![]() |
Makam Kiai Singo Blendang Suwawal Timur, Jepara. Foto: dutaislam.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.com - Nama asli Mbah Kiai Singo Blendang adalah Karto Rajimin bin Joyo Kusumo Raharjo bin Ahmad Shobari. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara pasangan Mbah Joyo Kusumo (Dongos) dan Nyi Sakimah. Kelima adiknya adalah Rasmito, Joko Suteja, Danang, Ahmad Adib dan Sastro Dimedjo.
Diketahui, saudara ragil Sastro Dimedjo merantau ke daerah Rantau Prapat (sekarang Labuhanbatu) dan sering ditunggu-tunggu kabarnya oleh Kiai Karto Rajimin. Terutama saat ia menghadapi situasi genting. Sayangnya, Sastro Dimedjo tidak pernah kembali pulang ke Jepara hingga wafat.
Baca: Mbah Mbirah: Waliyullah Pendakwah di Sumanding yang Ahli Pengobatan
Kiai Karto Rajimin menikah dengan wanita yang dulu sering memberinya seteguk kopi di gelas bambu, namanya Nyi Sulasih. Ia gadis yatim yang tidak diketahui kedua nama orangtuanya. Dari pernikahan itu, Allah Swt. memberi anugerah beberapa anak, antara lain: Kiai Sareh Kartolo (waliyullah di Wonorejo) dan Ahmad Rais. Apakah Kiai Karto Rajimin menikah lagi dengan zaujah selain Nyi Sulasih? Belum ada keterangan lebih lanjut.
Kiai Karto Rajimin berbadan kekar setinggi 2 meteran. Berjubah putih dan biasa memakai rida' merah terselempang ―pemberian dari gurunya. Matanya agak sipit dan hidungnya mancung ala India ―sedikit melengkung indah ke bawah (Jawa: mbetet).
Putranya, Kiai Sareh Kartolo Wonorejo kadang menjenguk sang ayah ke Suwawal Timur. Ia pernah dikasih kenangan baju. Sementara itu, putra bernama Ahmad Rais diambil anak angkat oleh paman Muhammad Rais (Mat Rais) untuk memancing kehamilan istrinya. Karto Rajimin mengenal Mat Rais sebagai anak yang paling taat terhadap perintah orangtuanya, Ahmad Shobari, dan paling rajin menekuni ilmu syariat Islam.
Saat paman Muhammad Rais sudah memiliki anak bernama Mukardi, Karto Rajimin sempat menggendongnya. Di kemudian hari, Mukardi menjadi sosok kiai yang mengajar ngaji di daerah "Cepitan Gunung", Jepara. Diantara anak Kiai Mukardi ada yang bernama Hasbun, yang memiliki putra bernama Shobari bin Hasbun dan lainnya.
Hadiah Singo Lodro
Di masa remaja, Karto Rajimin tergolong anak yang rajin mencari ilmu dan tirakat. Hingga usia sepuh, dia masih rajin bersilaturrahim mencari ilmu ke beberapa kiai dan guru thariqah. Salah satu guru pertamanya adalah Mbah Sintreng, asal Desa Ngersondono, Jepara. Dialah yang mengajarkan Ilmu Pancasona kepada Karto Rajimin muda.
Tak puas, pada usia 25 tahun, ia mencari guru lagi di Kudus. Kabar yang diterima, ada seorang guru sejati yang mukim di lereng Gunung Muria. Ternyata ia adalah seorang guru Thariqah Syadziliyah yang masih keturunan salah satu murid Sunan Muria Kudus. Namanya Kiai Lingkis.
Kiai Lingkis bersosok gemuk. Berjerawat. Hidungnya agak lebar dan memiliki tahi lalat di pelipis mata kanannya. Tingginya sepundak Karto Rajimin. Ada 50an orang yang dididik Kiai Lingkis saat Karto Rajimin mondok. Dan semuanya laki-laki. Pernah ada seorang santri putri yang mondok di sana tapi boyong pulang lebih cepat.
Selama 5 tahun di pesantren, Karto Rajimin akrab dengan tiga santri, yakni Danang Sucipto (asal Demak), Lowo Gimbal (asal Pati) dan seorang satu santri lagi asal Blora (belum diketahui namanya). Semua santri Kiai Lingkis tidak dipungut biaya mondok. Mereka hanya diwajibkan membantu pengasuh pesantren mengelola sawah: memanen, mencangkul dan lainnya.
Baca: Mbah Joyo Rekso Laduni, Sang Penjaga Pusaka Nyai Ratu Kalinyamat Jepara
Di pesantren, Kiai Lingkis mengajarkan ilmu syariat dan aurad dzikir Thariqah Syadziliyah serta sholawat-sholawat kepada Rasulullah Saw. Selain kegiatan tersebut, aktivitas para santri hanya jagongan, udad-udud (merokok bareng), melekan dan ngopi. Saat di pesantren thariqah inilah Karto Rajimin tidak lagi menekuni ilmu kanuragan yang pernah didapatkan dari guru sebelumnya, Mbah Sintreng. Baginya, bila tidak hati-hati, ilmu kanuragan bisa menyesatkan.
Karto Rajimin ingin melunturkan Ilmu Pancasona meski sebetulnya ia sendiri merasa gagal tirakat lakon ilmu tersebut. Kiai Lingkis mencegahnya. Alasannya, Pancasona mungkin bermanfaat membantu perjuangan dakwah Karto Rajimin di kemudian hari. Diketahui, Pancasona dari Karto Rajimin membangkitkan delapan kembaran diri, yang wajah dan suaranya mirip semuanya. Mereka paham perjalanan hidupnya tapi tidak fasih bicara ilmu agama dan tidak mengetahui siapa saja keturunan Karto Rajimin.
Suatu kali, salah satu santri asal Blora memberi hadiah berupa singa kepada Kiai Lingkis. Beserta beberapa burung Perkutut peliharaannya, Singa itu dirawat Kiai Lingkis dengan baik hingga beranak. Salah anak singa itu kelak menemani Karto Rajimin usai boyong dari Kudus.
Cerita awalnya, Karto Rajimin santri bermimpi ditemui anak singa. Dia bilang "Ja'en aku ning ndi nggon. Aku pengen jogo kuwe! (Ajaklah aku kemanapun. Aku ingin menjagamu)". Berkali-kali mimpi aneh itu datang membayang. Karto Rajimin kemudian mengisahkan mimpinya kepada Kiai Lingkis.
Tak disangka, sang kiai merespon positif mimpi Karto Rajimin santri. Sambil memberinya keris bernama Sebo, Kiai Linggis berkata, "Ini gandengan (pasangan) singamu. Jangan kau imani keris ini, tapi jadikan saja keris ini sebagai sarana keselamatanmu," ujarnya, dan anak singa itu pun diberi nama Lodro. Jadilah nama singanya Sebo Lodro, yang dalam Bahasa Jawa berarti: menghadap (sebo) dengan penuh semangat (lodro).
Semua keris di zaman dahulu adalah buatan para empu. Saat membuat keris, para empu tentu ingat kepada Yang Kuasa meski mereka tidak mengenal asma' Allah Swt. Sekalipun demikian, aktivitas tirakat para empu keris yang tidak mengenal sifat Allah Swt sejatinya adalah bagian dari pengakuan diri sebagai makhluk lemah (umat manusia) di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Jangan menyalahkan orang kuno. Dulu agama belum mapan ditemukan. Orang-orang masih repot mengenal Gusti Allah. Sudah baik bila ada orang di zaman doeloe yang langsung mau manut mengikuti ajaran agama Islam," demikian tutur Kiai Lingkis.
Berdakwah di Suwawal Timur
Boyong dari pesantren pada usia 30an tahun, Karto Rajimin diperintahkan Kiai Lingkis berdakwah di daerah Suwawal Timur, Jepara. Dulu, di lokasi makamnya sekarang ramai penduduk (Jawa: rejo). Ia membawa serta Singo Lodro dan dua burung Perkutut pemberian sang guru.
Ia merawat baik si anak singa hingga jinak dan membiarkannya mencari makan sendiri di sekitar hutan desa. Lodro dibebaskan jalan-jalan oleh Kiai Karto Rajimin asal tidak memangsa penduduk Desa Suwawal. Lodro sangat taat. Ia paham setiap kata dan perintah majikannnya. Banyak orang menaruh takut kepada Kiai Karto Rajimin sebab singa bawaannya itu. Orang-orang kemudian mengenalnya dengan sebutan Mbah Kiai Singo Blendang (kiai yang memiliki pengikut singa). Dalam bahasa Jawa, blendang ialah kata lain dari katutan (Indonesia: bawaan).
Saat itu, penduduk Suwawal Timur masih banyak memuja pohon besar. Cara ibadahnya ndlosor (rebahan dengan posisi badan lurus seperti tengkurap) di bawah pohon sambil membawa dupa. Sehingga saat berdiri, baju mereka menjadi kotor terkena tanah (Jawa: gupak tanah).
Baca: Tumenggung Cendol, Serang Belanda dengan Petir ala Ki Ageng Selo
Selain ibadah di bawah pohon, penduduk desa yang beragama Budha ada yang sembahyang di bangunan yang disebut Langgar. Mereka membawa kembang setaman ke Langgar, berlama-lama sujud dan kadangkala ndlosor hingga tertidur lalu disaduk dan dibangunkan Kiai Singo Blendang sambil tersenyum lebar. Lambat laun Langgar dijadikan tempat shalat (mushalla) saat penduduk sudah menjadi pemeluk Islam taat. Shalat bagi muslim mantan pemeluk Agama Budha masih disebut sembahyang. Ia jadi kata ganti shalat. Hingga sekarang.
Mereka ini dianggap Kiai Singo Blendang sebagai umat manusia yang belum mengenal Allah Swt. dengan baik. Karena itulah, cara dakwah tidak bisa secara langsung disyahadatkan. Cara berketuhanan mereka harus diubah dan disadarkan dulu. Bagi Kiai Singo Blendang, hal ini sangat mudah. Pasalnya, mereka sudah meyakini dan memercayai Yang Maha Gaib, Yang Tidak Memiliki Sekutu dan Yang Maha Tidak Sama dengan Makhluk. Mereka menyebutnya Sang Hi-Yang Widi.
Kepercayaan tentang Sang Hiyang Widi diubah perlahan oleh Kiai Singo Blendang. Akhirnya, orang sekampung berhasil dimuallafkan. Rakyat Suwawal Timur memiliki karakter penaat (tidak sulit diajak memperbaiki diri). Apalagi Kiai Singo Blendang sangat ditakuti. Tidak ada warga kampung yang berani menganggu Singo Lodro jinak miliknya, yang siap siaga menerima perintah majikan. Ada 18 orang murid yang kemudian rutin mendatanginya agar diajari ngaji agama Islam.
Dengan mata uang kepeng, Kiai Singo Blendang akhirnya dibangunkan rumah oleh para murid, penduduk dan pengikutnya. Lokasi rumah berada di sebelah Timur makamnya sekarang. Sementara itu, lokasi makam dulunya adalah bangunan Langgar Kiai Singo Blendang. Di tempat inilah ia mengajar ngaji kepada penduduk Suwawal dengan cara duduk di atas batu besar. Batu tersebut ibarat mimbar. Saat ngaji, santri duduk bersila di sebelah kanan dan kirinya Kiai Singo Blendang. Batu mimbar itu masih bisa Anda dijumpai di sebelah makam.
![]() |
Batu mimbar Kiai Singo Blendang di komplek makam. Foto: dutaislam.com. |
Usai meladang jelang petang, banyak warga yang mendatangi rumah Kiai Singo Blendang untuk meminta makan. "Mana ngajinya, Mbah?" Tanya mereka setelah kenyang. Mereka suka belajar kepada Kiai Singo Blendang setelah diberi makan. Ini terjadi hampir setiap hari dan bertahun-tahun. Kiai Singo Blendang akhirnya fokus mengajari mereka cara shalat, bacaan shalat, dan kadang-kadang ngaji Kitab Qoshoshul Anbiya' yang berisi kisah-kisah Para Nabi.
Santri-santri Kiai Singo Blendang ada yang tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Tapi, banyak diantara mereka yang sudah berusia udzur. Diantara murid sepuhnya adalah Mbah Basiyo. Umurnya 70an tahun saat menjadi muallaf. Sering kena marah karena sulit dipahamkan. Tapi semangatnya tinggi. Tiap hari dia selalu datang belajar tanpa perintah jadwal. Kiai Singo Blendang pun tetap menyayanginya.
Sejak di Suwawal Timur, Kiai Singo Blendang tidak lagi mewirid Thariqah Syadziliyah. Ia lebih mengutamakan membaca wirid Sholawat Jibril karena berharap syafaat Nabi Muhammad Saw. Baginya, serugi apapun manusia akibat banyaknya dosa, ia pasti akan selamat jika beriman kepada Rasulullah Saw. Para Nabi saja banyak yang menginginkan menjadi umat Nabi Muhammad Saw. Termasuk Nabi Adam dan Nabi Musa alaihimas-salam. Amat rugi sangat bila umat Nabi Muhammad Saw. sendiri tidak memperbanyak membaca sholawat.
Kiai Singo Blendang selalu berpesan kepada para murid dan anak cucu supaya menjaga lisan (jogo omongan) dan jangan lupa melaksanakan shalat Subuh. Baginya, subuhan adalah takaran taat seorang muslim. Bila Subuh ditinggalkan, ibadah lainnya akan disepelekan.
Ibadah wajib shalat Subuh bisa mendatangkan kemudahan atas segala masalah, menjernihkan pikiran dan memintarkan otak. Orang yang rajin Subuhan hidupnya tidak mudah keserimpung (tersandung). Urusannya bakal digampangkan oleh Allah Swt.
Karena itulah, jika ingin memiliki keturunan yang baik, lihatlah calon menantu! Apakah dia rajin membasuh wajah setiap hari atau tidak (Subuhan)?. Takaran taatnya ada di shalat Subuh.
Agar amal tidak mbrobos (hangus), Kiai Singo Blendang berpesan agar selalu menjaga keikhlasan beribadah. Setingkat guru thariqah pun tidak akan selamat dari murka Allah Swt. bila amal ibadah yang dikerjakannya hanya mencari muka di depan makhluk. "Anak dan istrimu tidak perlu tahu shalatmu kapan". Itulah salah satu cara mencapai ikhlash dalam shalat ala Kiai Singo Blendang.
Bila ditanya "apakah kamu sudah shalat?", orang yang berlatih ikhlash tidak perlu langsung menjawab "iya" sambil membusung dada. Selama hidup, para murid Kiai Karto Singo Blendang jarang mengetahui kapan waktu shalatnya, kecuali saat ia keluar mengimami jama'ah. Dan itu pun tidak selalu dia yang menjadi imam.
Walhasil, selama menjadi kiai, Kiai Karto Singo Lodro tidak banyak memberikan wejangan tutur. Hanya saat-saat tertentu dan diperlukan saja. Dia tidak begitu berani nuturi orang-orang tanpa dasar praktik (diamalkan). Beban tukang tutur sangat berat di akhirat.
Karena itulah ia memilih membaca kitab kisah-kisah para Nabi (Qoshoshul Anbiya'). Kitab itulah satu-satunya kitab milik Kiai Singo Blendang dan sudah rusak tak berurutan (Jawa: bodal-badil), dimana ia pernah mempelajarinya saat ngaji dengan gurunya, Kiai Lingkis Muria. Bertutur nasehat tanpa kitab bisa kelewat batas dan cenderung membahas ilmu keduniaan. Ilmu akhirat pun tidak keluar. Biasanya begitu.
Mengendarai Singo Lodro
Meski sudah jadi tokoh yang disegani, Kiai Singo Blendang masih terus berguru kepada para ulama' di wilayah Kekuasaan Mataram Islam (lokalan Jepara hingga Blora dan sekitarnya). Nama-nama kiai yang sering didatangi untuk menimba ilmu, antara lain:
- Kiai Noto (ulama' thariqah di Jepara)
- Kiai Umar Hamzah (ulama' asal Pegunungan Mantingan tapi mukim di Kalinyamatan)
- Kiai Rekso Njono (ulama' thariqah di Kudus)
Tidak sembarang kiai yang disowani oleh Kiai Singo Blendang. Ia lebih memilih sowan kepada ulama' senior yang memiliki ilmu, pemikiran dan misi dakwah yang sama. Petuahnya harus bisa dijadikan pegangan hidup. Misalnya petuah Kiai Rekso Njono yang berpesan kepada Kiai Singo Blendang agar tidak diburu oleh kenikmatan dunia (nguber dunyo).
"Tambah dunyo diuber, malah mulyomu gak tutuk. Jempalik terus. Nyungsang jempalik. Kesenengan dunyo nek diuber dadine kangelan. Tur gak tutuk tujuan. Nek nguber kerono ngibadah, bakal tutuk. Nek ngubermu kerono sugeh, angel tutuk. Ora iso sugih malah," begitu tuturnya.
Uniknya, saat silaturrahim ke para tokoh ulama' tersebut, Kiai Karto Rajimin biasa mengendarai singanya. Jika si singa lelah, ia menuntunnya jalan kaki. Hal itu dia lakukan bila punggung si singa terlihat mulai melengkung. Gara-gara sering mengendari singa, Kiai Karto Rajimin dianggap sayyid oleh beberapa kiai yang dia datangi.
Mati Berkali-kali Ditembak Belanda
Hanya sesekali saja Kiai Singo Blendang sowan kepada ulama' senior. Waktunya habis untuk mengajar dan menjadi pelindung warga desa dari Penjajah Belanda yang tiap musim panen acap datang mendadak ke Suwawal Timur merampok hasil panen padi, jagung, ketela, kedelai dan lainnya, lalu mengangkutnya dengan truk. Tentu saja rakyat kelaparan.
Ada seorang Janda bernama Mbok Sukarmi yang terpaksa menanak kerikil dan kreweng untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan setelah beras persediaan miliknya dirampok Belanda. Kiai Singo Blendang mendengar suara adukan batu (glodakan) dari panci masaknya. Seketika ia mengambil satu karung beras satunya-satunya untuk disedekahkan kepada Mbok Karmi.
Akibatnya, para santri yang biasa diberi makan oleh Kiai Singo Blendang pun terpaksa mengambil beras persediaan mereka di rumah dan di bawa ke mejelis ngaji untuk dimasak dan dimakan bersama-sama. Mereka sedih melihat sang kiai berpuasa seharian setelah beras persediaan rumah diberikan ke Mbok Sukarmi janda. Jika ada rezeki, Kiai Singo Blendang sangat suka makanan Embrot, yakni adonan makanan jagung dan ketela layu yang diurap kelapa parut. Baunya tidak enak. Banyak orang tidak suka. Tapi rasanya gurih.
Baca: Mbah Kiai Srigi, Demang yang Pintar Strategi Gerilya
Kiai Singo Blendang dianggap sebagai ki jaga satru (pengaman bahaya desa). Rakyat mendukung gerakannya. Mereka berterimakasih dengan cara masing-masing. Ada yang mengirim singkong, beras, kedelai, dan lain sebagainya. Kebutuhan harian Kiai Singo Blendang biasa dicukupi oleh para murid dan pengikutnya.
Penderitaan rakyat makin nyata karena seringnya Belanda datang ke Suwawal Timur. Kiai Singo Blendang bergerak melawan. Para santri dan seluruh rakyat desa diminta agar tidak menyerahkan hasil panen kepada Belanda. Perintah "jangan takut setan Belanda" dari Kiai Singo Blendang adalah kalimat menakutkan bagi penjajah. Kiai Singo Blendang pun dianggap musuh oleh penjajah. Kini, ia bukan hanya menjelma sosok kiai yang disegani masyarakat, tapi ditakuti Belanda juga.
Bukan perkara mudah untuk menyadarkan rakyat melawan Belanda. Kepada setan saja mereka takut. Padahal, setan seharusnya tidak perlu ditakuti. Mereka makhluk cacat yang tidak bisa lari kencang seperti manusia. Ada yang ngesot, colot-colot (pocong), bolong punggung (sunder bolong), dan berjalan kaki gendeyak-gendeyok (sempoyongan) seperti genderuwo dan jin lain.
Bagi Kiai Singo Blendang, Belanda ibarat setan manusia yang ber-jas rapi dan memiliki senjata bedil. Wajar bila rakyat Suwawal Timur kala itu sangat takut melawan penjajah. Kejahatan demi kejahatan pun terus dilancarkan Belanda. Banyak warga Suwawal Timur yang terbunuh.
Kiai Singo Blendang tidak terima. Ia memerintahkan Singo Lodro menerkam habis setan Belanda yang biasa datang berkendara "mesin kerbau" berasap tebal dan suaranya membisingkan telinga. Terkadang mereka mendatangkan truk angkut hasil panen lengkap dengan kawalan puluhan serdadu.
