Reuni 212: Kesalahan FPI yang Ditunggangi Kemarahan HTI
Cari Berita

Advertisement

Reuni 212: Kesalahan FPI yang Ditunggangi Kemarahan HTI

Rabu, 14 November 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Para pimpinan PA 212 yang ditumpangi HTI
Oleh Ayik Heriansyah

DutaIslam.Com - Rencana reuni alumni 212 menjadi pembicaraan di bulan Maulid kali ini. Dengar-dengar Maulid Nabi jadi cover kultural bagi hajatan PA 212 di Monas yang sudah menjadi rahasia umum beraroma politik. Lazimnya peringatan Maulid diselenggarakan di masjid-masjid, majlis taklim, pesantren, sekolah, madrasah dan kantor-kantor berisi pembacaan shalawat, tausiyah dan do'a tanpa orasi politik.

Komponen utama PA 212 tinggal FPI. Ormas-ormas yang lain merasa PA 212 sudah tidak relevan. Sebab, alasan keberadaan aksi 212, menghukum penista agama, sudah hilang. Ahok sendiri hampir merampungkan masa tahanannya. Satu per satu aktor aksi 212 mengundurkan diri dari PA 212.

Naas memang Habib Rizieq Shihab (HRS) pemimpin spiritual aksi 212 malah terjerat kasus hukum. Yang lebih menyakitkan karena kasus hukum kali ini terkait human error dirinya yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam dan kaum muslimin. Umat menyesali mengapa HRS lari ke Arab Saudi. Dimana kekesatriaan, kepahlawanan dan nyali HRS?

Kepergian HRS merupakan kerugian besar bagi FPI. Ketidakhadiran fisik HRS di tengah jamaah FPI sedikit banyak mengendorkan semangat juang mereka. Komunikasi antara pengurus FPI dengan HRS tetap bisa berjalan namun dengan tambahan biaya yang lumayan. Baik biaya telekomunikasi maupun transportasi dan akomodasi dari Jakarta ke Mekkah.

Sedangkan sikap pemerintah Jokowi sudah jelas, kasus hukum HRS dijalankan dengan proses hukum. Jalur politik tertutup rapat untuk kasus HRS. Hal-hal ini membuat FPI kesal. Presiden Jokowi kemudian menjadi sasaran bully?. Dituduh PKI, melakukan kriminalisasi ulama dan sebagainya. Pilihannya, Jokowi cukup sampai 2019 jadi presiden. Jika tidak, berarti HRS bisa sampai 2024 tinggal di Arab Saudi.

HTI Lebih Bahaya Tanpa Badan Hukum

FPI terus menyerang pemerintahan Jokowi. FPI butuh isu-isu sensitif untuk itu. Sudah barang tentu isu-isu yang bisa memancing emosi umat Islam. Seperti mendapat durian jatuh, kasus pembakaran bendera HTI di Garut langsung disamber FPI. FPI bersih kukuh mengatakan bendera itu bendera tauhid.

Hampir-hampir FPI menjadi "Jubir" HTI. HTI sendiri sebenarnya punya catatan buruk ketika berkoalisi dengan FPI. FPI pun ingat akan pengkhianatan HTI. Kepentingan FPI pada kasus pembakaran HTI bukan rangka membela HTI melainkan untuk dijadikan isu yang bisa membakar emosi umat, mendeskreditkan pemerintah yang disokong NU, Ansor dan Banser.

FPI dan HTI bersekutu sementara karena menghadapi musuh bersama, pemerintah Jokowi. HTI marah besar dengan Jokowi yang mencabut badan hukum organisasi mereka. Pencabutan badan hukum ini memukul HTI ke belakang seperti awal mula mereka berdakwah. 30 tahun dakwah HTI jadi sia-sia. Kini mereka kembali ke hukum asal sebagai organisasi terlarang. Dilarang menggunakan nama dan atribut HTI di ruang publik. Dilarang menyerukan Khilafah di muka umum.

Resonansi isu kasus pembakaran bendera HTI semakin melemah. Dua orang pelaku pembakaran pun telah menerima hukuman dengan pasrah. Insiden itu membuka banyak hikmah. Terutama untuk menyingkap dan mengungkap pola HTI dalam ber-siyasah. Ternyata tanzhim HTI masih aktif. Sel-sel halaqah mereka masih hidup. Lone Wolf HTI sesekali muncul di media sosial. Ternyata HTI tanpa badan hukum lebih berbahaya.

Melalui reuni 212, FPI dan HTI mau membuka kembali polemik bendera HTI atau bendera tauhid?.  Sejujurnya polemik bendera bertujuan politis. Hendak membuat gaduh, memancing kericuhan, memicu kerusuhan dan berspekulasi akan terjadinya gesekan-gesekan politik di tingkat elit. Seandainya polemik itu bersifat ilmiah-syar'iyah pasti FPI dan HTI akan membahasnya secara tertutup dan terbatas dengan para pakar terutama pakar syariah, sirah, tarikh, semiotika dan hermeneutika.

FPI dan HTI paham kalau bendera produk budaya. Bendera bukan nash. Perkara bendera tidak termasuk pembahasan aqidah dan pokok-pokok syariah. Pemaknaan suatu bendera ditentukan oleh kesepatan masyarakat (konvensi sosial). Jika mayoritas umat Islam sepakat bendera yang dibakar di Garut itu bendera HTI, ya begitulah asosiasi nalar alamiah umat ketika melihat bendera warna hitam/putih yang di atasnya tertulis dua kalimah syahadat dengan khath tsulusi sempurna dan tanda syakl yang selalu dibawa HTI pada acara/kegiatan resmi mereka. [dutaislam.com/ab]

Ayik Heriyansyah, tinggal di Bandung, Jawa Barat

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB