![]() |
Foto: Istimewa |
Lalu, bagaimana jika semua itu sudah terpenuhi tapi tubuh kita tetap terlihat karena pakaian yang kita kenakan tembus pandang? Dan bagaimana jika lekuk tubuh masih terlihat?
Dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 134) Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi menjelaskan:
يجب ستر العورة بما - أي بجرم - يمنع إدراك لونها لمعتدل البصر عادة، فلا يكفي ما لا يمنع ذلك… (قوله: ويكفي ما يحكي لحجم الأعضاء لكنه خلاف الأولى أي للرجل، وأما المرأة والخنثى فيكره لهما.
“Wajib (hukumnya) menutup aurat dengan sesuatu yang mencegah mata melihat warna kulit. Maka tidak cukup menggunakan bahan yang tidak mencegahnya (Pernyataan: Dan cukup menggunakan sesuatu yang memperlihatkan lekuk tubuh, hal semacam ini dihukumi khilaful aula bagi lelaki dan makruh bagi wanita dan khuntsa.”
Dari penjelasan di atas bisa kita pahami bahwa hukum shalat menggunakan pakaian yang tembus pandang tidak sah. Baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pasalnya, orang lain masih bisa melihat warna kulit kita.
Adapun berpakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh dalam shalat hukumnya tetap sah. Namun, namun khilaful aula (dianjurkan meninggalkannya) bagi lelaki dan makruh hukumnya bagi perempuan atau bagi orang khuntsa (berkelamin ganda). Untuk itu, sebaiknya tetap dihindari demi menjaga kesempurnaan shalat.
Shalat merupakan ibadah yang sifatnya fardu ain dan ritual hubungan makhluk dengan sang khalik yaitu Allah. Maka semestinya umat Islam menjalankannya sesempurna mungkin. [dutaislam.com/MuhammadIbnuSahroji/pin]
Source: Diolah dan diedit seperlunya dari NU Online
