Langkah Mundur Gerakan Komite Khittah NU-26
Cari Berita

Advertisement

Langkah Mundur Gerakan Komite Khittah NU-26

Duta Islam #03
Jumat, 08 Maret 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa.
Oleh M. Arifin

DutaIslam.Com - Warga Muhammadiyah perlu ambil bagian dan tidak boleh apatis dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika Islam dengan sebaik-baiknya. Tujuannya kader Muhammadiyah berpolitik adalah untuk membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Anjuran kader Muhammadiyah tidak boleh abai dengan politik merupakan satu bunyi Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 Tahun 2000 untuk dijadikan pedoman kader dalam hidup berbangsa dan bernegara. Maksud dari berbagai saluran secara positif berarti dengan cara yang benar. Kader Muhammadiyah didorong untuk mengisi sejumlah pos-pos politik seperti, baik legislatif maupun eksekutif.

Muhammadiyah menyadari, keterlibatan banyak kader di pemerintahan akan membuat gerakan dakwah Muhammadiyah akan lebih kuat dan mudah. Dengan menduduki pemerintahan, Muhammadiyah ingin mengambil peran dalam menentukan kebijakan politik.

Barangkali Muhammadiyah menyadari ungkapan Foucault, bahwa kekuasaan melanggengkan relasi kekuatan yang membentuk rantai atau sistem. Kekuasaan merupakan strategi dimana relasi kekuatan adalah efeknya.

Dalam sejarah Islam, kita juga dapat menyaksikan bagaimana kekuasaan memainkan peran penting dalam proses transformasi ideologi, sebagaimana dilakukan Pemerintahan Dinasti Saljuk. Saat itu, Madrasah Nizamiyah didirikan secara besar-besaran di seluruh penjuru seperti Baghdad, Nisapur, Balk, Heart, Asfahan, Basrah, Marwu, Annal, dan Mausil. Dinasti Saljuk yang berpaham Sunni Asy’ariyah menjadikan idelogi As'ayriyah sebagai kurikulum utama yang diterapkan pada Madrasah Nizamiyah.

Sementara langkah NU mendorong kadernya terlibat dalam politik barangkali telah terjadi lebih masif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kader-kader NU yang kini menempati hampir di setiap pos-pos pemerintahan. Ini juga tidak lepas dari banyaknya kader NU daripada kader Muhammadiyah.

Secara institusi, baik Muhammadiyah maupun NU dalam hal ini bukan berpolitik praktis atau bisa disebut berpolitik praktis. Di sini harus dibedakan secara jelas antara langkah kader sebagai person dan langkah kader sebagai bagian dari organisasi. Tetapi yang jelas kader-kader di kedua ormas terus berusaha berebut pengaruh dalam mementukan kebijakan pemerintahan. Baik NU maupun Muhammadiyah menyadari bahwa kekuasaan menjadi tempat paling strategis menyebarkan dakwah kepada masyarakat.

Gerakan Komite Khittah 26 NU
Belakangan muncul sekelompok orang yang mengatasnamakan Komite Khittah (KK) NU. Kelompok ini menilai NU telah keluar dari khittah 1926 dan 1984. Menurut mereka NU tidak seharusnya berpolitik praktis. Kelompok ini menilai NU kepemimpinan Kiai Said Aqil Siradj telah melanggar khittahnya dengan menyeret NU ke ranah politik.

Penilaian mereka berangkat dari anggapan bahwa NU telah ditunggangi kepentingan kekuasaan. Katanya, banyak dari kader NU yang terseret kepentingan kekukasaan. Mereka memperkuat anggapan itu dengan dengan majunya Rais 'Am NU Kiai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Mereka menganggap Kiai Ma’ruf menderai NU. Bahkan sebagai hukuman, mereka tidak akan memilih Kiai Ma’ruf Amin.

Tuduhan NU berpolitik praktis kepada NU dari kelompok yang mengusung gerakan Khittah NU sejauh ini tidak pernah disertai dengan bukti kongkrit. Secara organisasi Kiai Ma'ruf Amin tidak bisa dianggap menciderai NU. Karena keputusan menjadi calon presiden telah ditempuh sesuai prosedur organisasi dengan cara melepaskan jabatan Rais 'Am. Keputusan tersebut menjadi hak Kiai Ma’ruf sebagai warga negara yang dapat memilih antara Rais ‘Am dan Calon Wakil Presiden.

Dengan demikian, penilaian negatif ke NU oleh kelompok KK-26 menunjukkan kerancuan cara berpikir. Mereka tidak memahami dengan benar tata aturan organisasi. Penilaian ini lepas dari dugaan adanya kepentingan politik menjelang Pilres 2019. Meskipun sejumlah tokoh dari mereka mengajak orang lain untuk tidak mendukung Kiai Ma’ruf Amin.

Melanggar Khittah NU
Tidak adanya bukti pelanggaran organisasi yang dilakukan pengurus PBNU membuat arah gerakan Khittah-26 NU menjadi tidak jelas. Mereka hanya terus lantang bersuara dan melancarkan mengkritik keras kepada pengurus-pengurus NU. Mereka menganggap NU dalam kondisi bahaya sehingga harus diselamatkan.

Ironisnya, mereka melupakan tata cara organisasi dan bagaimana menyampaikan pendapat di NU. Ketidaksepahaman seharusnya ditempuh dengan cara organisasi, bukan dengan cara-cara kampanye yang justru menambah situasi semakin panas. Bila demikian, bukan PBNU yang melanggar Khittah, tetapi mereka yang melanggar khittah NU karena tidak mau menyelesaikan masalah berdasarkan aturan organisasi.

Langkah Mundur
Jika yang dimaksud NU harus kembali ke Khittah  bermakna NU harus apatis terhadap politik dan hanya fokus mengurusi amaliyah umat di akar rumput, gerakan Khittah-26 NU bagian dari langkah mundur. Pasalnya, di tengah-tengah banyaknya ormas yang saling berebut dan ingin memainkan peran penting di pemerintahan, NU justru ingin ditarik mundur. Mereka gagal memahami argumen Foucault bahwa kekuasaan memainkan peran penting dalam proses transformasi ideologi maupun pengetahuan.

Membatasi NU di ranah ranah politik sama halnya dengan mempersilahkan orang-orang di laur NU untuk agar menguasai politik yang menjadi kunci setiap kebijakan. Ini bisa berarti pula ingin membiarkan NU dipimpin ormas lain atau orang di luar NU yang belum tentu sepaham dengan pandangan-pandangan NU.

Fenomena belakangan menunjukkan bahwa tidak hanya NU dan Muhammadiyah yang berusaha memainkan peran penting di ranah politik dan pemerintahan. Sejumlah ormas dengan beragam ideologi sampai saat ini terus berjuang memperoleh posisi. Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang baru saja dibubarkan pemerintah bahkan lebih ekstrim. Dalam buletin HTI 2010, HTI telah menentukan target dengan cara mempengaruhi meliter. Dengan asumsi, jika meliter dapat kuasai maka akan lebih mudah menggulingkan kekuasaan. Setelah itu, sistem khilafah baru dapat dengan mudah diwujudkan.

Namun demikian, langkah NU di politik tidak berarti bahwa NU harus diarahkan ke politik praktis dengan melanggar khittahnya sebagai ormas keagamaan. NU tetaplah NU sebagai ormas, tapi NU harus terus punya peran penting dalam politik kebangsaan dan ini tidak bisa dilakukan jika NU menarik diri bahkan abai terhadap politik. [dutaislam.com/pin]

*Penulis Santri PP Mashlahatul Hidayah Sumenep Madura.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB