Alhamdulillah Saya Alumni Madin
Cari Berita

Advertisement

Alhamdulillah Saya Alumni Madin

Selasa, 15 Agustus 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: edunews.id 
Oleh Sunan Ali

DutaIslam.Com - Saat itu, setelah pulang dari belajar di MI (setingkat SD) dan MTs (setingkat SMP), saya bersama sebagian besar teman-teman sebaya belajar di Madin pada sore hari, pukul 2 siang sampai 4 sore. Rata-rata tiap kelas terdiri dari 40 orang siswa putra dan 40 putri. Total seluruh siswa sekitar 600 an orang. Sebagian belajar di gedung dengan bangku kayu sederhana. Sebagian lainnya belajar di serambi masjid.

Madrasah sore atau sekolah sore ini --begitu kami biasa menyebutnya-- berdiri pada tahun 1960an. Jauh sebelum saya lahir.

Kurikulum pelajaran Madrasah terdiri dari akidah/tauhid, akhlak, fiqh, tajwid, al-Qur'an, Hadits dan tata bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Buku-buku yang diajarkan pada setiap tingkatan kelas disesuaikan kemampuan siswa. Seperti Al-Mabadi Al-Fiqhiyah juz 1 sampai juz 4 (Fiqih), Nurul Yaqin (sirah nabawiyah), Fathul Qarib (Fiqih), Jurumiyah, Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik.

Walaupun sebagian besar usia sebaya, beberapa diantara kami sedikit lebih tua. Saat itu sarana transportasi hampir semua guru dan siswa menggunakan sepeda onthel. Sepeda motor masih merupakan barang mahal. Iuran bulanan dari siswa dipergunakan untuk membeli kapur tulis dan sekedar minuman kopi atau teh bagi para guru. Mungkin karena dianggap sebagai sekolah non-formal, Madin tidak memperoleh dana bantuan pemerintah.

Seperti halnya Madin, sebagian besar Taman Pendidikan al-Qur'an (TPA) masuk sore antara pukul 2.30 sampai selesai shalat ashar. TPA biasanya diselenggarakan di rumah penduduk, mushalla atau masjid.

Di kampung kami, anak-anak yang belum bisa membaca al-Qur’an dan baca tulis Arab belajar di TPA terlebih dahulu. Setelah selesai TPA, baru masuk ke Madin.

Sebelum bertugas di KBRI Nairobi, Kenya, anak kedua kami bersama sebagian teman-teman seusia juga belajar membaca al-Qur'an di sebuah TPA di mushalla komplek perumahan kami di Depok pada sore hari.

Bekal ilmu pengetahuan dari belajar di Madin --tentunya juga ilmu dari berbagai jenjang pendidikan lainnya-- sangat terasa manfaatnya dalam mengarungi kehidupan.

Dengan bekal ilmu yang diajarkan guru-guru di Madin ini, alhamdulillah saya bisa membaca al-Qur'an dan teks-teks Arab. Saat bertugas di KBRI Sana'a, Yaman, mampu berkomunikasi dengan bahasa setempat dengan relatif tanpa kendala.  

Mengikuti pemberitaan polemik kebijakan pemerintah terkait sekolah delapan jam dan sekolah lima hari seperti diberitakan akhir-akhir ini, tidaklah berlebihan munculnya kekhawatiran tentang keberlanjutan Madin dan TPA. Karena, jam belajar mayoritas Madin dan TPA di ribuan mushalla, masjid dan pesantren adalah sore hari. Apabila sekolah pulang pukul 4 sore, maka Madin dan TPA bisa bubar.

Menurut saya, tidaklah berlebihan pula adanya kekhawatiran bahwa apabila kebijakan tersebut diterapkan, di masa mendatang akan  sulit ditemui atau bahkan tidak akan ditemukan lagi anak-anak yang belajar membaca buku Iqro' di madrasah, mushalla atau masjid. Tidak ada lagi anak-anak yang bermain di serambi masjid, sambil menunggu giliran membaca Iqro' di depan guru. Karena Madin dan TPA gulung tikar. Semoga hal-hal itu tidak akan terjadi.

Atau bisa jadi kurikulum Madin akan diserap ke dalam kurikulum sekolah formal baik negeri maupun swasta. Seperti kitab Sulamut Taufiq, Fathul Qarib, Bulughul Maram, Jurumiyah, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik dan lain-lain menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Walaupun saya tahu, hal itu tidak mungkin terjadi. Alias mimpi.

Apapun yang terjadi, pada akhirnya, saya hanya bisa berdoa semoga Jayalah selalu Madrasah Diniyah, Jayalah selalu Taman Pendidikan al-Qur'an. Amin. [dutaislam.com/gg]

Sunan Ali, Alumni Ploso, sekarang di KBRI Kenya.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB