Yuk Gabung Channel Telegram Majelis Ar-Raudhah
Cari Berita

Advertisement

Yuk Gabung Channel Telegram Majelis Ar-Raudhah

Kamis, 10 Maret 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

DutaIslam.Com - Alhamdulillah, kini telah hadir program kajian Islam ahlussunnah wal jama'ah melalui aplikasi Telegram bersama Sayyidil Habib Novel bin Muhammad Alaydrus (Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah Solo).

Dapatkan kajian Ilmu baik dalam bentuk Tulisan, Suara dan Video di handphone anda. Caranya gampang banget, silahkan download aplikasi "Telegram", kemudian ikuti atau join channel Majelis Ar-Raudhah Pusat di http://goo.gl/3wCSD9.

Channel Telegram Majelis Ar-Raudhah Pusat ini diasuh dan di admin langsung oleh Al-Habib Novel bin Muhammad Alaydrus.

Cara Download Aplikasi Telegram:
  1. Pengguna Android, silahkan download aplikasi Telegram di sini: https://goo.gl/ETCLJa atau https://goo.gl/7mkq8y.
  2. Pengguna Iphone/ IPad, silahkan download aplikasi Telegram di sini: https://goo.gl/3fQX29 atau https://goo.gl/M1COz9.
  3. Pengguna Windows Phone, silahkan download aplikasi Telegram di sini: https://goo.gl/EQwNIw atau https://goo.gl/pWK4wh.
  4. Pengguna PC/ Laptop/ Mac/ Linux, silahkan download aplikasi Telegram di sini: https://goo.gl/WKPXB8 atau https://goo.gl/wmjYZY.
  5. Pengguna Web Version bisa mengakses di sini: https://goo.gl/wGvxHC atau https://goo.gl/GFClsH.
Cara Gabung di Channel Telegram Majelis Ar-Raudhah Pusat:
  1. Setelah download aplikasi Telegram, silahkan instal dan buka aplikasinya, kemudian daftarkan nomer handphone Anda seperti pendaftaran "WhatsApp".
  2. Setelah itu Anda akan mendapatkan SMS verifikasi. Silahkan masukkan Kode SMS verifikasi yang diterima ke aplikasi "Telegram" (biasanya otomatis Kode dimasukkan oleh aplikasi).
  3. Setelah itu masuk di aplikasi Telegram, silahkan klik, ikuti atau join channel Majelis Ar-Raudhah Pusat di http://goo.gl/3wCSD9.
Dengan bergabung di channel Telegram Majelis Ar-Raudhah Pusat, insya Allah anda akan mendapatkan kiriman tausiyah langsung dari Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, bisa ngaji bareng bersama para jamaah Majelis Ar-Raudhah Solo dari seluruh Indonesia dan Dunia. Kapan lagi coba bisa ngaji tiap hari bersama Habib Novel Alaydrus? Makanya yuk gabung bersama channel Telegram Majelis Ar-Raudhah Pusat dihttp://goo.gl/3wCSD9. Insya Allah berkah, manfaat, nambah ilmu, dan ukhuwah.

Berikut contoh tausiyah yang dikirim di channel Telegram Majelis Ar-Raudhah Pusat:

========================== awal kutipan ===========================

Mengapa Dianjurkan Bertanya
Habib 'Abdullah Bin 'Alwi Al-Haddad
Diterjemahkan oleh Habib Novel Bin Muhammad Alaydrus

Bertanya pada saat ada keperluan, sewaktu menghadapi persoalan atau dengan tujuan untuk memperluas ilmu adalah kebiasaan orang-orang saleh di mana saja di sepanjang masa. Jika ilmu itu adalah sesuatu yang wajib diketahui, maka mempelajarinya pun juga menjadi kewajiban. Adapun ilmu-ilmu tambahan, maka mempelajarinya merupakan suatu keutamaan.

Bertanya adalah kunci untuk memahami rahasia-rahasia ilmu dan menyingkap kegaiban yang tersimpan di dalam hati. Sebagaimana harta benda di rumah yang tidak bisa diambil kecuali dengan kunci, demikian pula ilmu kaum ulama dan ‘ârifîn, tidak akan dapat dipelajari ataupun diambil manfaatnya, kecuali dengan mengajukan pertanyaan dengan jujur, dengan keinginan yang kuat serta dengan adab yang baik.

Allâh Ta‘âlâ memerintahkan kita untuk bertanya:

فَسْئَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ

“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu” (QS Yûnus, 10: 94)

فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (لا) بِالْبَيِّنَاتِ وَ الزُّبُرِ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dengan keterangan keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.” (QS An-Nahl, 16: 43-44)

Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda:

حُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ

“Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu.” (HR Thabarânî dari Ibnu ‘Umar)
Tujuan para imam memamerkan kedalaman ilmu mereka adalah agar mereka ditanya dan diminta ilmunya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidinâ ‘Alî karromallahu wajhah, Ibnu Mas‘ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Abû Hurairah dan para salaf maupun khalaf radhiyallôhu ‘anhum.

Beberapa ulama, diantaranya ‘Urwah bin Zubair, Hasan al-Bashrî, dan Qatâdah sangat menganjurkan masyarakat untuk bertanya. Sufyân Ats-Tsaurî jika memasuki suatu daerah dan tidak ada seorang pendudukpun yang bertanya tentang ilmu, ia berkata, “Di kota ini ilmu telah mati.” Ia lalu segera meninggalkan daerah itu.

Suatu ketika Asy-Syiblî rahimahullah membuka majelisnya, namun tidak seorangpun mengajukan pertanyaan, beliau kemudian membacakan wahyu Allâh Ta‘âlâ :

وَ وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لاَ يَنْطِقُوْنَ

Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa pun) (QS An-Naml, 27: 85)

Seorang yang alim kadang-kala bertanya kepada mereka yang hadir di dalam majelisnya dengan maksud agar yang lain dapat mengambil manfaat dari pertanyaan itu atau untuk menyelidiki seberapa dalam pengetahuan mereka.
Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan bahwa ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam berada di antara para sahabatnya, beliau menguji mereka dengan pertanyaan tentang sebuah pohon yang daunnya tidak rontok.

Pohon itu mencerminkan kepribadian seorang mukmin. Para sahabat tidak ada yang mampu menjawab. Kemudian Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam memberitahukan jawabannya, yaitu pohon kurma. Ibnu ‘Umar, yang berada di tengah-tengah mereka sudah mengetahui jawabannya, tetapi diam saja. Ia kemudian memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya. Ternyata sikap diamnya itu dicela oleh ayahnya.

Sayyidinâ ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sering bertanya kepada orang yang duduk bersamanya. Jika pertanyaannya dijawab dengan kalimat wallahu a’lam (Allâh Lebih Mengetahui), beliau radhiyallahu ‘anhu marah, “Aku tidak bertanya kepadamu tentang ilmu Allâh, tetapi ilmumu. Jawablah dengan kalimat: ‘aku tahu’, atau ‘aku tidak tahu’.”

Seorang alim kadang-kala bertanya kepada salah seorang yang duduk bersamanya tentang sesuatu yang diketahuinya dengan tujuan agar yang lain memperoleh manfaat. Contohnya adalah pertanyaan Jibrîl ‘alaihis salâm kepada Nabi shallallâhu 'alahi wa sallam di depan para sahabat mengenai Islam, Iman dan Ihsan.

Berkat rahasia Allâh yang tersembunyi, orang-orang yang dianugerahi ilmu, acapkali mendapat penghormatan melebihi orang-orang yang lebih mulia. Sehingga orang yang lebih mulia terpaksa datang untuk bertanya kepadanya, sebagaimana yang dilakukan Khalifah ‘Umar ketika mendatangi Hudzaifah untuk bertanya tentang fitnah atau tanda-tanda kemunafikan.

Seorang yang alim kadang-kala bertanya kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan setingkat atau hampir setingkat mengenai AlQurân dan Sunnah dengan maksud untuk mengetahui apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat mereka, sehingga jawaban itu akan memperkuat pemahamannya.

Sebagaimana pertanyaan Sayyidinâ ‘Umar radhiyallahu ‘anhu kepada para sahabatnya mengenai pemahaman mereka tentang surat An-Nashr. Saat itu, tidak seorang sahabatpun kecuali Ibnu ‘Abbâs, mampu memberikan jawaban yang sesuai dengan pendapat Sayyidinâ ‘Umar.

Hal seperti ini sering dilakukan oleh ulama-ulama besar dahulu dan yang datang kemudian. Adapun pertanyaan Sayyidinâ ‘Umar kepada Sayyidinâ ‘Alî tidak lain untuk mengambil manfaat dari beliau. Sebab beliau memperoleh kehormatan sebagai pintu kota ilmu Rasûlullâh saw, suatu kekhususan yang tidak bisa ditandingi oleh sahabat-sahabat lain.

Anjuran Rasûlullâh kepada para sahabatnya untuk tidak memperbanyak pertanyaan, meskipun bersifat umum, adalah khusus untuk pertanyaan-pertanyaan tentang hukum (ahkâm), ketentuan-ketentuan Allâh (hudûd) dan perihal kemanusiaan (ahwâlun nâs). Larangan ini adalah salah satu wujud kasih sayang beliau shallallâhu 'alahi wa sallam kepada umatnya agar mereka tidak dibebani dengan kewajiban yang tidak mampu mereka pikul.

Allâh Ta‘âlâ mewahyukan:

يَآ أَيُّهَا الَذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَسْئَلُوْا عَنْ أَشْيَآءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَ إِنْ تَسْئَلُوْا عَنْهَا حِيْنَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَ اللهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ. قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِّنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوْا بِهَا كَافِرِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian niscaya akan menyusahkan kalian dan jika kalian menanyakan di waktu Qurân sedang diturunkan niscaya akan diterangkan kepada kalian. Allâh memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kalian menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka) kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (QS Al-Mâidah, 5:101-102)
Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَ حَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ أَشْيَآءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَآءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا

“Sesungguhnya Allâh telah menetapkan berbagai kewajiban maka janganlah kalian mengabaikannya dan menetapkan batasan-batasan, janganlah kalian melanggarnya dan Allâh diam atas berbagai hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-carinya.” (HR Sunan Dâruqutnî dari Abî Tsa’labah)

Beliau juga berkata:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَآئِلِهِمْ وَ اخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَآئِهِمْ

“Sesungguhnya yang menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan dan penentangan yang mereka lakukan terhadap para nabinya.” (HR Muslim)

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasûlullâh saw, “Apakah haji wajib dikerjakan tiap tahun?” Beliau diam. Ketika si penanya mengulang-ulang pertanyaannya, beliau berkata, “Hanya wajib sekali seumur hidup, seandainya kukatakan: ya, tentu hukumnya akan menjadi wajib dikerjakan setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”

Di balik persoalan yang mendalam ini tersimpan sebuah rahasia mulia yang tidak tepat untuk disebutkan di dalam buku ini, maka carilah rahasia itu dengan bersandar pada wahyu Allâh Ta‘âlâ:

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ

Barang siapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allâh. (QS An Nisâ`, 4:80)

إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allâh. (QS Al-Fath, 48:10)

Seorang murîd atau pelajar ketika bertanya kepada Syeikh atau gurunya hendaknya tidak berniat lain kecuali untuk menuntut ilmu. Berhati-hatilah, jangan sampai pertanyaan diajukan untuk menguji, karena murîd seperti ini tidak akan pernah mencapai tujuannya dan akan merugi.

Seorang Syeikh atau seorang alim, ketika ditanya oleh para murîd-nya mengenai suatu persoalan yang berbahaya untuk diketahui atau persoalan yang pemahaman mereka belum sampai ketingkatan itu, maka hendaknya ia menjelaskan bahwa mereka belum waktunya untuk menerima jawaban bagi persoalan itu. Tentunya setelah ia yakin, bahwa ucapannya tersebut tidak akan meluluhkan hati mereka, membahayakan agama mereka dan tidak akan memalingkan mereka dari menuntut ilmu.

Jika tidak demikian, maka sang syeikh harus berusaha menyesuaikan jawabannya sebatas ilmu dan pemahaman para murîd-nya. Jika ia enggan, janganlah kemudian berkata sebagaimana perkataan sebagian ahli hakikat:

عَلَيَّ نَحْتُ الْقَوَافِيْ مِنْ مَعَادِنِهَا وَ مَا عَلَيَّ إِذَا لَمْ تَفْهَمِ الْبَقَرُ

Kewajibanku hanyalah menyusun,
bait-bait syair dari sumbernya
Dan bukan tanggung jawabku,
jika sapi tak mampu memahaminya

Ungkapan ini hanya berlaku pada keadaan dan tempat yang khusus. Seorang syeikh atau seorang alim itu bagaikan seorang ayah yang penuh kasih sayang atau pengasuh yang santun. Dalam berbicara dan bergaul, ia selalu menebarkan kemaslahatan dan manfaat.

Bertanya dengan tujuan menguji diijinkan dalam dua keadaan tertentu, yaitu: Pertama, bagi seorang alim yang suka memberikan nasihat dan memiliki rasa kasih sayang. Dia boleh bertanya untuk menguji dengan maksud menasehati seseorang yang telah dikuasai oleh rasa bangga diri yang dapat merintanginya untuk menuntut ilmu dan membuatnya enggan mengakui keunggulan orang-orang yang telah diakui kemuliaannya. Dengan nasehat itu diharapkan ia dapat menyadari kesalahannya. Nasehat ini akan lebih mengena jika tidak diberikan di depan umum.

Kedua,bagi seorang alim, ketika melihat seorang munafik yang pandai berbicara. Jika ia khawatir, bahwa si munafik akan menyesatkan orang-orang yang lemah imannya dengan mengajarkan hal-hal yang menyalahi tuntunan agama, maka ia boleh bertanya di hadapan mereka untuk menguji, yaitu untuk menunjukkan kesalahan dan kebodohan si munafik, dengan niat untuk memberi nasehat dan memperingatkan dia akan aib-aibnya sambil berharap agar ia sadar kembali dan tunduk kepada Allâh. Inilah yang dilakukan para ulama radhiyallahu ‘anhum di dalam perdebatan mereka dengan ahli bid‘ah, orang yang menyeleweng dan suka memutar-balikkan fakta.

Seorang alim tidak boleh berdiam jika ditanya tentang ilmu yang wajib ia ajarkan. Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam:

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak di hari kiamat Allâh akan mengikatkan tali kekang yang terbuat dari api (di kepalanya). (HR Ahmad dan Abû Dawud)

Ulama zaman sekarang hendaknya tidak menyembunyikan ilmu, sehingga orang yang mempunyai persoalan terpaksa harus selalu datang kepada mereka. Masyarakat zaman kini telah meremehkan urusan agama, perhatian mereka sangat kecil terhadap ilmu dan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Bahkan orang yang janggutnya telah berubanpun belum mengetahui syarat-syarat wajib bersuci (thahârah) dan shalat. Dia juga belum mempelajari ilmu keimananiman kepada Allâh, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya dan hari akhiryang sesungguhnya wajib ia ketahui. Perilaku mereka cenderung pada kejahilan. Jika mereka berakal tentu akan bertanya kepada ulama.

Seorang murîd yang hendak mendekatkan diri kepada Allâh, yang berkeinginan untuk mengenal Allâh dan yang ingin berpaling dari segala sesuatu yang dapat merintangi perjalanannya menuju Allâh, hendaknya tidak menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu kecuali bila menyangkut persoalan pribadi yang amat mendesak. Namun di zaman yang penuh berkah ini, murîd semacam ini lebih sulit ditemukan daripada binatang yang berkepala burung dan bertubuh singa serta ia lebih langka daripada kibrîtul ahmar.

Setiap orang hendaknya banyak bertanya untuk memperoleh manfaat dan tambahan ilmu. Sebab, seorang mukmin tidak akan pernah merasa puas berbuat kebaikan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَنْهُوْمَانِ لاَ يَشْبَعَانِ: مَنْهُوْمُ الْعِلْمِ وَ مَنْهُوْمُ الْمَالِ

(Ada) dua orang rakus yang tidak pernah puas (kenyang), orang yang rakus ilmu dan orang yang rakus harta. (HR Thabarânî dari Ibnu Mas‘ûd)

Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
Telegram Channel: http://goo.gl/3wCSD9

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Sebelum membaktikan diri kepada Allâh, Dâwûd Ath-Thô`î rahimahullah bergaul dengan ulama. Ia menghadiri majelis Imam Abû Hanîfah selama kurang lebih satu tahun. Suatu saat ia menghadapi suatu persoalan. Keinginannya untuk mengetahui jawaban atas persoalan tersebut lebih besar dari keinginan seseorang yang kehausan untuk meminum air segar. Namun ia tidak menanyakannya. Karena itulah aku katakan bahwa seorang murîd hendaknya tidak bertanya kecuali untuk persoalan-persoalan darurat. [dutaislam.com/ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB