DutaIslam.Com - Polemik memilih pemimpin non-muslim muncul kembali
ke permukaan setelah ada pimpinan partai baru yang blusukan ke
pesantren-pesantren NU dengan sambutan yang meriah. Bahkan, ada yang menganggap
itu bagian dari inferioritas muslimin Indonesia karena mau tunduk kepada calon
pemimpin non muslim yang belum diketahui kredibilitasnya.
Di Hotel Sylendra Jepara, Redaksi Duta Islam berkesempatan mewawancarai
Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin membahas soal itu, beberapa menit sebelum beliau berangkat
ngisi kuliah umum di Unisnu, Jepara, Rabu (27/04/2016). Pemimpin Redaksi M Abdullah
Badri mengalihkan rekaman 16 menit dalam teks ekslusif.
Bagaimana pendapat
Kiai soal pemimpin non muslim?
Di PBNU ini ada banyak pendapat ya. Antar tokoh tidak sama
pendapatnya. Kalau saya sendiri mengatakan, kalau ada pemimpin muslim kita
wajib memilih pemimpin yang muslim.
Kalau dalam keadaan
darurat tetap yang muslim, Kiai?
Darurat itu artinya tidak ada pemimpin muslim. Kalaupun ada,
jelek, mutaqqanul jelek-nya lah. Sekarang
kan tidak tahu ada yang jelek atau tidak untuk pemimpin muslim. Masih mauhumah. Saat ini tidak bisa dibilang
tidak ada pemimpin muslim. Yang terpenting dan nomor satu itu agamanya. Apalagi
seorang pemimpin.
Ada yang menginginkan
pemimpin non muslim karena beranggapan calon pemimpin muslim kuatir khianat kepada
rakyat?
Kalau non muslim lebih dari istilah dikhianati, tapi
mengkhianati. Komunitas-komunitas muslim kan dihabisi. Seperti di Luar Batang
itu. Mau dipindahin. Jadi, komunitas lain akan di situ.
Lebih baik non muslim
adil daripada muslim tapi tidak adil?
Yak kan harus diuji dulu adilnya di mana. Adil itu menempatkan
pada tempatnya. Salah satunya memelihara komunitas muslim. Bukan digusur tapi
diperbaiki. Kalau dipindah ya habis komunitasnya.
Anak-anak NU Garis
Lurus yang sering bikin gaduh soal memilih pemimpin non muslim?
NU Garis Lurus itu kadang-kadang memang terlalu lurus. Bener
tapi kelurusen, jadi tidak ada belok-beloknya. Soal cara mereka tidak
menggunakan adab, harus diluruskan lagi walau katanya untuk koreksi. Pikirannya
lurus tapi caranya belum lurus harus diluruskan agar lebih soft.
Tapi kiai-kiai sepuh
belum ada yang mampu meluruskan, Kiai?
Jadi begini. NU itu kan harusnya tengah. Tapi ada yang
terlalu ke kiri, terlalu liberalis. Ada juga yang terlalu ke kanan. Lahirlah
cara berpikir tekstual. Jadi ini memang dua kutub yang saling menegasikan. Kita
harus kembalikan ke jalan tengah, yang tawassuthiyyan
wa tathawwuriyyan wa manhajiyyan. Dia harus moderat, tidak tekstual tapi
tidak liberalis. La tekstualiyyan wa la libraliyyan.
Cara mengembalikan ke
jalan tengah?
Ya diedukasi. Keduanya harus tathowwuriyyan; dinamis, tidak boleh statis. Karena itu harus ada
telaah ulang, reorientasi baru. Tapi harus manhajiyyan,
berdiri di atas manhaj ala ma alaihil
muassisuna. Tidak boleh keluar dari manhajnya.
Kiai mengakui di NU
struktural ada tokoh liberal?
Ya memang ada. Harus dikembalikan dan diedukasi tentunya.
Begini ya. Pada tahun 90-an itu, kita mengalami era berpikir tekstualis. Kalau
tidak ada qaul, kita tidak mengambil
keputusan. Jadi kalau al-Qarafi itu menyebut ada cara berpikir yang statis pada
teks-teks atau disebut al jumud alal
manshusah, maka di NU ada “al jumud
ala ibarat.” Saya kadang-kadang mengambil istilah itu karena NU tidak mau
keluar dari ibarat kitab.
Maka itu, pada Munas Lampung tahun 1992, kita melakukan pengembalian,
bahwa yang asli itu tidak seperti itu. NU itu sangat dinamis, tidak statis. Di
susunlah sistem pengambilan keputusan di lingkungan NU. Ketika itu saya namakan
tathwirul fikrah an nahdliyyah,
dinamisasi pemikiran di lingkungan NU. Sehingga ketika tidak ada qaul, kita
bisa melakukan istinbath jama’i. Itu
bagian dari dinamisasi.
Bagaimana dengan yang
liberal itu, bukankah dinamis juga?
Nah, dalam proses dinamisasi itu terjadi perubahan-perubahan
sangat dinamis yang kebablasan menuju liberalisasi. Maka, pada Munas NU di
Surabaya tahun 2005 saya juga telah melakukan pengonsepan tentang fikrah nahdliyyah. Yakni tawasshutiyyan wa tathowwuriyyan wa
manhajiyyan. Jadi sekali lagi, tidak hanya dinamis, tapi juga bermanhaj.
Tidak boleh keluar dari manhaj. Liberal ini cenderung keluar dari manhaj. Tidak
liberal, tidak statis, dinamis tapi bermanhaj. Tekstual dan liberal itu juga NU,
tapi yang keluar dari khittah.
Pendapat yang tidak
membolehkan memilih pemimpin non muslim tidak terlalu tekstual, Kiai?
Saya tegaskan, jika tidak ada muslim yang dipilih, ya
silakan. Kalau pemimpinnya kafir semua, kan milihnya yang kafir. Sudah ada
hadistnya: man ista’mala amilan alal
muslimin wahuwa ya’lamu anna ghoirahu afdholu minhu, faqod khonallaha wa
rasulahu wal muslimin/ siapa yang memilihkan pejabat publik atas orang
Islam, padahal dia tahu orang lain lebih utama daripada orang itu, dia berkhianat
kepada Allah, Rasulullah dan orang-orang muslim.
Nah, afdholiyah itu
yang mana? Kalau ada orang Islam ya yang afdlol
orang Islam. Karena pemimpin negara itu sekaligus pemimpin agama. Ini bukan
menyatunya agama dan negara, tapi seorang pemimpin itu bertanggungjawab atas
agama dan negara sekaligus. Kalau khilafah itu memperjuangkan sistem
pemerintahan. Mereka tekstual, tidak tathawwur.
Dalam agama itu ada yang tsawabit
(tetap) dan mutaghoyyirat (berubah). Ada
dua kelompok memang. Yang tetap ini tidak mau dinamis. Khilafah ya khilafaaah
terus. Padahal khilafah itu sekarang penerapannya sudah berubah.
Kelompok satunya lagi ada yang ingin semuanya berubah.
Liberal itu di sini. Nah, yang baik itu, kita punya yang tetap dan punya
sebagian yang berubah. [ab]