Pengertian Illat, Sebab dan Hikmah dalam Qiyas Ushul Fiqih (Download PDF)
Cari Berita

Advertisement

Pengertian Illat, Sebab dan Hikmah dalam Qiyas Ushul Fiqih (Download PDF)

Minggu, 22 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
pengertian illat dalam ushul fiqih
Pengertian illat, hikmah dan sebab dalam Qiyas Ushul Fiqih.

Oleh Wahyu Setyowati

Dutaislam.com – Di antara hal-hal yang diperlukan bahwa sebagian ulama ushul fiqh menjadikan sebab dan illat sebagai sesuatu yang sama dan bermakna sama. Tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa masing-masing dari illat dan sebab itu memiliki tanda atas suatu hukum, masing-masing menjadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasarkan ada dan tidak ada.

Bagi pembuat hukum, masing-masing memiliki hikmah dalam mengikat suatu hukum. Akan tetapi jika hubungan dalam ikatan hukum itu mampu ditangkap oleh akal kita, maka disebut sebab saja, tidak disebut illat. Semua illat adalah sebab, dan tidak semua sebab adalah illat.

Pengertian Qiyas dan illat
Qiyas secara bahasa arab berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut istilah ahli Ilmu Ushul Fiqh, qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya.

Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lain yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya.

Beberapa contoh qiyas hukum syara’ dan hukum positif yang dapat menjelaskan pengertian tersebut antara lain adalah eminum khamar adalah kasus yang ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu pengharaman, yang ditunjuki oleh firman Allah Swt:

إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ

Artinya :
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”. (QS. Al-Maidah: 90).

Tidak ada suatu hukum pun dari hukum-hukum syara’ itu yang disyari’atkan karena main-main tanpa ‘illat. Hanya saja, hukum ada dua macam, yaitu:

  1. Hukum-hukum yang pengetahuan tentang ‘illat-‘iilatnya dimonopoli oleh Allah. Tidak mempersiapkan untuk menemukan ‘illat-‘illatnya tersebut dengan maksud untuk menguji dan memberikan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, apakah mereka dapat mengetahui ‘illat yang menjadi dasar hukumnya. 
  2. Hukum-hukum yang pengetahuan tentang berbagai ‘illat-nya tidak dimonopoli oleh Allah saja, akan tetapi Allah juga memberikan petunjuk kepada akal mengenai ‘illat-‘illatnya, baik hukum-hukum tersebut berupa hukum permulaan. Maksudnya, ia bukan hukum pengecualian dari hukum umum, seperti pengharaman meminum khamar yang dengan qiyas. 

Pengharaman itu dijangkaukan kepada meminum minuman keras yang memabukkan, dan pengharaman riba pada qumh (jenis gandum) dan sa’ir (jenis gamdum lainnya) yang dengan qiyas pengharamannya itu dijangkaukan kepada jagung dan beras, ataupun ia merupakan hukum yang dikecualikan dari hukum umum, seperti pemberian keringanan jual beli ‘arak sebagai pengecualian dari sesuatu yang sejenisnya dengan berlebihan, yang dengan dasar qiyas, hukumnya dijangkaukan kepada jual beli anggur basah dengan anggur kering; tetapnya kelangsungan puasa padahal orang yang berpuasa itu makan karena lupa, sebagai pengecualian dari batalnya puasa disebabkan sampainya makanan ke perut orang yang berpuasa, yang selanjutnya, berdasarkan qiyas, hukum pengecualian itu dijangkaukan kepada makanannya seorang yang berpuasa karena kekeliruan atau keterpaksaan, serta tetap sah shalatnya, padahal orang yang melakukan shalat berbicara karena lupa.

Para ulama ushul fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u, yaitu:

  1. ‘Illatnya sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illat yang sama zatnya adalah meng-qiyaskan wisky pada khamar, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum, hukumnya tetap haram. ‘Illat yang ada pada wisky sama dengan ‘illat yang ada pada khamar. Apabila antara ‘illat yang ada pada far’u tidak sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, maka qiyas seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh disebut al-qiyas ma’a al-fariq.
  2. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
  3. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl.
  4. Tidak ada nash atau ijma’yang menjelaskan hukum far’u

Secara etimologis, illat adalah nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan yang lain dengan keberadaannya. Secara terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama. Asy-Syaitibi menuliskan pengertian illat sebagai berikut:

Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya. Mayoritas ulama’ Hanafiyah, sebagian ulama’ hanabilah dan Imam Baidhawi, mendefinisikan illat dengan suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.

Beberapa istilah terkait, bisa dibaca berikut ini:

  1. Mundhabithah maksudnya adalah 'illat mestinya sesuatu yang dapat diukur dan jelas batasannya.
  2. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illat harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat uang dipandang sebagai 'illat.
  3. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nas hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya. 

Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat sebagai sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan syari’. ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl  yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya.

Menurutnya ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Pada dasarnya, definisi yang dikemukan Al-Ghazali ini tidak berbeda dengan definisi di atas. Akan tetapi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat terhadap hukum bukan dengan sendirinya, melainkan harus adanya izin Allah.

Baca: Santri Tidak Sembarangan Ngumbar Dalil, Mengapa?

Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh terhadap hukum. Misalnya, wajibnya hukuman potong bagi para pencuri, hal itu tiada lain disebabkan perbuatan mencuri yang dilakukan. Akan tetapi, hukum potong tangan itu sendiri pada hakikatnya merupakan kehendak Allah. Bukan semata-mata perbuatan mencuri itu sendiri.

Contoh lain, seorang pembunuh terhalang mendapatkan warisan dari harta orang yang dibunuhnya, disebabkan pembunuhan yang ia lakukan. Dalam kasus ini bukan karena membunuh yang semata-mata menjadi illat-nya sehingga menyebabkan diia tidak mendapatkan warisan, tetapi atas perbuatan dan kehendak Allah. Dengan demikian ‘illat dalam kedua definisi di atas hanya merupakan indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dapat dijadikan untuk mengetahui suatu hukum.

Menurut Mu’tazilah illat adalah sifat yang secara langsung mempengaruhi suatu hukum, bukan atas kehendak atau perbuatan Allah. Menurut mereka, illat itulah yang menyebabkan hukum itu disyari’atkan dan syari dalam hal ini alam menetapkan hukum, harus mengikuti illat tersebut.

Jadi illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang, seperti illat “memabukkan”. Ia adalah sifat yang terdapat pada khamar yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui wujudnya keharaman dalam setiap arak yang memabukkan. “Penganiayaan” adalah sifat yang terdapat pada penjualan seseorang atas penjualan seseorang yang lain yang dijadikan dasar atas keharamannya. Demikian seterusnya.

Para ulama ushul fiqh menyatakan, apabila disebut ‘illat, maka biasanya yang dimaksud adalah:

  1. Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menerapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau menolak kemadaratan. Misalnya, tercapainya berbagai manfaat bagi orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan diharamkan perbuatan zina dan terpelihara akal manusia disebabkan diharamkannya meminum Khamar. Dengan demikian, menurut ulama ushul fiqh, pada setiap hukum syara’ selalu terkandung motivasi untuk mencapai kemaslahatan dan menolak kemadaratan. Akan tetapi, tolok ukur dalam menentukan sesuatu maslahat atau menolak mudarat. Karena masing-masing manusia mempunyai cara yang berbeda dalam menentukan kemaslahatan dan kemadaratan. 
  2. Sifat Zhahir yang dapat diukur yang sejalan dengan suatu hukum dalam mencapai suatu kemaslahatan, berupa manfaat atau menghindari kemudaratan bagi manusia. Menolak dan menghindarkan kemudaratan itu termasuk suatu kemaslahatan. Sifat yang Zhahir adalah suatu sifat yang terdapat dalam hukum yang bisa dinalar oleh manusia.

Mu’tazilah berpendapat bahwa seluruh perbuatan dan hukum Allah mempunyai ‘illat dan tujuan yang mengandung motivasi untuk dikerjakan, yaitu kemaslahatan bagi umat manusia. Hal itu sejalan dengan pendirian mereka bahwa Allah itu “berkewajiban” untuk melakukan sesuatu yang baik dan terbaik untuk hamba-Nya.

Para ulama fiqh dan ushul fiqh menyatakan bahwa hukum-hukum Allah itu didasarkan atas kemaslahatan hamba, untuk di dunia dan di akhirat. Mayoritas ahli kalam menyatakan bahwa hukum-hukum Allah itu tidak mengandung ‘illat baik berbentuk kemaslahatan ataupun hikmah.

Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa munasabah dapat menjadi ‘illat apabila didukung oleh nash atau ijma’, seperti munasabah yang ditentukan Syari’ untuk memelihara al-maqashad kulliyyah al-khamsah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta , dan keturunan atau kehormatan.

Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah, munasabah itu dapat menjadi ‘illat sekalipun tidak didukung oleh nash atau ijma’. Menurut mereka, apabila munasabah dan hukum terdapat keterkaitan yang sesuai, maka sudah dapat dijadikan ‘illat hukum. Oleh karena itu seluruh sifat yang mengacu kepda pencapaian sesuatu kemaslahatan atau menolak terhadap suatu kemadaratan bisa dijadikan ‘illat hukum.

Syarat-Syarat ‘Illat dalam Ushul Fiqih

  1. ‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat adalah bagian dari tujuan disyari’atkannya hukum, yaitu hukum kemaslahatan umat manusia.
  2. ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk semua manusia. Maksudnya, ‘illat itu memiiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk semua manusia dan keadaan. Misalnya, pembunuhan merupakan ‘illat yang menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan dari orang yang dia bunuh, ‘illat ini bisa diterapkan kepada pembunuhan dalam kasus wasiat.
  3. ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap indera manusia, karena ‘illat merupakan pertanda adanya hukum. Misalnya, sifat memabukkan dalam khamar. Apabila ‘illat itu tidak nyata, tidak jelas, dan tidak bisa ditangkap panca indera manusia, maka sifat seperti itu bisa dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata, adalah sifat “sukarela” dalam berjual beli. Sifat “sukarela” ini tidak bisa dijadikan ‘illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, karena “sukarela” itu masalah batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh menyatakan bahwa “sukarela” itu harus diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul atau melalui tindakan. 
  4. ‘Illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan hukum, artinya ‘illat yang ditentukan berdasarkan analisis mujtahid sesuai dengan hukum itu.
  5. ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
  6. ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik. Maksudnya apabila ada ‘illat maka hukumnya ada, dan sebaliknya apabila ‘illatnya hilang, maka hukumnya pun hilang. Misalnya, orang gila tidak dibolehkan melakukan tindakan hukum karena kecapakan bertindak hukumnya telah hilang. Kehilangan kecapakan bertindak hukum itu disebut ‘illat.
  7. ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl. Artinya, hukumnya telah ada, baru datang ‘illat-nya kemudian.
  8. Hukum yang mengandung ‘illat itu tidak mencakup hukum far’u.
  9. ‘Illat itu terdapat dalam hukum syara’.
  10. ‘Illat itu tidak berentangan dengan ‘illat lain yang posisinya lebih kuat.
  11. Apabila ‘illat itu dinisbatkan dari nash, maka ia tidak menambah nash itu sendiri.
  12. ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain. 

Adapun hikmah yang terdapat dalam suatu hukum, adakalanya bisa dinalar bahwa hikmah itu berkaitan dengan hukum, karena ia dijadikan motivasi untuk menentukan suatu hukum. Akan tetapi, hikmah itu sendiri terkadang suatu yang sulit diukur dan ditangkap panca indera.

Hikmah ini berbeda dalam pandangan satu individu dengan individu lain dang berbeda antara satu keadaan di suatu tempat dengan keadaan di tempat lain. Oleh sebab itu menurut mereka, hikmah tidak bisa dijadikan patokan umum. Misalnya, jual beli itu disyari’atkan dengan hikmah untuk menghindari kesulitan serta memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi, jual beli yang dilakukan seseorang bukan karena untuk menghindari kesulitan dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.

Baca: Bijaksana Membawa Fiqih Jadi Bukti Kefaqihan, Mengapa?

Bolehnya berbuka puasa bagi musafir merupakan hikmah untuk menghindari kesulitan dari mereka. Akan tetapi, masyaqah itu sendiri bisa berbeda untuk setiap orang dan keadaan. Orang yang bepergian menggunakan pesawat udara tidak akan menemui kesulitan dalam perjalanan mereka.

Dengan demikian menurut jumhur ulama ushul fiqh, hikmah itu sulit diukur dan tidak bisa berlaku umum, sedangkan yang akan dijadikan ‘illat hukum itu adalah sesuatu yang bisa diukur dan berlaku secara umum untuk semua orang dan keadaan. Oleh karena itu, mereka tidak menerima hikmah dijadikannya sebagai ‘illat suatu hukum.

Dalam musafir misalnya, menurut jumhul ushul fiqh yang menjadikan bolehnya meng-qashar shalat atau bolehnya berbuka bagi orang yang berpuasa, yang menjadikan ‘illat-nya adalah safar (perjalanan) itu sendiri, bukan masyaqqah-nya.

Jumhur ulama ushul fiqh juga membedakan antara ‘illat dengan sebab. Menurut mereka, sebab lebih umum kandungannya daripada ‘illat. Setiap ‘illat adalah sebab dan setiap sebab bukan ‘illat. Apabila suatu sifat berjalan dengan suatu hukum yang dapat ditangkap akal manusia atau nalar manusia, maka sifat itu disebut ‘illat sekaligus juga sebab. Misalnya, transaksi jual beli yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk memindahkan hak milik, disebut ‘illat sekaligus sebab.

Apabila persesuaian sifat dengan suatu hukum tidak bisa dinalar manusia, maka sifat itu disebut sebab. Misalnya, tergelincirnya matahari dari titik kulminasi merupakan penyebab wajibnya melakukan shalat dzuhur. Tergelincirnya matahari tersebut dikaitkan dengan kewajiban melakukan shalat dzuhur merupakan keterkaitan yang tidak bisa dinalar oleh manusia. Hal seperti itu, menurut jumhur ulama ushul fiqh disebut sebab, bukan ‘illat.

Cara untuk Memilih Sifat yang dijadikan ‘Illat
Adapun tiga cara yang dilakukan untuk memilah dan memilih sifat yang dijadikan ‘illat yaitu:

  1. Mujtahid tersebut melihat bahwa sifat yang dipelihara ternyata telah membentuk suatu hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak demikian. Cara seperti ini disebut para ahli ushul fiqh dengan ilgha’.
  2. Sifat yang dipakai sebagai ‘illat tersebut memang sifat yang tidak bisa diterima oleh syara’. Misalnya, sifat laki-laki dan perempuan dalam memerdekakan budak. Sifat laki-laki dan wanita memang sifat yang menentukan dalam masalah persaksian, peradilan, dan perwalian. Akan tetapi, menurut ulama ushul fiqh, sifat lelaki dan wanita dalam masalah memerdekakan budak tidak bisa dijadikan ‘illat, karena baik budak laki-laki maupun wanita, sama-sama harus dimerdekakan. 
  3. Mujtahid itu sendiri tidak melihat adanya keterkaitan dan kesesuaian (munasabah) sifat itu dengan hukum yang dibahas, karena syara’ tidak menjadikannya sebagai sifat yang dapat menjadi ‘illat dalam kasus hukum apa pun. 

Pembagian ‘Illat
Pembagian illat dari segi ada dan tidaknya menurut syara’ yang sesuai pada empat bagian, yaitu:

  1. Sesuai dan berpengaruh (Al-Munasib al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai oleh syari’ telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tersebut telah ditetapkan sebagai hukum. Penyusunan hukum itu atas dasar penyesuaian terhadap sifat tersebut, seperti firman Allah:

     وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ 

    Artinya:
    "Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (QS. Al-Baqarah: 222).

    Pada ayat di atas Allah Swt. (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah Swt. di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
  2. Sesuai dan sepadan (Al-Munasib al-Mulaa’im), yaitu sifat yang sesuai, yang oleh syari’ telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan nash atau ijma belum menetapkannya sebagai illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Namun, ditetapkan oleh nash atau ijma sebagai illat hukum dari jenis hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengan sifat itu, atau menganggap jenis sifat sebagai illat hukum dari jenis hukum ini. Maka, bila sifat yang sesuai itu dengan salah satu di antara tiga macam pengambilan anggapan, dijadikan anggapan, maka pemberian illat dengan sifat itu mencocoki beberapa tujuan syari’ dalam membentuk hukum dan memberi illat kepadanya, karena itu disebut Al-Munasib al-Mulaa’im, artinya sesuai dengan tujuan syari’ dan telah disepakati kebenaran illat dengan sifat, atau membentuk Qiyas atau dasar itu.
  3. Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syari’ tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannnya dengan macam pengakuan apa saja, atau menyia-nyiakan pengakuannya bahwa sifat itu munasib, artinya dapat mewujudkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan, dan dalil pembatalan (Ilgha'). Inilah yang dalam istilah ulama’ Ushul disebut Al-Munasib al-Mursalah.
  4. Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib al-Mulgha), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum kepadanya adalah mewujudkan kemaslahatan. Sedang syari’ tidak menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan syari’, dengan dalil apa saja, telah menunjukkan atas pembatalan pengakuannya, seperti bersamaan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kekerabatan karena kesamaannya dalam hal harta pustaka. 

Cara Mengetahui ‘Illat

  1. Melalui nash, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah saw. Adakalanya illat yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya illat itu jelas, tetapi mengandung kemungkinan yang lain.
  2. Melalui ijma’. Dengan ijma’ diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi illat hukum.
  3. Melalui al-ima wa at-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lafal.
  4. Melalui as-sibr wa at-taqsim. Sibr adalah penelitian terdapat dalam suatu hukum dan apakah sifat tersebut layak untuk dijadikan illat hukum atau tidak. Kemudian mujtahid mengambil salah satu sifat yang menurutnya paling tepat dijadikan illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Sedangkan taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi illat pada suatu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh nash.
  5. Melalui munasabah yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemadharatan.
  6. Mencari illat melalui tanqih al-manath yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan illat dari berbagai sifat yang dijadikan illat oleh syar’i dalam berbagai hukum. 
  7. At-Thard yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya.
  8. Asy-Syabah yaitu sifat yang mempunyai keserupaan.
  9. Dauran yaitu suatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan.
  10. Ilgha Al-Fariq adalah terdapat titik perbedaan antara sifat dengan hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya kesamaannya.

Contoh-Contoh ‘Illat

  1. Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dilarang pula. Menurut hukum agama, dasarnya ialah tiap-tiap minuman yang memabukkan adalah dilarang, dan sesuatu yang apabila dimakan dalam jumlah yang banyak mengakibatkan mabuk, maka dalam jumlah sedikit pun termasuk haram. Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dilarang pula.
  2. Mengqashar sholat empat rakaat (menjadi dua rakaat) bagi seorang musafir. Illatnya adalah pergi itu sendiri.
  3. Diperbolehkannya jual beli secara barter hikmahnya adalah menghilangkan kesulitan umat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Illatnya adalah bentuk ucapan akad jual beli atau sewa menyewa.
  4. Seseorang yang pada bulan Ramadhan sedang bepergian maka diperbolehkan berbuka karena ada illat diperbolehkan, yaitu bepergian, meskipun pada kepergiannya tidak ada kesulitan.
  5. Seseorang yang menjadi sekutu kepemilikan sebidang tanah yang dijual, atau menjadi tetangga maka ia berhak mengambil tanah itu dengan syuf’ah (menutup harga), karena ada illat lebih berhak menutup harga yaitu sekutu atau tetangga.
  6. Seorang idiot yang telah mencapai usia 21 tahun tetapi ada alasan lain yang menunjukkan bahwa dia belum dewasa maka kekuasaan (bertasharruf) tidak jatuh ketetangganya, meskipun ada illat yaitu telah sampai batas menjadi seorang yang berkuasa yakni sampai usia dewasa. 
  7. Seorang hakim tidak boleh menghakimi perkara diantara dua orang sementara ia dalam keadaan marah. 
  8. Orang gila tidak dibolehkan melakukan tindakan hukum karena kecakapan bertindak hukum itu disebut illat. Apabila ia sembuh dari penyakit gilanya, maka illatnyapun hilang dan kecakapan bertindak hukumnya berlaku kembali. 
  9. Perintah meninggalkan jual beli ketika diseru untuk menunaikan shalat jum’at, diikuti dengan perintah bertebaran dimuka bumi dan mencari rizqi Allah, termasuk jual beli setelah shalat jum’at selesai. Illat larangan tersebut karena menggangu shalat jum’at. 
  10. Larangan menjual kurma basah dengan kurma kering karena terjadi penyusutan kurma basah. Illatnya adalah terjadinya penyusutan.
  11. Kewajiban menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, telah di jelaskan bahwa haid itu kotoran. Illat hukumnya adalah kotoran. 
  12. Larangan seorang pembunuh untuk mendapatkan warisan dari terbunuh. Jelas bahwa dia adalah pembunuh. Illatnya adalah pembunuhan.  

Perbedaan antara ‘Illat dengan Hikmah 
Perbedaannya adalah, bahwa ‘illat merupakan pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Sedangkan hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan hukum. Berdasarkan hal itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan merupakan hasil dari pelaksanaan hukum. Sedangkan hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum. Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada kondisi tertentu.

Perbedaan ‘Illat dengan Sebab 
Perbedaannya yaitu sebab merupakan tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari yang merupakan tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat adalah perkara, yang karenanya, terwujud suatu putusan hukum. Jadi, ‘illat adalah sebab pensyariatan hukum, bukan sebab adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum.

Fungsi ‘Illat

  1. Penyebab atau penetap adanya hukum, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its. Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan
  2. Penolak (dafi’ah) keberadaan hukum yang akan terjadi. Penolak yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat pada saat hukum tengah berlaku. Contohnya dalam masalah iddah. Adanya iddah menolak dan menghalangi terjadinya perkawinan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan perkawinan bila iddah itu terjadi dalam perkawinan. Iddah dalam hal ini adalah iddah syubhat.
  3. Pencabut (rafi’at) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak menolak terjadinya suatu hukum. ‘Illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut hak bergaul suami istri (jika mereka telah menikah atau rujuk), karena memang mereka boleh menikah lagi sesudah adanya thalaq itu. 
  4. Penolak dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung. Contohnya sifat radla’ (hubungan persusuan) berkaitan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan mencegah terjadinya hubungan perkawinan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan perkawinan yang sedang berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya perkawinan.
  5. Penolak dan pencegah suatu hukum. Mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu telah berlangsung. [dutaislam.com/ab]

[Download PDF]

Wahyu Setyowati, mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A


DAFTAR PUSTAKA

1. Qarib, Ahmad, Moh Zuhri, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama
2. Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Kias_(Fikih)
4. https://mahfudriza28.blogspot.co.id/2016/01/makalah-fungsi-dan-syarat-syarat-illat.html
5. http://coretanopini.blogspot.co.id/2014/05/illat-dalam-qiyas_2.html#.WR18DNyyS00

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB