I'tikaf Ibadah yang Dibenarkan dan Dianjurkan Menurut Ahli Fiqih
Cari Berita

Advertisement

I'tikaf Ibadah yang Dibenarkan dan Dianjurkan Menurut Ahli Fiqih

Duta Islam #07
Jumat, 25 Desember 2020
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
I'tikaf dianjurkan dan diperbolehkan ahli fiqih
I'tikaf dalam masjid. Foto: istimewa


Dutaislam.Com - 'Akifun adalah bentuk jamak dari kata 'akif  (عاَكِفِ) yang merupakan bentuk ism fa'il, turunan dari kata kerja 'akafa - ya'kifu/ya'kufu - 'akf/'ukuf  yang tersusun dari huruf  'ain, kaf, dan fa', makna denotatifnya "iqbalu 'ala asy-syai'i wa mulazamatuhu wa sharfun 'anhu" (menghadap kepada sesuatu dan menetapi/menekuninya serta tidak berpaling daripadanya) dan habas (menahan diri). Makna dasar itu kemudian berkembang menjadi, antara lain 'mencegah' karena menahan sesuatu/orang untuk melakukan sesuatu; 'memenjarakan' karena menahan orang tetap menjalani/melakukan sesuatu; 'bermukim ' karena menetap di suatu tempat; 'ukuf/i'tikaf  (menetap di suatu tempat tertentu dengan suatu tujuan) karena menekuninya dan menahan diri dari melakukan sesuatu yang lain. 

Setelah Islam datang kata 'ukuf/i'tikaf mengalami penyempitan makna yaitu menetapnya seorang Muslim yang berakal di suatu masjid dengan niat (iktikaf). Kalau pada masa Jahiliah, kata 'ukuf/i'tikaf berarti menetap di tempat mana saja dengan tujuan apa saja, maka setelah Islam datang, kata tersebut berlaku khusus pada tempat dan tujuan yang terbatas, yaitu masjid dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, khususnya pada bulan Ramadhan.

Iktikaf adalah tinggal di dalam masjid yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan niat. Golongan Hanafi mendefinisikan sebagai tinggal atau menetap di masjid yang digunakan untuk shalat jamaah dalam keadaan berpuasa serta diawali dengan niat iktikaf. Bagi Malikiyah, iktikaf adalah menetapnya seorang Muslim yang telah mumayyiz (الْمُمَيِّزُ ) di suatu masjid di dalam keadaan berpuasa, menghindarkan diri dari jimak (bersetubuh), waktunya minimal sehari semalam, beribadah kepada Allah dan dengan niat. Madzhab Syafi'i mendefinisikannya dengan menetap di masjid yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan niat. Golongan Hanbali memberikan batasan dengan menetap di masjid karena ketaatan kepada Allah swt. dengan cara-cara khusus dan dilakukan oleh orang Muslim yang berakal, sekalipun belum mumayyiz (الْمُمَيِّزُ ) , suci dari hadas besar, dan lamanya cukup beberapa saat saja.


Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, Wahbah Az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus, merumuskan bahwa yang menjadi tujuan dari iktikaf adalah membersihkan hati dengan mendekatkan diri kepada Allah swt. serta menghentikan aktivitas keduniaan pada waktu-waktu tertentu semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan iktikaf di dalam keadaan berpuasa, sehingga menambah ketaatan diri kepada Allah swt.

'Akifun dan pecahannya di dalam Al-Qur'an terulang sembilan kali. 'akifin (عَكِفِينَ ) dan 'akifun ( عَكِفِون ) maknanya sama, tetapi kedudukannya di dalam Al-Qur'an berbeda, sehingga cara membacanya juga berbeda. 'Akifin/'akifun terdapat di dalam (QS. Al-Baqarah: 125, 187); (QS. Thaha: 91); (QS. Al-Anbiya': 52); dan (QS. Asy-Syu'ara': 71). Bentuk lainnya adalah kata tunggal dari 'akifun, yutu 'akif  (عاَكِفِ) terulang dua kali, yaitu (QS. Thaha: 97) dan (QS. Al-Hajj: 25); dengan bentuk kata kerja sekarang, ya'kufun satu kali, yaitu (QS. Al-A'raf: 138); dan dengan bentuk timbangan maf'ul bih (bentuk kata penderita), yaitu ma'kuf satu kali, seperti dinyatakan di dalam (QS. Al-Fath: 25).

