Silsilah KH Hasyim Asy'ari dari Mbah Usman Gedang Tambak Beras Jombang. |
Jarang ditemui situs yang menulis silsilah KH Hasyim Asy'ari hingga paling tidak sampai kepada biografi kakek buyut beliau, yakni Kiai Abdus Salam, Gedang, Jombang.
Siapa Kiai Abdus Salam ini, menjadi penting dibahas karena dua putri beliau (Layyinah dan Fatimah) melahirkan pendiri dua ulama besar pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah) sehingga berkah kedua tokoh itu ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia terus dan semakin berkembang.
Kiai Abdus Salam disebut buyut Kiai Hasyim karena Nyai Halimah (ibu) adalah cucu Kiai Abdus Salam. Silsilah lengkapnya begini; Kiai Hasyim (1) bin Nyai Halimah (2) binti Nyai Layyinah (3) binti Kiai Abdus Salam (4).
Kiai Asy'ari (ayah Kiai Hasyim dari Demak) adalah murid yang dijadikan menantu oleh Kiai Usman, dijodohkan dengan Nyai Halimah (Winih). Kiai Usman juga sama dengan Kiai Asy’ari, murid yang dijadikan menantu dari Kiai Abdus Salam dari putri pertama, Nyai Layyinah. Ceritanya, baca: Berkah Tirakat Puasa 22 Tahun, Mbah Hasan (Demak) Melahirkan Kakek Pendiri NU.
Jika diruntut, baik dari ibu maupun ayah, silsilah Kiai Hasyim Asy’ari bertemu di Pangeran Benowo (Kiai Abdul Halim). Begini urutannya.
- Asy'ari (dari Demak).
- Anu Sar'wan.
- Abdul Wahid.
- Abdul Halim (Pangeran Benowo).
- Abdurrahman (Pangeran Sambud Bagda).
- Abdul Halim.
- Abdurrahman (Jaka Tingkir).
Dari jalur ibu, selisih satu generasi untuk sampai ke Pangeran Benowo. Urutannya begini:
- Halimah (istri Kiai Asy’ari)
- Layyinah (istri Kiai Usman).
- Abdusssalam (Kiai Shoichah)
- Abdul Jabbar.
- Abdul Halim (Pangeran Benowo).
- Abdurrahman (Pangeran Sambud Bagda).
- Abdul Halim.
- Abdurrahman (Jaka Tingkir).
Silsilah KH Hasyim Asy'ari Hingga Rasulullah.
Dari Abdul Halim (Pangeran Benowo) inilah, jalur keturunan ayah dan ibu Kiai Hasyim bertemu di Kiai Abdurrahman, Jaka Tingkir (Sultan Pajang, keturunan Rasulullah ke-25), yang merupakan Putra Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq. Silakan simak silsilahnya di bawah ini mulai Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.
- Nabi Muhammad Rasulullah SAW
- Fatimah Zahra (zaujah Ali bin Abi thalib)
- Al-Imam Husain
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad Al-Baqir
- Ja’far Shadiq
- Ali Uraidli
- Muhammad An-Nagieb
- bin Isa Arrumi
- Ahmad al-Muhajir
- Ubaidillah bin
- Ali Alawiyyin
- Muhammad
- Alwi
- Ali Khala’ Ghasam
- Muhammad Shohibul Mirbat
- Alawi
- Amir Abdul Malik
- Abdullah Khain
- Ahmad Syah Jalal
- Jamaluddin Husen (Jamaluddin Akbar)
- Maluna Ibrohim Asmoro
- Maulana Ishak (Syeikh Awwalul Islam, Aceh)
- Ainul Yaqin (Sunan Giri)
- Abdurrahman (Jaka Tingkir)
- Abdul Halim
- Abdurrahman (Pangeran Sambu)
- Abdul Halim (Pangeran Benowo)
- Abdul Jabbar
- Abdus Salam (Kiai Shoichah)
Kiai Abdus Salam yang dalam silsilah kepada Rasullah itu ada di urutan ke-30, adalah sosok yang disebut memiliki daya linuwih luar biasa dalam ilmu kanuragan, syariat dan tasawwuf.
Saat datang ke Dusun Gedang, Jombang, pada kisaran tahun 1825, ia harus babat alas hingga belasan tahun hingga tahun 1838 (atau lebih) agar bisa dihuni oleh penduduk dan membuat padepokan (pondok) sekitar daerah situ.
Karena daya linuwihnya itu, Kiai Abdus Salam lebih dikenal sebagai Kiai Shoichah (صائحة), yang artinya "peneriak". Ceritanya, dulu beliau pernah menghentak keras (pethak) kepada seorang penjajah Belanda yang datang ke beliau hanya dengan sekali teriakan. Orangnya klenger (pingsan) dan kuda yang ditungganginya juga mati seketika. Pethak dipakai karena sang penjajah kolonial itu datang tak diundang tapi tidak berkelakuan sopan ke tuan rumah.
Dalam dunia kenuragan pesantren, hal semacam ini ada yang menyebutnya sebagai "Ilmu Pethak (teriak)". Disebut "Pethak Sayyidina Ali", ada pula yang disebut "Pethak Sayyidina Hamzah".
Kemungkinan, Kiai Abdus Salam menguasai ilmu “pethak” ini, karena dulu pernah ikut menjadi tentara perang bersama Panglima Diponegoro sebelum akhirnya pindah ke Jombang pasca kalah.
Pasca perang, semua murid Diponegoro diminta untuk beralih strategi "perang" mengembangkan pendidikan. Cikal bakal Gontor, Tambak Beras dan pesantren tua lainnya, ternyata adalah murid Pangeran Diponegoro.
Semua jadi tokoh agama dan tokoh masyarakat. Sandi yang dipakai untuk mengenalkan kalau mereka ini dulu pernah satu kompi atau satu guru bersama Pangeran Diponegoro adalah pohon Sawo.
Karena itulah, kita mudah menjumpai bila ndalem utama pendiri pondok selalu ada pohon Sawonya (jika tidak ditebang). [dutaislam.com/ab]
