Mbah Kiai Sareh Kartolo Wonorejo, Guru Thariqah Syathariyah di Jepara
Cari Berita

Advertisement

Mbah Kiai Sareh Kartolo Wonorejo, Guru Thariqah Syathariyah di Jepara

Duta Islam #01
Kamis, 09 Maret 2023
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
makam kiai sareh kartolo wonorejo jepara
Kompleks Makam Mbah Kiai Sareh Kartolo, Wonorejo, Jepara Kota. Foto: dutaislam.com.


Oleh M. Abdullah Badri


Dutaislam.com - Karena banyaknya pejuang yang dituduhkan Belanda bersembunyi di pesantrennya, Syaichona KH. Cholil Bangkalan pernah dipenjara selama tujuh bulan. Selain tuduhan tersebut, Belanda khawatir atas pengaruh aktivitas Kiai Cholil yang hampir setiap hari membagikan uang dari balik sajadah yang ia buka tiap usai shalat.


Saat inilah ada seorang pemuda bernama Kartolo yang menemani Syaichona Cholil di penjara dan melayaninya sebagai seorang guru. Niat awal ingin sowan dan berguru, tapi nasib berkata lain. Saat disowani oleh Kartolo, Kiai Cholil justru sedang mendapatkan tuduhan dari Belanda hingga dibui, meski akhirnya dibebaskan karena desakan para santri dan massa. Kartolo ikut terseret sebagai tersangka. Siapa dia? 


Baca: Makam Kiai Sholeh Anwar yang Pindah Sendiri ke Potroyudan


Kartolo adalah putra dari Mbah Karto Rajimin asal Desa Dongos, Kedung, Jepara. Ibunya bernama Sulastri, yang bersosok tinggi dan besar. Secara nasab ia masih terhitung cucu Mbah Joyo Kusumo Raharjo, yang dijuluki Sunan Gelut asal Dongos. Berikut silsilahnya: 


  1. Kartolo, bin
  2. Karto Rajimin, bin
  3. Joyo Kusumo Raharjo, bin
  4. Ahmad Shobari


Kartolo memiliki tiga saudara, yakni Galih Prasetyo, Galih Wirosagimin, Sagimin dan dua orang saudari lagi yang belum diketahui nama lahirnya saat artikel ini dibuat Rabu siang, 8 Maret 2023. Kartolo memiliki wajah tirus agak panjang dan tingginya 2 meter. Ia selalu berpakaian putih dengan ikat selendang putih selebar tiga jari ukuran manusia normal sekarang. Kopi tubruk adalah kesukaannya. 


Di usia 35 tahun, ia menikah dengan seorang perempuan berusia 16 tahun, putri dari Mbah Karsito (Wonorejo, Jepara). Dari pernikahan tersebut, Kartolo dikaruniai seorang putra saja, namanya Hamzah. 


Hamzah menikah dua kali. Dari istri asal Demak bernama Sulastri, Hamzah dikaruniai empat orang anak, yakni: 


  1. Siswo
  2. Busodo
  3. Ngardi (menikah dua kali, Juminah -asal Petekeyan, dan Maryam -asal Bugel)
  4. Sujono


Sementara itu, dari istri asal Pati, Hamzah dikaruniai seorang putra saja. Namanya Syauqi Rohman. Baca: Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim 


Beda dengan ayahnya, sosok Hamzah bin Kartolo setinggi 2,3 meter. Gagah, berbadan besar, kekar, dan kakinya besar sehingga pijakannya sangat kuat. Hamzah berpakaian serba merah. 


Keduanya, baik Kartolo maupun Hamzah, memiliki titisan wani gelut (berani tempur) laiknya Mbah Joyo Kusumo Raharjo. Diceritakan, Kartolo pernah menghabisi 21 begal dan bandar sabung ayam saat di Aceh. Sembilan pasukan kompeni Belanda yang sering menembakinya juga pernah dihabisi olehnya. Ia sangat membenci Belanda sehingga kadang menilap sabun milik para menir yang seukuran batu bata itu. Gatal di kulit, tapi bersih dipakai. Hanya para penjajah dan antek-anteknya sajalah yang boleh berkendara mobil. Orang pribumi dilarang naik kendaraan beroda empat. Hal itu kian menambah kebenciannya kepada para menir. 


Hamzah, putra Kartolo juga pernah melawan 50 serdadu Belanda dalam sekali waktu, dan habis semuanya. Saking saktinya, jin saja pernah ditiup olehnya sampai mletik (terpental) hingga jarak tak terlihat mata.  


Ngaji ke Aceh dan Madura

Sebelum kembali ke Dongos dan pindah ke daerah asal mertuanya di Wonorejo, Jepara Kota, Kartolo muda (umur 30an) sempat berguru selama empat tahun kepada mursyid Thariqah Syathariyah di Aceh. Namanya Syaikh Hasan Basri, asal Malaka. 


Di Aceh, Kartolo muda dipercaya memimpin majelis dzikir Syathariyah dan Maulid Nabi Muhammmad Saw., bersama puluhan murid. Jumlahnya ada 60an orang. Teknik ngaji dengan wirid dan dzikir inilah yang kelak diterapkannya saat berumahtangga di Wonorejo, yang saat itu masih berupa hutan, dengan jumlah penduduk yang masih sedikit.


Baca: Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara


Usai dari Aceh ia menikah dan setahun setelahnya dia berguru kepada Syaichona Cholil, di Bangkalan, Madura. Namun, ia ikut terseret ke penjara saat Syaikh Cholil dipenjara pihak Belanda. 


Saat di Madura inilah ia berkarib dengan KH. As'ad Syamsul Arifin Situbondo, yang saat itu masih berusia sangat muda. Kartolo sering makan senampan dengan As'ad muda saat di Pondok Pesantren Syaichona Cholil tersebut. Tak lama di Madura, ia kembali ke Wonorejo, Jepara. Lahirlah Hamzah, putra semata wayang. 


Kartolo mengenal Jamiyyah Nahdlatul Ulama' yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, murid Syaichona Cholil. Namun ia tidak pernah bertatap muka dengan pendiri NU tersebut. NU sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka 1945 M. 


Mendirikan Pesantren

Kiai Kartolo tidak pernah bekerja sebagai petani, peternak, penambak ikan, pedagang atau lainnya, seperti halnya Mbah Datuk Subuh Sidigede (penambak), Mbah Ladunni Karangkebagusan (pegawai), Mbah Semboja Demaan (peternak), Mbah Amir Hasyim-Juminah Mantingan (pedagang) atau Mbah Joko Tirto Karimunjawa (pelaut). Ia berprinsip, bila manusia bertawakkal dan mampu menjaga baik hubungan sosial dengan kerabat, sahabat dan kenalan, rezeki akan melimpah dan lancar.


Buktinya, saat diundang untuk nyembur (mengobati), memimpin majelis sholawatan atau doa selamatan oleh warga atau pejabat, ia acap mendapatkan uang bisyaroh (uang terimakasih) yang sekali diterima nilainya lebih dari cukup untuk biaya hidup setengah tahun kemudian. 


Hanya sekedar silaturrahim, Kiai Kartolo pun pernah diberi hadiah uang senilai 250 ece (mata uang saat itu). Waktu itu, nilai seekor sapi hanya 3 ece. Artinya, ia pernah diberi uang senilai harga jual 83 ekor sapi. Bila dikonversikan ke harga sekarang, yakni Rp. 20 juta/ekor sapi, maka, nilai uang 250 ece setara lebih dari Rp. 1.6 miliar uang sekarang. Wajar bila harga rumah megah kala itu senilai 50 ece (setara Rp. 330 juta). 


Uang ece di zaman Kiai Kartolo bisa direnteng dengan tali. Bentuknya bolong persegi di tengah. Berbahan perunggu dengan lapisan emas tipis. Satu sisi dikelilingi aksara Berbahasa Belanda (Holand) dan sisi lainnya bergambar dua pedang ala Bendera Rasulullah Saw. 


Dari limpahan rezeki tersebut, Kiai Kartolo mampu mendirikan majelis atau semacam pondok pesantren untuk mendidik warga sekitar Wonorejo tentang agama Islam. Dari pusaranya sekarang, lokasi ponpesnya dulu ada sebelah Utara, perbatasan antar desa.


Banyak sekali para santri yang masuk ke pesantren Kiai Sareh dan boyong lebih cepat. Akibatnya, daftar santrinya tidak tetap. Kiai Sareh memang lebih suka bila para santrinya cepat lulus agar mereka langsung menyebarkan ilmunya di asal masing-masing agar Islam makin makmur dipeluk masyarakat.   


Cara Dakwah Kiai Sareh

Kepada putranya Hamzah dan puluhan murid, Kiai Kartolo mengajarkan wirid Thariqah Syathariyah yang bersambung sanad dengan Syaikh Abdur Ro'uf Al-Fansuri As-Singkili (Mbah Singkil), penulis Kitab Tafsir Tarjumanul Mustafiq Al-Jawi, Asrorul Lisan, Daqa'iqul Huruf, dll. Ia lebih banyak mengajak dzikir bersama daripada menggelar pengajian ceramah dengan kitab kuning. 


Baginya, ngaji tidak harus dengan ceramah lisan. Alasannya, tanggungjawab ngaji tutur bisa memberatkan kehidupan akhirat. Memerintahkan orang lain dengan menunjuk jari agar segera shalat, zakat, sedekah dan lainnya, bila suatu kali penuturnya alpa melaksanakan perintah tuturnya, ia akan kena sindiran Surat As-Shaff ayat 2, yang berbunyi: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ (Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?). 


Baca: Mbah Margo Tiyoso, Leluhur Desa Margoyoso, Jepara


Seorang penutur kadang melaksanakan isi tuturnya dan kadangkali melanggarnya (nuturi yo ngelakoni). Inilah yang menyebabkan beban berat di akhirat (ngebot-ngeboti akhirat). Beda dengan kiai yang saat ngaji ta'lim hanya membaca kitab dan menyampaikan isi kitab sembari mengutip firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw. Kiai yang seperti ini tidak masuk kategori penasehat langsung yang beresiko. 


Oleh karena resiko bertutur sangat berat di hadapan Allah Swt., Kiai Kartolo lebih memilih mengajak jama'ah berdzikir dan sholawatan saja. Dengan berdzikir, orang akan ingat Allah Swt. Meski tidak mengetahui arti teks dzikir, jama'ah dzikir akan merasa diawasi oleh Allah Swt. Jika sudah memiliki rasa diawasi oleh Allah Swt. (ihsan), tumindak elik (berbuat buruk) lambat laun akan tercegah dengan penuh kesadaran yang terdalam.   


Menurut Kiai Kartolo, ruang hati terdalam (jeruning ati) manusia adalah tempat luas yang bisa diisi ilmu terbaik (dzikir) atau hal buruk lainnya (akhlak tercela). Dzikir bagian dari cara terbaik mengisi jeruning ati, agar mentes keapikan (muncul kebaikan). 


Di zaman itu, bernasehat ria dianggap tabu oleh warga Wonorejo. Masyarakat pedesaan masih banyak yang suka gelut (bertengkar) dan tidak mau dinasehati. Begitu dinasehati, orang-orang langsung lari tak mau kembali ngaji lagi ke majelis. Mereka pintar membuat alasan tak mau menerima nasehat. Misalnya, saat mereka diminta Kiai Kartolo agar tidak saling bertengkar, tidak berjudi, tidak mabuk, dan saling menjaga, jawaban yang keluar dari mereka justru begini: "sampeyan sudah kiai, ditembak Belanda tidak mempan, makanya enak kalau memberi tutur 'sareh' (sabar) terus". 


Karena seringnya kata "sareh" muncul saat ngaji, Kiai Kartolo akhirnya dapat julukan baru sebagai Mbah Kiai Sareh (kiai sepuh yang sering berpesan kesabaran). Padahal, dengan sikap sareh, Kiai Sareh berharap munculnya sikap saling menerima dan menghormati antar sesama, yang saat itu memang masih langka ditemukan diantara masyarakat. 


Dengan majelis dzikir, Mbah Kiai Sareh Kartolo selalu mendoakan kebaikan penduduk sekitar Wonorejo. Ia tidak pelit mendoakan orang lain, walaupun kafir. 


Doakanlah saudaramu yang kafir agar mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Sesulit-sulitnya wong angel dikandani (manusia yang sulit dinasehati), lama-lama ia akan kalah dengan tetesan air terus menerus. Doa bisa diibaratkan air. Dengan doa yang ia adalah tetesan air, batu sekuat apapun bakal bolong. Kekuatan doa bisa meng-encerkan segala yang beku dan meruntuhkan batu menjadi butiran abu. 


Itulah prinsip kuat perjuangan Mbah Kiai Sareh yang hidup di zaman penuh penolakan nasehat sareh (sabar). 


Cara Dakwah Kiai Hamzah

Hal berbeda dilakukan oleh putranya, Kiai Hamzah. Ia berjuang di daerah istrinya, Pati, Jawa Tengah. Di sana, cara dakwah yang ditempuh Kiai Hamzah agak sedikit beda dengan ayahnya, Kiai Sareh. Untuk mengumpulkan orang-orang agar membaca sholawat bersama-sama, Hamzah tidak mendirikan majelis, mushalla atau pondok pesantren, tapi membuat arena adu ayam jantan. Hal yang sangat disukai kalangan abangan di zamannya. 


Secara berkala, Kiai Hamzah menggelar adu jago tanpa taruhan uang. Orang boleh datang tapi dengan tiket: dia mau diajak bersholawat bareng. Setelah sholawat dibaca bersama, adu jago ramai dengan teriakan. Sholawat yang harus dibaca adalah Ibrahimiyah. Sholawat wajib di Tahiyat Shalat ini adalah amalan keluarga besar Mbah Kiai Sareh dan anak cucunya.  


Kiai Hamzah ber-husnudzan, penjahat dan orang-orang yang hidup di jalanan itu sebetulnya memiliki hati yang dekat dengan Allah Swt., tapi mereka menolak merasa diawasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Karena itulah, pada hakikatnya, hati mereka sangat mudah didekati, asal caranya tepat.  


Adu jago pun jadi cara paling mudah dan paling diterima oleh mereka, dan lambat laun Kiai Hamzah menuai hasilnya. Di Pati, Kiai Hamzah kemudian menjelma sebagai sosok kiai sakti, alim dan sekaligus bos dari para bandar dadu, tukang sabung ayam hingga pembegal-pembegal jahat. Mereka taat jika diperintah Kiai Hamzah. 


Belanda mulai khawatir. Kiai Hamzah dibedil tidak mempan, tapi banyak kriminal yang bisa diperintah melawan. Pada Ahad Kliwon di Bulan Syuro, ia syahid setelah ditembak peluru emas serdadu Belanda. Innalillah wa Inna Ilahi Rojiun. Ia wafat di usia 52 tahun dan diboyong ke Wonorejo untuk dimakamkan ke dekat makam ayahnya, Mbah Kiai Sareh. 


Makamnya kini ada di sebelah Utara sang ayah yang sudah wafat lebih dulu pada saat bulan Sabit muncul di akhir Ramadhan jelang Hari Raya Idul Fitri. Ia wafat di usia 97 tahun tepat pada Hari Selasa Manis (Legi) usai sahur. Baca: Mbah Kiai Srigi, Demang yang Pintar Strategi Gerilya.


Selain Kiai Hamzah, keluarga Mbah Kiai Sareh yang dimakamkan satu kompleks hanyalah istrinya, yang letaknya di Arah Barat Laut makam Kiai Sareh (nampak belum keramikan). Adapun nisan-nisan lainnya adalah makam murid-murid setia Mbah Kiai Sareh Kartolo, Wonorejo. 


Tahun wafat kedua waliyullah tersebut berdekatan. Dari usianya bisa dianalisa. Tapi, soal tahun wafat tepatnya kapan, belum bisa dipastikan. Yang pasti, saat masih hidup, mereka berdua kenal dengan Nahdlatul Ulama' tapi belum mengenal Negara Republik Indonesia. [dutaislam.com/ab


Terjemah Hikam Athaillah

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB