Dahsyatnya Pengaruh Berputus Asa, Laksana Denting Lonceng Kematian
Cari Berita

Advertisement

Dahsyatnya Pengaruh Berputus Asa, Laksana Denting Lonceng Kematian

Duta Islam #03
Senin, 26 Maret 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi: Istimewa
Oleh Kuswaidi Syafiie

DutaIslam.Com - Putus asa yang sejatinya merupakan penyakit psikis yang seringkali menjangkiti manusia sungguh ditampik oleh agama Islam, bahkan diperintahkan untuk sesegera mungkin dienyahkan. Tentu saja bukan tanpa alasan. Karena ketika penyakit kronis kejiwaan itu menggerogoti seseorang, ia akan melenyapkan keceriaan dan menimpuk orang tersebut dengan rasa grogi, minder dan rendah diri (bukan rendah hati): suatu kondisi kejiwaan yang bukan saja tidak produktif, akan tetapi juga tidak bisa diharapkan untuk melangkah ke depan dengan kepala tegak dan penuh pengharapan.

Keputusasaan adalah bunyi lantang gendrang pengingkaran terhadap cakrawala rahmat Ilahi yang tidak bertepi. Di saat seseorang diringkus dan digocoh oleh rasa putus asa, dia sesungguhnya sedang menggembok gerbang kemungkinan untuk berkenalan dengan sifat rahman dan rahim Allah SWT, dengan kedahsyatan kasih dan sayang hadirat-Nya.

Kekuatannya akan menjadi susut sekaligus surut. Nilai eksistensinya akan mungkret dan auranya semakin lama akan semakin pudar. Kehidupannya akan memasuki sebuah gorong-gorong nasib hasil rekaannya sendiri, begitu gelap dan begitu pengap: suatu bayang-bayang kehidupan yang suram, layu dan terkulai.

Rasa perih keputusasaan sungguh lebih menyayat dibandingkan dengan rasa sakit yang menggigit badan, lebih buruk dampaknya ketimbang luka yang digoreskan oleh mata pedang yang paling tajam sekalipun. Bahkan kepedihan menganga yang disebabkan oleh keputusasaan itu tidak saja ditanggung seseorang (na'udzu billahi min dzalik) pada episide kehidupan di dunia yang fana, ringkih dan seringkali semraut ini, namun juga akan selalu digendong pada fase kehidupan di akhirat yang tidak pernah terbayangkan ujung dan batasnya.

Ketika genangan keputusasaan itu merendam kehidupan seseorang, dia akan memiliki mental yang tidak jauh watak dan nuansanya dari mental rumpun binatang. Ditebuslah kesumpekan dirinya dengan cara melampiaskan nafsu kemaruk terhadap nikmatnya makanan, minuman, perkawinan, tempat tinggal dan segala kesenangan artifisial yang sia-sia dan hampa makna.

Lantaran itulah kemudian Allah SWT dengan tegas menarik garis korelatif antara keputusasaan dengan kekufuran sebagai dua entitas yang secara substansial sama-sama berarti penolakan terhadap keutuhan karunia, cinta dan kasih-sayang hadiratNya. "Janganlah kalian berputusasa dari rahmat Allah," firmanNya dalam al-Quran surat Yusuf ayat 87. "Sesungguhnya tidaklah putus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kufur."

Betapa sangat besar dosa yang mesti ditanggung seseorang akibat keputusasaan itu sebagaimana besarnya dosa kekufuran. Dosa yang dimaksud di sini tidak saja dalam konteks teologis belaka, akan tetapi juga dalam konteks progresifitas sistem kosmologis, baik yang berlangsung secara personal maupun horisontal. Dalam hal ini, keputusasaan itu ibarat penyakit udhun pada jasad seseorang yang membuat sistem dan metabolisme tubuhnya jadi terganggu.

Dalam konteks kehidupan sosial secara mondial, betapa keputusasaan seringkali menyergap perjalanan hidup banyak orang. Banyak sebenarnya yang bisa dikerjakan oleh mereka untuk menciptakan iklim kehidupan yang sehat, untuk menaikkan frekuensi dan taraf ekonomi umat, untuk memancangkan dan menegakkan keadilan, untuk senantiasa menggelar permadani toleransi dan kedamaian, untuk selalu mengangkat harkat dan martabat nilai-nilai kemanusiaan dan lain sebagainya.

Akan tetapi sungguh seringkali kita menyaksikan dengan gamblang betapa mereka yang memililiki kapasitas untuk melakukan hal-hal berarti seperti itu ternyata hanya diam saja. Intelektualitas, skill, keberanian untuk melakukan inovasi, kejujuran dalam bertindak, antisipasi untuk masa depan yang lebih cemerlang dan kemampuan untuk melahirkan generasi mendatang yang lebih mempunyai integritas: semua itu kerapkali jumud dan bahkan membeku di ketiak-ketiak waktu. Berbagai alasan mereka sampaikan untuk melegitimasi sikap pasif itu. Namun hal tersebut sejatinya tak lain merupakan realisasi dari keputusasaan.

"Putus asa adalah denting lonceng kematian dalam kehidupan, gemuruh nista sekaligus nestapa setelah kematian," tulis Syaikh Mushthafa al-Ghalayani dalam kitab 'Izhatun Nasyiin. "Karena itu," sambung beliau dengan nada tegas dan penuh pengharapan, "sembelihlah leher keputusasaan itu dan kuatkanlah keteguhanmu, maka dengan bimbingan dan perkenan hadiratNya engkau akan menjadi bagian dari barisan orang-orang yang beruntung." [dutaislamm.com/pin]

Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Baca: Merealisasikan Allah: Membaca Nuansa Keilahian
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB