![]() |
Foto: Istimewa |
Ya, Kiai Sholeh Qasim adalah pengasuh Ponpes Bahauddin Al-Islami, Sidoarjo. Pada masa perang, beliau anggota Laskar Sabilillah yang turut berperang pada 10 November 1945. Laskar Sabilillah adalah pasukan yang beranggitakan ulama dan santri.
Sebagaimana diketahui, dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy'ari bahwa berperang membela negara adalah jihad. Dengan fatwa ini, para ulama dan santri mengobarkan semangat berperang melawan penjajah.
Menurut cerita Gus Miftah, cucu Abah Qasim, Kiai Sholeh Qasim berada di barisan kiai-kiai bersama Abahnya Buyut Qosim yang menurut beberapa penuturan masih keturunan Syeikh Arif Segoropuro, di bawah kepemimpinan Kiai Nafi'.
Saat itu, kata Gus Miftah, kiai-kiai berperan menentukan kekuatan musuh dengan keajaiban atau karomahnya. Misalnya, ada kiai yang melakukan istighatsah menggunakan nasi dan lauk ayam utuh di atas wadah nampan. Anehnya, setelah istighatsah selesai, nampan dibuka bersama tapi setelah dilihat hati ayam, tinggal separuh.
”Diisyarohi oleh Kiai Nafi yang saat itu memimpin istighosah bahwa kekuatan musuh tinggal separuh,” tutur Gus Miftah menerangkan makna hilangnya separuh hati ayam, berdasarkan cerita dari kakeknya, kepada Dutaislam.com, Senin (08/10/2017).
Masih berdasarkan cerita dari Abah Qasim, Gus Miftah mengatakan, dulu beberapa barisan kiai/santri ditugaskan untuk mengirim ransuman dan mencuri senjata musuh. Pencurian senjata musuh ini juga menggunakan keahlian tinggi yang hanya dimiliki oleh ulama atau kiai. Penggalan ayat Al Quran menjadi senjata sampai-sampai musuh tertidur atau tidak sadarkan diri.
“Dengan membaca penggalan ayat dari surat yasin "waja'alna min baini aydihin wa min kholfihim..." Belanda tertidur pulas dan tidak menyadari senjatanya sudah berpindah tangan,” tuturnya. [dutaislam.com/pin]
