Ilustrasi: Istimewa |
Untung cerdas, dia pandai menggunakan penalaran. Logikanya main. Hingga suatu ketika dia kerap mengajukan pertanyaan pertanyaan kepada ustadz yang banyak hafal dalil-dalil namun jarang berpikir itu.
Suatu hari, Untung bersama sang ustad duduk bersama di sebuah majlis khusus. Seperti kebiasaanya, setelah bertemu ustad untung pasti punya pertanyaan-pertanyaan.
Untung:
"Ust, apakah Presiden kita termasuk Waliyul Amr yang sah?"
Ustadz:
"Ya tentu tidak, karna dia terangkat oleh Demokrasi. Dan Demokrasi hukum kafir bukan hukum Islam,”
Mendengar jawaban ustad, Untung teringat dengan pertanyaan dan jawab ustad tempo hari:
Untung:
"Ust, ada yang bilang demo itu harom. Bener gak?"
Ustadz:
"Ya enggak laah, kita khan hidup di Negara Demokrasi. Negara kita membolehkan demo. Jadi tidak apa-apa,"
Untung diam. Dia hanya membalok balikkan pikirannya sendiri. Dalam hatinya bergumam menyimpulkan cara berpikir ustadnya yang sempat belajar di arab itu: Disaat Demokrasi merugikannya maka dibuangkah demokrasi. Sebaliknya, disaat meng-UNTUNG-kan ia digunakan.
Sambil berpikir, Untung teringat momen-momen lain bersama sang ustad. Masih di seputar pertanyaan karena Untung merasa gelisah.
Untung:
"Ust, kok antum cukur jenggot dan isbal?"
Ustadz:
"Ooo itu khan khilaf. Jadi selama ada ulama yang berpendapat seperti itu yaa kita saling tolerir lah!"
Untung:
"Ust, katanya Tai Kucing itu suci, bener gak?"
Ustadz:
"Yaa enggak lah. Makanya jangan bawa-bawa Mazhab Hambali ke Negara yang bermazhab Syafi'i.."
Lagi-lagi Untung dibuat bingung oleh sang ustad yang berjidad hitam itu. Dia tak habis pikir, disaat khilaf ulama merugikannya, ustadnya membuangnya. Namun disaat me-NGUNTUNG-kan ustadnya membelanya.
Untung sebenarnya ingin protes tapi sebagai santri dia tetap tawadu mendengarkan ustad. Akhirnya untung hanya bisa ngelus-ngelus dada. [dutaislam.com/pin]
Keterangan:
Cerita ini dibuat Untung Mumayyiq dan dimodifikasi Dutaislam.com tanpa menghilangkan esensi dan pesan-pesan yang terkandung dalam cerita.