![]() |
Foto: Istimewa |
(وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ)
“Jika kamu sekalian bersyukur maka akan aku tambah nikmatku dan jika kamu sekalian kufur atau ingkar (atas nikmatku) sesunggunghnya adzabku sangat pedih”
Menurut mbah Sahal At-Tustary, sebenarnya yang disebut nikmat pada haqiqatnya adalah ilmu yang diamalkan. Ketika bersyukur atas ilmu dengan cara mengamalkannya, maka ilmu itu terus bertambah, begitu terus berlangsung selamanya.
Sehingga yang dimaksud bertambah di sini bukan rizki. Karena punya rizki tanpa dilengkapi ilmu hanya akan berakhir kerugian. Rizki hanya akibat dari usaha pengamalan ilmu tersebut.
Jadi dari ayat ini, hendaknya ketika kita beramal atau berusaha, fokusnya bukan rizki yang akan didapat melainkan bertambahnya ilmu dan kemampuan untuk mengamalkannya dengan tujuan mendekatkan diri pada Gusti Allah. Sehingga bisa disimpulkan, syukur adalah mengharap tambahan ilmu maupun ketaatan.
Ada pula yang berkesimpulan bahwa syukur haqiqatnya adalah rasa ketidakmampuan diri untuk mengeklaim sesuatu itu miliknya. Diceritakan bahwa Kanjeng Nabi Daud as bermunajat kepada Gustinya.
“Duh Gusti, bagaimana bisa aku bersyukur kepada-Mu atas kemampuanku bersyukur sementara syukurku ini Engkau yang menciptakan lalu Engkau anugerahkan kepadaku? “
Dawuh Gusti Allah “Dengan munajatmu itu, kamu telah bersyukur kepada-Ku,”
Nah, dengan demikian yang dikatakan kufur nikmat adalah beramal dengan tujuan tambahan rizki tanpa mau tambahan ilmu dan senang mengaku bahwa usaha dan rizki yang didapat adalah miliknya sendiri atas kemampuannya sendiri.
Demikian Mbah Sahal At Tustary menerangkan tafsir ayat tersebut. Semoga bermanfaat. [dutaislam.com/ed/pin]
