![]() |
Panelis bedah buku "NU Penjaga NKRI". (Foto: NU Online) |
Di Sampit, Madura, misalnya, tidak pernah muncul stigma negatif atas bantuan Katolik. Warga di sana tidak menuduh adanya kristenisasi di balik itu. Dari fakta ini, ia menilai orang NU dalam beriman sudah melompat dari politik identitas menuju penghayatan kemanusiaan.
"Dari kemanusiaan itulah orang tidak lagi membedakan suku, identitas," katanya.
Di tengah kegersangan yang melanda negara ini, NU berdiri menjadi oase. NU menjadi penyejuk dengan merangkul semua elemen dan kalangan. Hal inilah yang menurut pria kelahiran Malang 50 tahun silam itu menjadi sebab NU sebagai pusat peradaban.
"Bangsa ini berutang terhadap NU," kata alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang itu.
Romo Benny menguraikan, setidaknya ada dua kesetiaan NU. Pertama, NU konsisten berpandangan bahwa NKRI adalah negara kebangsaan, bukan negara berdasar agama tertentu.Kedua, NU setia mengembalikan Pancasila kepada rel yang benar. Dari sinilah, NU selalu ada pada setiap krisis yang melanda bangsa ini.
Romo Benny menyampaikan hal tersebut saat peluncuran dan diskusi buku NU Penjaga NKRI di Gedung PBNU Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Selasa (10/04/2018) sore. Hadir pula dalam diskusi tersebut Ketum PBNU Kiai Said Aqil Siroj, peneliti LIPI Amin Mudzakir, pengamat ekstremisme Imdadun Rahmat, dan politisi muda Tsamara Amany. [dutaislam.com/gg]