'Akifin/'akifun di dalam (QS. Al-Baqarah: 125 dan 187), berarti orang-orang yang melakukan iktikaf di dalam istilah para ahli fikih di atas. Di dalam ayat 125, kata 'akifin digunakan berkaitan dengan fungsi Baitullah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail as., yaitu sebagai tempat thawaf, iktikaf, dan shalat. Di dalam Ayat 187 yang tersebut di dalamnya kata 'akifun dibicarakan tentang amalan-amalan yang dilakukan di dalam bulan Ramadhan, yaitu boleh menggauli istri pada malam bulan Ramadhan, memulai puasa ketika telah terbit fajar dan berbuka setelah terbenam matahari (malam), dan tidak boleh menggauli istri ketika melakukan iktikaf di masjid. Kedua ayat tersebut, menurut para fuqaha, merupakan dasar di syariatkannya iktikaf di dalam Islam. Namun, menurut Ar-Razi, kedua ayat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa iktikaf adalah merupakan suatu amalan yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu dan bukan baru dikenal pada waktu Islam datang.

Kata 'akifin dan pecahannya yang terdapat di dalam (QS. Al-A'raf: 138); (QS. Thaha: 91, 97); (QS. Al-Anbiya': 52; dan (QS. Asy-Syu'ara': 71), diartikan dengan menekuni dan selalu mendatangi (berhala) karena memuliakannya dan digunakan berkaitan dengan;

A. Umat Nabi Musa as. Yaitu ketika telah diselamatkan oleh Allah swt. dengan menyeberangi lautan dan tiba di suatu kaum yang selalu mendatangi berhala untuk menyembahnya mereka meminta kepada Musa as. untuk dibuatkan juga berhala untuk mereka sembah seperti yang dilakukan kaum yang mereka lihat itu (QS. Al-A'raf: 138). Ketika diperingatkan Nabi Harun as. agar meninggalkan penyembahan patung anak lembu yang dibuat Samiri, mereka malah menjawab bahwa akan selalu mendatangi patung itu hingga Nabi Musa as. yang tengah menerima al-Kitab kembali dari menghadap Allah swt. (QS. Thaha: 91); dan berkaitan dengan Samiri, umat Nabi Musa as. yang membuat patung lembu, yang dihukum Musa as. dengan mengucilkannya, seraya berkata bahwa berhala yang selalu ia datangi (untuk disembah) akan dimusnahkan Musa as. (QS. Thaha: 97); 

B. Umat dan ayah Nabi Ibrahim as. ketika Nabi Ibrahim berdakwah mengajak ayah dan umatnya untuk meninggalkan berhala-berhala yang dengan tekun mereka datangi untuk disembah (QS. Al- Anbiya': 52); dan ketika beliau bertanya kepada mereka (ayah dan umatnya) tentang apa yang mereka sembah, umatnya menjawab bahwa mereka menyembah berhala dan dengan tekun mendatangi dan memuliakannya (QS. Asy-Syu'ara': 71).

Kata 'akif (عاَكِفِ) di dalam (QS. Al-Hajj: 25), diartikan dengan orang-orang yang bermukim atau menetap di suatu tempat. Ayat itu digunakan berkaitan dengan azab yang akan ditimpakan Allah kepada orang-orang kafir yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menuju masjid Haram, baik yang bemukim di (daerah) itu (sekitar masjid Haram) maupun yang tinggal di padang Pasir.


Adapun kata ma'kufan di dalam (QS. Al-Fath: 25) berarti tercegah dan digunakan berkaitan dengan perbuatan orang kafir yang selalu mencegah umat Islam untuk mendatangi Masjid Haram dan menjadikan hewan kurban tercegah untuk sampai di tempat penyembelihannya. Pemaparan ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa 'ukuf atau i'tikaf sebagai bentuk amalan yang dilakukan pada suatu tempat tertentu dengan tujuan untuk memuliakan sesuatu, telah dilakukan dan diamalkan oleh umat-umat terdahulu, kemudian setelah Islam datang, ditetapkan sebagai suatu ibadah yang dibenarkan dan dianjurkan. [dutaislam.com/ka]

Sumber: 
Ensiklopedia Al-Qur'an, Kajian Kosakata, Jilid: I, hlm: 15-16-17, ditulis oleh Arifuddin Ahmad 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB