggunakan Fiil Madhi (kata kerja masa lampau) yang jika dialih bahasakan secara harfiyah memberi makna : “Apabila kalian telah berdiri /menjalankan”. Sedang yang dimaksud adalah sebelum shalat. Inilah yang dalam pelajaran sastra arab disebut dengan “Ithlaqul Madhii Wa Uridal Mustaqbal

Contoh Fungsi Manthiq.
Diantara fungsi “Manthiq”/Logika Bahasa dalam konteks ayat diatas adalah guna men-Tashowwur-kan (menjelaskan dengan makna yang Jami’ dan Mani’) dari masing-masing kata dalam ayat diatas, misal yang dimaksud dengan “Yad” (tangan) adakah ia adalah “Tangan” dalam bahasa kita? “Wajah” seberapakah daerah yang masuk kategori “Wajah”? dan “Ru’us” (kepala), Membasuh, Mengusap, dan seterusnya. Adakah semuanya dapat kita definisikan dengan kamus bahasa Indonesia? Sedang Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab dengan mutu paling tinggi ?

Kedua : Sudahkah anda menghafal Al - Qur'an (Seluruhnya) dan juga sekurang -kurangnya seratus ribu hadist ?

Syarat kedua diatas sangatlah diperlukan karena dengan terpenuhnya syarat tersebut akan tergambar semua ayat dan hadits terkait jika anda hendak memutuskan suatu perkara, dengan demikian keputusan/pendapat anda akan terhindar dari bertabrakan dengan nash-nash yang lain.

Sebagai ilusrtrasi sederhana kita gunakan ayat ayat diatas dengan terjemah sebagai berikut : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah : 6)

Taqlid Pada Ulama


Jika kita memahami hanya dari ayat tersebut, maka akan kita dapati hukum wajibnya berwudhu adalah bagi setiap orang yang hendak melaksanakan shalat, baik ia orang yang masih dalam keadaan suci maupun berhadats. mengingat keumuman perintah pada ayat diatas yang ditujukan pada setiap orang yang hendak melaksanakan shalat.

Syarat kedua tersebut, juga berguna untuk menghindarkan anda menempatkan dalil bukan pada tempatnya, misal menempatkan ayat-ayat yang sejatinya untuk orang-orang kafir namun anda hantamkan untuk orang-orang Islam. Bukankah Abdullah Ibn Umar rodhiyallohu ‘anhu pernah berkata, ketika beliau ditanya tentang tanda-tanda kaum Khawarij ?

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Artinya:
Dan adalah Ibnu Umar, ia memandang mereka (Khowarij) sebagai seburuk-buruk makhluk Alloh, dan ia berkata : “Mereka (Khowarij) berkata tentang ayat-ayat yang (sejatinya) turun terhadap orang-orang kafir, mereka timpahkan ayat tersebut untuk orang-orang beriman”. (HR. Al Bukhori, Bab Qotlil Khawaarij)

Ketiga : Sudahkah andan menguasai ilmu - ilmu pendukung yang lain guna memahami Al- Qur'an dan As- Sunnah ?

Perangkat lain yang mesti anda kuasai dalam menggali hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memang luas dan dalamnya melebihi luas dan dalamnya samudera, diantaranya adalah: Anda harus mengetahui “Asbaabun Nuzul” dari setiap ayat dan juga “Asbaabul Wuruud” dari setiap hadits, hal ini penting agar anda mampu menempatkan dalil-dalil sesuai porsinya dan mampu membedakan dalil-dalil yang “Nasikh” (Pengganti/penyalin) dari dalil-dalil yang “Mansukh” (diganti/disalin)

Anda juga harus menguasai sekurang-kurangnya “Qiro’ah Sab’ah” dalam ilmu Qur’an, mengingat akan Naif rasanya seorang “Calon Mujtahid” melafadzkan Al-Qur’an tidak dengan pengucapan yang fashih.

Disamping itu anda juga harus menguasai ilmu-ilmu pendukung guna memahami As-Sunnah, seperti Mushtholah Hadits, Jarh Wat Ta’dil, Taroojim, dan seterusnya. Hal ini penting setidaknya agar anda tidak berhukum dengan hadits yang lemah dengan menabrak hadits yang shohih.

Keempat : Sudahkan anda menguasi kaidah ber-istinbath dari para Imam Mujtahid ?

Syarat keempat diatas juga sangat penting setidaknya guna mengetahui cara mensikapi nash-nash yang Mujmal, Mubayyan, ‘Am, Khosh, dan cara men-Jami’-kan (mencari titik temu) jika terdapat nash-nash yang dzahirnya Mukholafah (berselisih) atau Ta’aarudh (bertentangan).

Sebagai ilustrasi sederhana kami kutipkan Firman Allah berikut :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al Baqoroh : 62)

Sepintas ayat diatas memberi pemahaman adanya peluang yang sama bagi orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, untuk mendapat pahala disisi Allah atas kebajikan yang mereka perbuat. Sehingga seakan ayat tsb menyatakan bahwa orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Shobiin, bisa masuk Surga. Adakah kenyataannya memang demikian ? sedang dalam ayat lain Allah berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya:
Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Alu Imron : 85)

Perhatikan dua ayat diatas ! adakah pengetahuan yang memadahi pada diri anda untuk men-Jami’-kan dua nash yang dzahirnya Mukholafah (tidak sejalan) tersebut ?. Sungguh apa yang kami sampaikan diatas hanyalah sebagian kecil perangkat yang harus anda kuasai untuk Ber-Istinbath (menggali hukum langsung dari sumbernya)

Saudaraku... kami sampaikan hal-hal diatas bukan dalam rangka mematahkan semangat belajar anda, akan tetapi ketika anda mencoba menggali hukum dari sumbernya langsung tanpa perangkat yang memadai, maka yakinlah kelancangan anda hanya akan berakibat perpecahan Ummat Islam.

Likulli Syaiin Ahlun, Idza Wusidal Amru Lighoiri Ahlihi.. Fantadzhiris Saa’ah

Yang artinya“Setiap segala sesuatu ada ahlinya, Jika suatu perkara diembankan (diserahkan) pada yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya”.

Baca: Menyamakan Tabaruk Rasulullah dengan Tabaruk Kiai

Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kehancuran, musibah, dan saling menjatuhkan pendapat di dunia maya (media sosial) dikarenakan banyak orang berfatwa menyesatkan yang sebenarnya disebabkan ia langsung menggali hukum dari al-ur'an dan Hadits tanpa melalui prosedur ijtihad dan tanpa mempelajari kitab Kuning. [dutaislam/ka]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB