![]() |
Peserta workshop sedang mengikuti diskusi muslimah for change training (Foto: Hamid Bj) |
"Santri harus menjadi pionir dari noisy majority, bukan lagi sebagai silent majority di ruang-ruang publik dengan menyebarkan narasi perdamaian,” kata Yenny Wahid saat memberikan sambutan di acara Muslimah for Change Training dan Workshop Komunitas Pesantren, Rabu (17/07/19), di Valley Hotel, Bogor.
Acara tersebut merupakan kerjasama Wahid Foundation dengan Direktorat PD Pontren Kemenag RI yang berlangsung selama tiga hari, mulai Rabu-Jum’at, 17-19 Juli 2019, dengan melibatkan 100 (seratus) alumni dan pengurus pesantren yang berasal dari lima provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Banten.
Sementara PD Pontren Kemenag RI, Dr. Ahmad Zayadi menegaskan bahwa selain dari اركان المعاهد, pesantren mempunyai روح المعهد yang tak kalah penting.
"Ruh pesantren yang utama adalah ruh nasionalisme NKRI," terang Ahmad Zayadi.
Sebab, menurut Ahmad Zayadi, berbicara santri tidak lepas dari dua hal penting yang akan tetap dirawat dan dikembangkan. Yakni, sanad keilmuan dan sanad kejuangan.
"Inilah yang melekat pada pribadi-pribadi santri," jelasnya.
Kajian kitab kuning yang diajarkan di pesantren, lanjut Zayadi, kini telah menjadi sub kultur. Pemahaman dan pendalaman terhadap kajian kitab kuning bukan hanya mewarnai aktivitas intelektual santri tetapi merealitas pada perilaku kehidupan santri.
"Perilaku kehidupan kita (santri) itu merepresentasikan apa yang kita dalami dari kitab-kitab kuning yang telah dipelajari," tutur Zayadi. [dutaislam.com/Hamid BJ/in]
