 |
| Tiga Macam Ustadz di Era Digital. Foto: Istimewa. |
DutaIslam.Com - Media sosial seperti Facebook, Youtube, Instagram, dan lain-lain, turut menyumbang dampak perubahan di masyarakat. Khusus persoalan agama, media sosial menjadi “madzhab” baru bagi pemeluk agama yang berperan mempengaruhi pola pikir, sikap, watak dan ideologi keagamaannya. Tak ayal sosmed layaknya “pesantren” modern yang melahirkan “santri-santri sosmed”.
Mengapa demikian? Tumbuhnya gerakan semangat keagamaan salah satu pemicunya gerakan dakwah sosmed mulai berkembang pesat, pengajian, tanya ustadz, ceramah ceramah dan lain lain berupa youtube. Akibatnya, orang tak perlu datang ke kiai, pergi ke majlis taklim, ngaji di pondok atau baca kitab kuning.
Baca Juga: Jadi Ustadz Wahabi Dapat Gaji 1500 Dolar Perbulan, Mau?
Di saat bersamaan budaya instan kian tak terhindarkan, akibatnya jamaah youtubiah pun membludak. Bisa diasumsikan, mayoritas mereka yang belajar dan memahami agama lewat youtube adalah kalangan awam, sehari-harinya sibuk ngantor, bisnis, maka ceramah yotube 4 menit seketika jadi “fatwa” bagi hidupnya bahkan tak merasa bersalah modal ngaji 4 menit di youtube sudah menyalahkan dan membid’ahkan yang lain.
Problemnya, bagaimana ustadz di youtube bisa diterima di masyarakat dan ustadz model seperti apa semestinya diikuti? Gus Mus pernah berkata melihat perkembangan ustad dewasa ini dengan tiga model.
Pertama, ustadz yang dibesarkan sosmed. Ada dua kemungkinan ia besar karena keilmuannya, atau ia digangrungi, disenangi jadi idola kaum ibu ibu/jamaah karena modal publik speaking yang bagus ditopang dengan fisik yang menarik (gagah dan tubuh kekar).
Baca Juga: Ustadz Ini Beri Fatwa Sesat Kalau Ikut NU Suruh ke Luthfi Bashori, Idrus Ramli dan Buya Yahya
Khusus ustadz yang bermodalkan publik speaking “miskin” ilmu, satu ayat ia bisa poles lalu diubrak-abrik jadi ceramah yang terkesan mendalam. Ada problem besar jika ustadz watak seperti ini yang jadi idola umat, tak hanya rentang mengeluarkan hukum agama yang ngawur dan bisa menyesatkan karena keterbatasan ilmu. Di sisi lain ia kerap mengkomersialkan dakwah dengan memasang tarif (puluhan juta). Dengan kata lain, dakwah menjadi ladang profesi atau kapitalisasi pasar bukan kewajiban.
Kedua, ustadz politis. Jika membuka youtube betapa banyak ustadz-ustadz ceramahnya bermuatan politis, ia tak lagi banyak bicara soal kenabian, akhlak Nabi, prinsip kemanusiaan, tapi dakwah bermuatan kampanye dengan menyudutkan pihak lain dan membenarkan kelompoknya.
Karena itu, mimbar dan Mesjid tak lagi sebagai pemersatu semua umat Islam, tapi pemecah kelompok antara umat Islam sendiri karena pilihan politik yang berbeda. Baginya, kata kata kasar, menghina dan mencaci dalam dakwahnya tak masalah karena melawan kedzaliman.
Baca Juga: Asrabi (Aswaja Rasa Wahabi), Ini Dia Cirinya
Ketiga, ustadz yang dibesarkan dan diakui masyarakat. Pada umumnya, mereka menganggap ia ustadz atau kiai karena ilmu dan keteladanannya. Sikap dan perilakunya memberi cerminan dan keteladanan. Darinya lahir dawuh dawuh membawa kesejukan bukan kepanikan, mulutnya tak keluar kata kasar karena kerendahan hatinya, bahkan ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada agamanya. Bukan menghancurkan agamanya sendiri.
Dakwah semakin berkembang, pesan Islam harus disebarkan. Hanya saja, sikap dan perilaku keislaman sangat ditentukan kepada siapa kita menerima ajaran Islam dan belajar pada siapa keteladanan itu. Belajarlah tapi jangan salah belajar. [dutaislam.com/pin]
Source: Artikel ini disadur dari ltnnujabar.or.id dengan sedikit perbaikan dari Redaksi dutaislam.com tanpa mengubah substansi isi.
