DutaIslam.Com –
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan, dalam pengajian Kliwonan di
Gedung Kanzus Shalawat Pekalongan, Jumat (20/05/2016), menjelaskan ma’rifatul
ikhlash yang mudah diucapkan namun sangat sulit dilakukan tanpa tahapan-tahapan
yang rutin.
“Siapa sih yang tidak menginginkan pahala. Semua orang yang
beribadah menginginkan pahala. Tapi kadang kita lupa kepada si pemberi pahala. Hanya
pahala yang dikejar, tapi yang memberikan pahala tidak,” papar Habib Luthfi
kepada ribuan hadirin.
Kalimat Habib Luthfi tentu sebagai introspeksi, kritik dan
sekaligus sindiran bagi cara-cara beribadah yang cenderung bangga setelah
melaksanakan ritual kewajiban semacam shalat, puasa, zakat dan lainnya.
Seolah-olah, ketika beribadah, neraka sudah jauh dari hadapannya. “Takut kepada
neraka melebihi takut kita kepada Allah. Ini aneh. Padahal, ketika kita takut
kepada pencipta neraka, itulah sejatinya khauf
kepada Allah SWT,” tegas Habib.
“Apabila ingin keikhlasan kita bisa menggapai keikhlasan,
kenali dahulu si pemberi pahala. Besar mana nilai pahala dengan pemberi pahala?
Orang ahli ma’rifah akan mengatakan lebih besar pemberi pahala,” lanjutnya.
Mengaku mampu melaksanakan ibadah adalah bagian dari ikhlash
yang belum mencapai cahaya Allah yang sesungguhnya. Kalau dalam ikhlash hanya
mengenal ibadah tanpa makrifat kepada Allah, maka, ia tidak akan sadar bahwa
yang membuatnya mampu melaksanakan ibadah sebenarnya hanyalah Allah.
Oleh karena itulah, kunci segala iklash adalah melihat (ma’rifat)
kepada Allah sehingga memiliki rasa malu di hadapan-Nya. Inilah yang disebut
Habib Luthfi sebagai nurul ma’rifat (cahaya
ma’rifat) dari ikhlash.
“Kalau kita sudah mendapatkan nurul makrifah, maka yang berat akan terasa nikmat. Contohnya,
puasa Ramadhan. Walaupun di akhir akan berbuka puasa, orang yang menikmati
puasa itu seolah-olah kalau waktu bisa diajukan sedikit, ia akan bilang “jangan
buru-buru maghrib,” tandas Maulana Habib.
Sayangnya, kebanyakan dari kita sering tertipu oleh nafsu
sendiri. Membaca Qur’an pun kadang bukan karena Allah. Kelihatannya karena
Allah, tapi sesungguhnya ia sedang menghibur nafsunya.
Misal, membaca Al-Qur’an untuk menunggu buka puasa. Bagi
yang bacaannya lancar pasti tahu kalau membaca satu juz biasanya habis 30
menit. Namun, menjelang nikmat berbuka puasa, membaca Al-Qur’an jadi tidak
khusyuk. Belum rampung satu juz, matanya melirik ke jam berkali-kali menanti
kapan maghrib segera tiba. “Ini nafsunya dihibur oleh Qiroatil Qur’an,” tutur
Habib Luthfi.
Ramadhan akhirnya menjadi tahapan orang-orang beriman untuk
tidak tertipu nafsu agar bisa meraih maqomatil
ikhlash yang sesungguhnya. “Kita harus bangga diperintah Allah bisa shalat,
zakat, tarawih, karena itu bagian dari kehormatan dari Allah SWT yang diberikan
kepada kita,” lanjutnya.
Kalau setiap orang mukmin selalu menikmati dipanggil oleh Allah
SWT sebagai “Ya ayyuhal ladzina amanu/
hai orang-orang yang beriman”, sebagaimana dalam ayat-ayat yang tersebar dalam
Al-Qur’an, mestinya kita malu. “Solusi untuk menghilangkan rasa malu, kita
harus taat kepada Allah SWT,” pungkas Habib Luhtfhi. [dutaislam.com/ abdullah badri]
