![]() |
Makam Mbah Kiai Sutomargo Ja'far Datuk Subuh Sidigede, Welahan, Jepara, Jawa Tengah. Foto: dutaislam.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.com - Datuk Subuh adalah julukan kehormatan untuk Kiai Sutomargo asal Aceh. Sejak membuka majelis pengajian di mushallanya (langgarnya) setiap habis Sholat Subuh, ia dikenal sebagai Datuk Subuh. Baginya, ibadah yang paling disenangi Allah Swt. adalah shalat Subuh. Orang yang rajin shalat Subuh mudah dikabulkan segala hajatnya oleh Allah Swt.
Ada 27 murid yang rajin mengikuti pengajian agama Islam kepadanya. Tiga diantaranya perempuan. Salah satu muridnya bernama Umaruddin, asal Pati, yang dikebumikan di Komplek Kuburan Lastri, Gunungmulia, Juwana, Pati, tempat dakwah Umaruddin sewaktu masih hidup. Sayangnya, sekarang nisannya tidak tarawat dan hilang termakan usia. Kini maqbarahnya tertutupi pohon besar kuno. Saat nyantri ke Datuk Subuh, Umaruddin akrab dipanggil sebagai "Joko Telo".
Baca: Kisah Mbah Semboja, Murid Cinta Mati Mbah Sabilan (Demaan, Jepara Kota)
Sutomargo Datuk Subuh adalah putra dari Kiai Muhammad Ja'far. Karena itulah, nama lengkapnya Sutomargo Ja'far. Sosoknya setinggi 20 depa tangan (satu depa berukuran 20an cm). Rahangnya agak berisi dan berhidung mancung. Tutur katanya lembut, berbahasa Melayu, dan irit bicara. Dia sering berjubah putih ala pakaian adat Melayu laiknya para ulama' Aceh di zaman itu.
Di usia 22 tahun, ia menikah dengan seorang perempuan berusia 12 tahun. Namanya Cut Mandar. Akibat jarak yang jauh, sejak menikah, Sutomargo Ja'far tidak pernah mengenal nama mertuanya, yang kemungkinan masih keturunan Suku Mandar. Saat akad nikah, yang menjadi wali nikahnya adalah ulama' asal Aceh bernama Ustman Walid, guru Cut Mandar, yang merupakan mursyid Thariqah Syadziliyah-nya Sutomargo Datuk Subuh juga.
Dari pernikahan tersebut, keduanya mendapatkan seorang keturunan saja, laki-laki, namanya Joko Umar Said. Orang-orang mengenalnya dengan julukan "Joko Cemplong" karena memiliki ciri berkepala besar, yang saat tidur tampak lebih terlihat menonjol daripada anggota tubuh lainnya.
Namun, sejak Datuk Subuh Sutomargo wafat, Cut Mandar membawa anak semata wayangnya itu kembali ke Tanah Aceh atas alasan keselamatan. Jadi, Datuk Subuh Sutomargo bin Ja'far tidak pernah memiliki keturunan di Jepara.
Tedampar di Laut Jepara
Saat usia belasan tahun, Sutomargo Ja'far sudah ngaji agama kepada Kiai Muhammad Ummur Rofiq, seorang guru di tanah rantau Malaka. Di sinilah pendidikan syariat Islam ditempuh dengan baik oleh Sutomargo selama 12 tahun. Setelah itu, ia kembali ke Aceh dan menjadi murid Kiai Ustman Walid, mursyid Thariqah Syadziliyah. Hanya beberapa saat ia membersamai sang guru, sebelum akhirnya ia dinikahkan Kiai Ustman Walid dengan sesama murid juga, Cut Mandar.
Cut Mandar sosok perempuan cantik, kekar dan gagah. Fisiknya lebih kuat dari suaminya, meskipun ia lebih muda dan tidak lebih tinggi tubuhnya dari sang suami. Ia tipe perempuan pelaut handal (nahkoda) yang suka bermusafir lintas samudra bersama sang suami. Cut Mandar pernah melintas hingga ke Laut Sunda Kelapa, tapi terpaksa kembali ke Aceh lagi karena salah arah. Angin laut saat itu juga tak terlalu mendukung.
Dua tahun setelah peristiwa di Selat Sunda tersebut, Cut Mandar kembali berpetualang bersama 12 awak kapal (Cut Mandar sebagai nahkoda, dengan 3 orang penarik layar, 4 orang petugas logistik, 3 orang tukang kayu, dan Sutomargo). Perjalanan ditempuh selama enam bulan. Karena salah arah, kapal terdampar di pesisir laut yang sekarang disebut sebagai Sidigede, Welahan, Jepara.
Baca: Mbah Juminah, Saudagar Asal Tlare, Istri Kiai Amir Hasyim Mantingan, Jepara
Di daerah pesisir teluk ini Sutomargo bersama istrinya Cut Mandar menemukan tanah hijrah baru, dan sehari-sehari menjalani hidup sebagai seorang petani, pemilik tambak ikan payau sekaligus guru ngaji (kiai). Ia mendirikan mushalla/langgar di dekat rumah. Saat mukim di Jepara, Sutomargo sudah berusia 26 tahun. Di tanah Jepara inilah sang putra Joko Umar Said lahir.
Di Jepara, Datuk Subuh berkawan akrab sesama tokoh asal Aceh, yakni Datuk Jokosare (Jokosari), Ngabul. Ia adalah senior ulama Aceh di Jepara yang dikenal sebagai pendekar murid Sunan Kudus. Jika Datuk Subuh menemukan kesulitan terkait ilmu agama, Datuk Jokosare Ngabul sering diajak konsultasi. Datuk Jokosare terkenal gampang tidur, tapi sangat cerdas. Bersama para muridnya, Datuk Subuh menjalankan misi dakwah di Sidigede dengan menggelar ngaji setiap habis jama'ah Shalat Subuh.
Di majelis itu, ia dikenal tegas menjalankan syariat Islam. Ilmu dari gurunya asal Malaka, Kiai Ummur Rofiq sangat diserap baik. Datuk Subuh pernah tegas melarang aktivitas nuthuk (memukul) kentongan di mushalla karena dianggap brebeki (menganggu) banyak orang sekitar. Haramnya kentongan bukan karena alasan bid'ah, melainkan atas dasar maslahat bersama. Ada waktunya kentongan dipukul, dan ada waktunya tidak. Begitu.
Selain mengajar, Datuk Subuh juga bertani ketela, padi dan jagung. Santri yang sering membantu panen adalah "Joko Telo", alias Umaruddin yang sudah mengikuti beliau sejak usia 15 tahun dan wafat dimakamkan sekompleks dengan seorang kiai bernama KH. Kaspan Anwar (Gunungmulia, Juwana, Pati, Jawa Tengah). "Joko Telo" suka wirid Sholawat Nariyah.
Baca: Mbah Joyo Rekso Laduni, Sang Penjaga Pusaka Nyai Ratu Kalinyamat Jepara
Di belakang rumahnya, Datuk Subuh membuat tambak ikan air payau. Dari arah makamnya sekarang, tambaknya dulu berada di arah pukul 14.00. Lokasi rumahnya yang dulu berdekatan dengan muara memang sangat strategis bagi usaha tambak air payau. Ikan diambil dari laut lalu dimasukkan ke tambak agar menjadi tawar. Salah satu tengkulak rutin hasil tambak Kiai Sutomargo Datuk Subuh adalah pedagang ikan asal Pulau Karimunjawa. Namanya Ki Joko Tirto bin Jumeneng (asal Demaan, Jepara). Ia adalah suami Mbah Jah, alias Nyai Nur Azizah binti Hasan Mahfud (asal Mlonggo, Jepara).
Ki Tirto lah yang setiap bulan rajin membeli 8 karung goni hasil tambak air payau Datuk Subuh, untuk dijual kembali ke warga Karimunjawa senilai 4 ndil perkilo. Perjalanan laut dari Karimunjawa ke Sidigede ditempuh Ki Tirto selama dua hari full dengan kapal berteknologi angin. Pulang-pergi memakan waktu sepekan. Selama di Sidigede ini, Ki Tirto biasanya ikut pengajian Datuk Subuh. Kadangkali dia diajak oleh Datuk Subuh ke Datuk Jokosare Ngabul untuk ngaji bersama Mbah Kiai Joko Samudro Lelono, musafir asal Banten yang makamnya ada di Desa Cumbring, Jepara Kota.
Datuk Jokosari juga sering main ke rumah Datuk Subuh hanya sekedar ingin makan ikan hasil tambak payaunya tanpa membayar. Saking akrabnya, beberapa kali Datuk Subuh diajak pindah ke Desa Ngabul oleh Datuk Jokosare, tapi hal itu tidak pernah berhasil.
Datuk Subuh Wafat
Sesuai tarekat yang diikutinya, Datuk Subuh suka sekali wirid Sholawat Ummi yang dikarang oleh pendiri tarekat tersebut, Syaikh Syadzili. Baginya, orang yang rajin membaca sholawat kepada Rasulullah Saw. adalah orang yang paling selamat kelak di akhirat.
Sholat Subuh, bagi Datuk Subuh, adalah amalan terbaik dan paling sulit namun bisa menjadi wasilah terkabulnya segala hajat, termasuk untuk segera memiliki momongan. Syaratnya, selain rajin shalat Subuh, sang istri tidak boleh melawan suami. Istri yang sangat taat kepada suami insyaAllah mudah hamil.
Pada usia 65 tahun, Datuk Subuh Sutomargo Ja'far kembali ila rahmatillah di Jumat sore Bulan Safar waktu Lintang Panjer Sore (petang), usai Jumatan. Sebelum wafat, ia sempat dirawat istrinya, Cut Mandar, akibat sakit sepuh selama dua tahun.
Demikian riwayat singkat Datuk Subuh, Sidigede, Welahan, Jepara. Wallahu a'lam. [dutaislam.com/ab]