Puluhan penjajah Belanda berhasil dimakan habis oleh Singo Lodro. Bila datang tiga orang, Lodro memakan dua diantaranya. Yang satu disisakan hidup dan dibiarkan kembali guna menakuti setan penjajah lainnya. Datang lagi 6 orang. Lodro memakan daging 5 orang diantara mereka. Lodro juga pernah menyisakan satu orang Belanda dari 20 orang lainnya yang sudah dimakan habis hingga tulang-tulangnya hancur. Lodro menjadi gemuk. Ia bak pahlawan bagi rakyat Suwawal Timur. Taatnya melebihi manusia. Saat jemari Kiai Singo Blendang menunjuk ke arah musuh, ia lekas saja menerkam tanpa teriakan perintah.
Mungkin Lodro ibarat nyawa bagi Kiai Singo Blendang. Selama Lodro masih hidup dan Keris Sebo dibawa, Kiai Singo Blendang tidak akan mati permanen dibunuh. Ya. Dia pernah mati dan hidup kembali hingga lima kali.
Pertama, ia mati tenggelam di sungai. Dan hidup lagi. Saat ini Kiai Singo Blendang sudah berusia 55 tahun. Kematian kedua terjadi usai ditlorong (dilempar) tombak ketika sedang khusyu' shalat. Isi perutnya sempat terurai berserakan. Setelah tombak dicabut salah satu santri, Kiai Singo Blendang hidup kembali. Aneh bin ajaib.
Kematian ketiga terjadi kala tubuhnya dijadikan perisai Mbok Sukarmi yang menangis histeris karena bulir pati (gabah) miliknya dirampok Belanda berwajah Jawa (mungkin serdadu bayaran). Kiai Singo Blendang dibedil hingga tewas. Tapi si penembak tergesa melarikan diri sebelum dikeroyok massa atau dimakan Singo Lodro. Kematian keempat terjadi usai Kiai Singo Blendang mengambil air wudlu' di dekat sungai. Tiba-tiba saja ada peluru bedil menyasar tubuhnya hingga tersungkur meninggal.
Warga Suwawal Timur sudah biasa mendengar Kiai Singo Blendang meninggal dunia. Akibatnya, setiap ia dikabarkan mati lagi, rakyat malas melayat. Orang-orang menduga, dari Ilmu Pancasona, Kiai Singo Blendang dianggap memiliki sembilan nyawa laiknya kucing. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar. Ilmu Pancasona dianggap Kiai Singo Lodro tidak berhasil penuh dia kuasai.
Baca: Mbah Kiai Leseh Banyumanis dan Nyai Sekar Arum, Pasutri Pejuang Islam Jepara asal Sunda
Walaupun demikian, banyak kabar para peziarah makam yang ditemui 9 wajah sama bila hijab matanya dibukakan oleh Allah Swt. Hanya orang yang memiliki derajat sama dengan Kiai Singo Blendang lah yang bisa membedakan mana "sirr" aslinya, dan mana "para qorin" yang mirip wajahnya. Sekalipun dibacakan Ayat Kursi, para qorin tidak akan terbirit menjauh, kecuali si pembaca memiliki sifat khosyah (taqwa) yang tinggi kepada Allah Swt.
Barangkali, amal yang menjadikan Kiai Singo Blendang diangkat derajatnya oleh Allah Swt. adalah ketulusannya berjuang hingga berhasil mengislamkan rakyat Suwawal Timur dan ketekunannya menyebarkan isi kitab suci Al-Qur'an (kisah para Nabi). Baginya, ciri para kekasih Allah Swt. ialah selalu ingat leluhur dan mau menyebarkan kisah-kisah baik mereka ke masyarakat luas.
Singo Lodro dan Keris Sebo hanya wasilah berjuang, dan mungkin, dari situlah Kiai Singo Blendang bisa mati non permanen dan hidup lagi berkali-kali. Ini mengingatkan guru mulia Kiai Lingkis yang pernah berpesan ke Kiai Singo Blendang agar tidak mendalami ilmu kanuragan dan tidak pula menghilangkannya. Siapa tahu bermanfaat untuk mendukung perjuangan di jalan Allah Swt.
Kiai Singo Blendang bersedih tidak mengetahui hari wafat Kiai Lingkis. Ia tidak sempat melayat karena sibuk mengawal keislaman dan keamanan rakyat Desa Suwawal Timur dari keserakahan setan Belanda. Begitu ditinggal sebentar saja, rakyat sering mengalamai kelaparan, dan bukan tidak mungkin mereka hanya dapat memakan brongkalan (sempalan tanah). Kiai Singo Blendang hanya mendengar kabar kalau wafatnya Kiai Lingkis akibat terserang stroke. Kematian sang guru terjadi pada tahun ke-10 sejak Kiai Singo Blendang Lodro berdakwah di Suwawal Timur.
Adapun kematian kelima (terakhir) Kiai Singo Blendang terjadi di umur 85 tahun. Saat itu Kiai Singo Blendang sedang melaksanakan shalat Jum'at. Granat menghujam secara tiba-tiba ke lokasi Jum'atan. Dentuman besar bom menggelegar. Ia syahid permanen di Bulan "Sasi Kembar" musim tanam padi menjelang. Innalillah wa inna ilahi roji'un.
Kiai Singo Blendang wafat sejak Belanda mengetahui informasi dari salah satu penghianat kalau kelemahannya ada di Singo Lodro. Singo dibunuh duluan. Keris Sebo dicuri. Barulah granat dilemparkan Belanda. Kiai Singo Blendang wafat syahid dan tidak lagi bangkit untuk ke sekian kalinya. Suwawal yang dulu rejo, kini mulai sepi penduduk.
Pesan Penting
Semasa hidup, Kiai Singo Blendang selalu berpesan kepada para santri dan anak cucunya supaya tetap mencari dan menjaga rezeki halal untuk keluarga. Rezeki yang dihasilkan dari usaha haram (ruwet) akan melahirkan keturunan yang ruwet pula.
Selain itu, ia berpesan agar mendoakan yang terbaik bagi anak. Doakan saja agar dia ingat. Jangan menyumpahi jelek kepada anak. Jangan lupa memperbanyak tirakat bila ingin memiliki anak lagi, agar derajatnya ditinggikan oleh Allah Swt. Kalau orangtua hanya memburu kesenangan, anak cucu bakal rusak akhlaknya dan remuk jalan hidupnya. Bila sekarang orangtua bersedia lapar bertirakat, anak akan memperoleh keringanan hidup dunia akhirat.
Perbanyaklah syukur dan alhamdulillah ketika menerima rezeki dari Gusti Allah Swt. Kala kekurangan rezeki melanda, jangan lupa mengirim doa Surat al-Fatihah kepada ayah dan ibu (bila sudah wafat). Gusti Allah-nya anak adalah kedua orang tua yang hadir maujud di dunia ini. Tanpa lewat ridla mereka berdua, hidup akan serba susah dan tidak karuan, semrawut.
Siksa kubur banyak menimpa mereka yang bicaranya buruk dan berburuk sangka kepada kedua orangtua. Orang yang tidak mencintai kedua orangtuanya tidak akan didekati oleh Allah Swt. Maka, jagalah kedua orangtua sekuat kemampuan. Kadangkali ada orangtua yang ndablek (membandel) seperti bocah. Itu ujian untuk anak. Ujian makin berat bila sang anak sudah berumah tangga sebab ia memiliki kewajiban menafkahi anak dan istri. Kunjungilah sesekali sesibuk apapun aktivitas. Hiburlah mereka berdua.
Tidak ada orangtua yang ganas. Setega apapun mereka tidak bakal memakan lahap daging anaknya seperti Singo Lodro. Mereka manusia biasa, bukannya Allah Swt. Kadangkali memang lupa diri. Itu ujian sebagai orangtua yang memiliki anak. Anak haruslah tetap ingat diri. Doakanlah yang terbaik untuk kedua orangtua. Jangan menyumpahi jelek mereka. Bila pun mereka berbuat salah, dosa tetap ditanggung pribadinya sendiri. Intinya, bakti anak kepada kedua orangtua bisa menjadi penyelamat seorang anak di hadapan Allah Swt., kelak.
Jangan mudah bersedih! Beban pikiran itu bisa merusak raga. Demikian juga setiap perbuatan. Semua perbuatan jelek memiliki efek negatif terhadap raga. Dan janganlah tersesat mengamalkan ilmu kanuragan seperti Pancasona. Wallahu a'lam. [dutaislam.com/ab]
