![]() |
Makam Mbah Kiai Leseh, Banyumanis, Donorojo, Jepara. Foto: istimewa. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.com - Nama asli Mbah Kiai Leseh yang dimakamkan di Desa Banyumanis, Donorojo, Jepara, adalah Joko Glagah. Ia putra pasangan Kiai Ujang Japrak dan Nyai Sri Manganti, asal daerah Sunda Wiwitan, tepatnya dari Desa Jasinga, yang sekarang menjadi salah satu nama Kecamatan di Bogor, Jawa Barat. Kakek Joko Glagah bernama Suropalohan.
Saat usia 28 tahun, ia menikah dengan seorang dara jelita cantik berusia 18 tahun asal Cirebon bernama Nyai Sekar Arum binti Kiai Ahmad Sujana. Wali nikahnya langsung mertua. Keduanya dikaruniai tiga anak, yakni:
- Guntur (menikah dengan Retno Mengali. Anaknya bernama Jayatri dan Andika Werdana)
- Lintang (menikah dengan Suginem. Anaknya bernama Prasetyo dan Seno)
- Retno (wafat sebelum menikah)
Meski ketiganya lahir di Jepara, putra maupun cucu Joko Glagah dimakamkan di Jasinga, Bogor (Sunda). Jadi, Mbah Joko Glagah tidak memiliki keturunan di Jepara. Baca: Mbah Kiai Sareh Kartolo Wonorejo, Guru Thariqah Syathariyah di Jepara.
Mbah Leseh bersosok tegap, bermata tajam dengan alis dan kumis tebal. Brewok yang tumbuh di kanan kiri wajahnya semakin menambah wibawa. Tingginya hampir dua meter dan suka mengenakan surban putih ala haba'ib Yaman. Pakaiannya dominan berwarna coklat keemasan yang dibelah indah dengan lurik putih terselendang mulai pundak hingga dada, kanan dan kiri.
Sedangkan Nyai Sekar Arum, ia sosok perempuan cantik dengan tubuh berisi. Wajahnya putih bersih laiknya orang Sunda. Lesung manis kanan-kiri makin menambah paras cantiknya. Dagunya pun membelah dua di tengah dan tidak terlalu meruncing (Jawa: papa'). Jubah serba putih sering ia pakai, lengkap dengan kerudung. Tingginya lebih dari 2 meter.
Keduanya adalah waliyullah pasangan kiai dan bu nyai (istilah sekarang) yang hijrah ke Jepara atas permintaan seorang Tumenggung dari Kerajaan Mataram Islam. Tujuannya untuk menyebarkan agama Islam. Saat pertama kali masuk ke Jepara, Kiai Joko Glagah berusia 35 tahun, dan istrinya 25 tahun.
Ahli Thariqah Tapi Mengajarkan Amaliyah
Dari Cirebon, Kiai Joko Glagah dan Nyai Sekar Arum berangkat ke Jepara. Sebelum sampai ke tujuan akhir, di daerah Ngabul keduanya berhenti untuk singgah dan menginap beberapa saat di rumah Joglo Datuk Jokosare Ngabul. Mereka mendatangi Datuk Jokosare Ngabul atas saran kenalan seorang perempuan yang mukim di kawasan Pasar Ngabul sekarang. Namanya Nyi Satirah, seorang waliyah juga.
Dari Datuk Jokosare inilah mereka diberi masukan penting terkait strategi dakwah di lokasi tujuannya kelak. Datuk Jokosare Ngabul sempat menolak halus ajakan Kiai Joko Glagah untuk berpindah ke pesisir Barat Jepara bersama-sama. Alasannya, masyarakat sana angel dikandani (sulit dinasehati), kaku, akas, dimana hal itu bukannya membuat semangat Datuk Jokosare tapi justru membuat sikap tegas galaknya muncul (kudu njotosi).
Beberapa waktu kemudian, Datuk Jokosare akhirnya mengirimkan dua santrinya bernama Subandi (asal Dongos) dan Rohmat Hasyim (asal Bugel) sebagai pengawal dan khodim (pelayan) perjuangan dakwah keduanya. Diketahui, Subandi adalah murid kenuragan Datuk Jokosare, yang pintar gelut dan biasa meloncat setinggi pohon kelapa, sedangkan Rohmat Hasyim adalah murid Datuk Jokosare yang ahli ilmu syariat Islam. Keduanya sengaja dipasangkan untuk Mbah Joko Glagah dan Nyai Sekar Arum sebagai benteng dan pengembang dakwah Islam.
Baca: Ki Joko Tirto, Waliyullah di Karimunjawa Suami Nyai Nur Azizah
Benar apa yang dinyana Mbah Datuk Jokosare. Saat sudah bermukim di wilayah sekitar pesisir Jepara Barat, Kiai Joko Glagah menjumpai banyaknya masyarakat yang masih suka berjudi dan melakukan jenis maksiat lainnya. Pemeluk Islam di sepanjang muara saat itu sudah dominan. Hanya saja, ilmu dan akhlak mereka masih minim. Adab dan etika hidup sulit ditemui. Islamnya masih sebatas identitas. Mereka muslim tapi enggan belajar dan ngaji. Buktinya, pohon-pohon besar pun jadi target sesembahan, dan dipuja-puja. Klenik-klenik sangat kental terasa dan dipelajari. Syariat fiqih pun akhirnya lebih dipilih Kiai Joko Glagah dan Nyai Sekar Arum untuk diajarkan kepada warganya.
Dibantu dua murid khadim, Mbah Joko Glagah kemudian mendirikan sebuah mushalla tempat ngaji yang tikarnya terbuat dari kepang (anyaman kulit bambu). Karena saat menggelar ngaji selalu lesehan (duduk di atas tikar), Kiai Joko Glagah mulai populer disebut para muridnya sebagai Mbah Kiai Leseh.
Lambat laun, seiring kegigihannya berjuang, jumlah murid Kiai Leseh mencapai 60an orang laki-laki dan perempuan. Ia hanya fokus mendidik guru agama (kiai). Banyak sekali yang berhasil dimuallafkan olehnya. Untuk mencukupi kebutuhan harian, dua santri khadimnya, Subandi dan Rohmat Hasyim bekerja sebagai petani di ladang terdekat. Rumah keluarga Mbah Leseh pun dibangun atas inisiatif keduanya.
Mbah Kiai Leseh tidak pernah memaksa orang lain untuk belajar dan ngaji rutin ke majelisnya. Alasannya, jika dipaksa, mereka menuntut agar diberi nafkah sebagai ganti waktu bekerja (angel dikandani). Seolah, kalau dipaksa ngaji, ada kewajiban memberi makan.
Karena itulah, Mbah Kiai Leseh selalu siap di rumahnya, setiap saat. Jika ada orang yang datang ingin diajari ngaji, ia selalu melayani. Yang pertama kali diajarkan Kiai Leseh ke pengikut majelisnya adalah membaca Arab dulu. Setelah lancar membaca Arab, mereka diajari bacaan-bacaan shalat hingga hapal. Setelah hapal, barulah mereka diperintah berjama'ah di mushalla sederhana bertikar kepang itu.
Datang Bangsa Kuning Portugis
Cara dakwah yang setahap demi setahap itu dilakukan terus-menerus oleh Mbah Kiai Leseh. Namun, sejak ada banyak kapal bersandar di pelabuhan dekat tempat tinggalnya, kacau lah semuanya. Baca: Mbah Suto Margo (Datuk Subuh Sidigede, Jepara), Pendakwah Asal Aceh.
Siang itu, Mbah Kiai Leseh terheran ada orang-orang berkulit kuning (Portugis) yang mendirikan banyak kemah di pinggir laut. Setiap hari mereka berbaris upacara. Ternyata, selain menjajah, bangsa kuning Portugis saat itu sedang bersiap melakukan misi gerakan kristenisasi ke wilayah juang Kiai Leseh.
Catatan sejarah menunjukkan, pada tahun 1522 M., Portugis memang melakukan ekspedisi lanjutan ke Pulau Jawa setelah mereka berhasil mengusai perdagangan rempah-rempah di wilayah Timur Indonesia usai mendapatkan kesepakatan dengan beberapa kerajaan di Ternate, Maluku. Sangat mungkin Jepara menjadi salah satu tempat yang disinggahi Portugis, dan Mbah Kiai Leseh menyaksikan langsung saat mereka mendirikan perkemahan.
Sejarah juga menulis, Penjajah Portugis sangat aktif melakukan misi penyebaran Agama Katolik, dengan tokoh terkenal bernama Franciscus Xaverius. Misi inilah yang menyulut ketegangan laten antar kerajaan-kerajaan di Jawa dan Malaka, yang sejak 1511 M, sudah diambil alih penuh Portugis dari Kesultanan Johor dan sekutunya, Kerajaan Aceh.
Akibat misi penyebaran Katolik oleh bangsa kuning, murid Kiai Leseh di sekitar Benteng Portugis (sekarang) banyak yang murtad. Dari yang awalnya berjumlah 60an orang menyusut drastis tersisa puluhan orang saja. Mereka menjual agamanya demi sepotong roti haram penjajah ber-ukuran besar, panjang, kaku, yang berisi olahan daging anjing dan babi, tanpa diketahui. Kiai Leseh tidak pernah mengincipi roti itu secuil pun karena khawatir murtad.
Baca: Mbah Juminah, Saudagar Asal Tlare, Istri Kiai Amir Hasyim Mantingan, Jepara
Saat itu, roti Portugis yang biasa dibagi kepada penduduk pribumi memang terkesan enak di lidah. Di zaman itu, tidak ada makanan terlezet selain roti, yang di Jepara sendiri belum diproduksi. Roti adalah makanan asing dan aneh bagi orang Jawa, namun rasa lezatnya membuat iman bisa terbeli. Daripada mengonsumsi roti penjajah, Kiai Leseh lebih menyukai Hawuk, yakni jagung kukus deplokan (ditumbuk) lalu ditabur gula merah. Nyai Sekar Arum lebih suka makan nasi sayur lodeh. Dan untuk cemilan, ia kadang memakan bunga Melati, agar bau mulut dan badannya makin wangi.
Mbah Kiai Leseh belum mampu berbuat banyak untuk mengembalikan keimanan murid-muridnya yang murtad. Dia mendiamkan mantan para santrinya itu karena mereka lebih memilih kesejahteraan daripada harus terus mengaji Islam namun tetap sengsara. Suatu kali, Kiai Leseh sempat meminta sang istri Nyai Sekar Arum untuk mentransfer harta kekayaan keluarganya di Cirebon demi mendukung perjuangannya di Jepara. Tapi, hal itu tidak bisa membalikkan keadaan seperti semula. Yang murtad tetap memeluk Katolik hingga mati. Nau'dzubillah min dzalik.
Perjuangan dakwah Mbah Kiai Leseh seolah sia-sia sejak kedatangan bangsa kuning itu ke Jepara. Dalam doanya, ia selalu mengadu kepada Allah Swt. agar rakyat desanya kembali menjadi muslim semua, seperti sebelumnya. Allah Swt. berkehendak lain. Portugis justru makin sengit melawan langkah dakwah Kiai Leseh. Subandi, murid khadim utamanya yang juga seorang jawara sakti sudah biasa menghadapi komplotan penjajah tersebut. Kiai Leseh sudah berkali-kali diancam, disiksa dan bahkan dibedil serdadu Portugis. Berkali-kali pula ia berhasil lolos berkat pertolongan Allah Swt.
Portugis mengambil langkah militer. Usai ngaji sore, tiba-tiba saja ada bom melayang ke mushalla. Santri berhamburan lari keluar. Tapi meriam bom serdadu Portugis makin menjadi-jadi. Pengikut Kiai Leseh banyak yang syahid terbunuh hingga banyak potongan leher berserak di sekitar majelis ngaji. Kiai Leseh terluka. Perlahan ia mundur sambil memeriksa, apakah dadanya masih utuh. Alhamdulillah.
Akibat bom meriam yang menghujam berkali-kali, bangunan mushalla jadi rusak parah dan korban jatuh makin tak terhitung jumlahnya. Kiai Leseh kemudian diseret dengan kuda oleh serdadu Portugis. Tak disangka, ia masih hidup. Tapi, lengan tangan kirinya rusak terpotong akibat seretan panjang kuda beringas. Dia masih berhasil melarikan diri dengan sisa satu tangan kanan yang patah tulang.
Sabda Air Desa Banyumanis
Mbah Kiai Leseh dan Nyai Sekar Arum terus lari tergopoh-gopoh sambil dilindungi dua muridnya, Subandi dan Rohmat Hasyim. Hanya mereka berdualah diantara murid Kiai Leseh yang selamat dan utuh tak terluka. Sampailah mereka bertiga di desa terdekat, Banyu Legi.
Di desa tersebut, Kiai Leseh segera mencari sumber air. Kepada Allah Swt. ia memohon supaya air yang ada di desa tersebut bisa menjadi obat lukanya. Kiai Leseh memang dikenal memiliki karomah maqbul ucapan lisannya. Selama tiga pekan, dua muridnya setia merawat Kiai Leseh, dengan wasilah air yang sudah disabda memiliki keramat obat itu. Hingga sekarang, berkah ucapan keramat Kiai Leseh, air dari sumber mata air di Desa Banyu Legi (sekarang Banyumanis) mengandung obat untuk segala penyakit.
Sejak itulah, bila ada orang yang meniatkan air asal Desa Banyumanis sebagai obat penyakit, insyaAllah sembuh, berkah doa waliyullah Kiai Leseh. Di desa itulah raga Mbah Kiai Leseh diobati. Fadhilah airnya berlaku hingga sekarang bila diniatkan sebagai obat.
Hampir 20an tahun Kiai Leseh tinggal di Banyumanis. Kecuali kepada Subandi, Rahmat Hasyim dan beberapa murid setia, tidak ada lagi yang diajari agama oleh Kiai Leseh. Statusnya yang pelarian Portugis membuat gerak Kiai Leseh tidak sebebas dulu. Apalagi tangannya sudah tidak utuh.
Nyai Sekar Arum wafat di umur 60an tahun usai pulang dari mulang ngaji dan mencuci pakaian di sungai. Mungkin karena capai, kesehatannya terganggu. Ia mengalami panas dingin sebelum wafat sekitar pukul 10 pagi pada Selasa Legi Bulan Syuro (Muharram). Ia dimakamkan di dekat muara panjang wilayah pesisir pantai Jepara Barat. Karena tak terawat, nisannya sudah hilang ditelan aus zaman.
Mbah Kiai Leseh kini berjuang di Banyumanis tanpa didampingi sang istri. Ketiga anaknya, Guntur, Lintang dan Retno terpaksa diungsikan ke tanah kelahiran sang ayah di Desa Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Sejak sang ibu wafat, mereka makin tak betah tinggal di Jepara. Tanah Sunda lebih aman daripada di Jawa saat itu.
Mbah Kiai Leseh sebetulnya sudah ingin pindah ke tanah Sunda sejak sang istri wafat. Tapi para murid setianya masih memerlukan bimbinganyan. Niat pindah mencari tanah hijrah baru pun diurungkan. Ia melanjutkan berdakwah di Jepara.
Di Banyumanis, Sehari-hari ia menyibukkan diri bermunajat kepada Allah Swt., dengan amalan Thariqah Syadziliyah dari guru mursyid bernama Kiai Rahmat Kartono. Lisan tak henti berdzikir Sholawat Ummi -sholawat khas pengamal Syadziliyah, dan Sholawat Ruh atau Sholawat Ila Ruhi (Muabbad atau Ismul A'dhom), yang ijazahnya didapatkan langsung dari Kiai Ahmad Sujana, sang mertua.
Sang istri memiliki wirid sholawat lain. Nyai Sekar Arum lebih suka melanggengkan Sholawat Nariyah karena sholawat ini memiliki keutamaan sebagai wasilah terciptanya kerukanan rakyat dan bisa menenangkan pikiran. Baca: Mbah Joyo Rekso Laduni, Sang Penjaga Pusaka Nyai Ratu Kalinyamat Jepara.
Sang istri mengakui kalau suaminya memang mujarab jika berdoa. Saat membaca wirid Sholawat Ruh usai shalat Isya', Nyai Sekar Arum acap mendapati suaminya Kiai Leseh asyik berbicara sendiri dengan dirinya sendiri. Sholawat Ruh memang unik. Diketahui, kakek Kiai Leseh termasuk pengamal Sholawat Ruh, yang pernah tirakat membaca 300 kali tiap hari selama setengah tahun.
Pada usia sepuh, 70an tahun, Kiai Leseh wafat menyusul istrinya. Ia wafat pada Sabtu Sore di Bulan Apit (Dzul Qa'dah) dan dimakamkan di Banyumanis, yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Donorojo, Jepara.
Pesan Kiai Leseh dan Nyai Sekar Arum
Setelah ditinggal wafat Kiai Leseh, Subandi maupun Rohmat Hasyim kembali mengikuti jejak langkah guru pertamanya, Datuk Jokosare. Datuk Jokosare pernah mengucapkan janji kepada Kiai Leseh bahwa kedua muridnya itu tidak akan mati sebelum direlakan oleh Datuk Jokosare. Ucapannya terbukti. Saat Kiai Leseh wafat, mereka masih memiliki sisa umur melanjutkan perjuangan melawan komplotan berandal pimpinan Kalong Kuning yang membuat rusuh di Banyumanis atas bujukan Portugis.
Subandi mengejar Kalong Kuning yang melarikan diri hingga sampai di Sungai Wangkong. Saat Kalong Kuning tertidur di sungai itulah Subandi menemukan Kalong Kuning. Dibangunkanlah dia dan diajak duel Subandi. Pertempuran sengit terjadi. Subandi menusuk perutnya dengan pusaka hingga terbunuh.
Subandi dimakamkan di Banyumanis. Sayang, nama makamnya salah sebut Danang Suto Wijoyo atau Danang Mangun. Sementara itu, Rohmat Hasyim dimakamkan dengan nama Sayyid Ustman, yakni nama yang ia pakai sebagai nama samaran pasca Kiai Leseh wafat.
Sebelum wafat, Kiai Leseh masih sempat mendoakan rakyat Banyumanis dan sekitarnya, agar yang murtad kembali menjadi muslim semuanya. Kiai Leseh tentu saja bersedih, gara-gara termakan iming-iming kemakmuran dunia sesaat, menusia bisa tersesat di akhiratnya kelak, selamanya.
Karena itulah, pesan Kiai Leseh dan Nyai Sekar Arum yang hingga sekarang masih relevan diamalkan adalah:
- Gegayuhan dunyo iku penting. Tapi lakon akhirat ugo dipentingake. Kudu imbang. Tak dongakke wong kene balik dadi Islam kabeh. Orako Islam kabeh, tapi iso rukun, diadohno ko loro, sengsoro lan ngelih. (Mencari dunia itu penting. Tapi amalan akhirat juga lebih dipentingkan lagi. Harus seimbang. Aku doakan orang sini kembali menjadi Islam semuanya. Jika tidak Islam semuanya, tetaplah rukun, dijauhkan dari sakit, penderitaan dan lapar - Kiai Leseh)
- Isoho ngati-ngati lan prayitno njogo putra-putrane tansah iman karo Sing Kuoso (Ambillah sikap hati-hati dan bijak menjaga keturunan agar tetap beriman kepada Yang Maha Kuasa - Kiai Leseh)
- Aku jaluk anak putuku wadon ning Daerah Banyulegi diparingi sabar karo rezekine bojone. Utamakno ibadah, ojo mentingno dunyo. Sing penting rukun anak bojo lan dirumati apik. Urip paling dowo ning akhirat. (Aku meminta anak cucuku perempuan di Daerah Banyumanis diberikan kesabaran atas rezeki suaminya. Utamakan ibadah, jangan mengutamakan harta. Yang penting rukun kepada anak-suami, dan bisa merawat dengan baik. Hidup paling lama ada di akhirat - Nyai Sekar Arum)
- Wong lanang wis biasa akeh sing selingkuh, tapi nek sabar iku awet. Kabeh-kabeh sing nyekel iku wong wadon. Tenange wong lanang mergo wong wadon. Mugo-mugo putu-putuku wadon podo rukun, ora nggunjing kancane, lan ngrestuni bojone olehe ngibadah lan nyambut-gawe. (Laki-laki itu sudah lumrah selingkuh, tapi kalau sabar, bisa langgeng. Semuanya yang mengendalikan adalah perempuan. Ketenangan laki-laki sebab perempuan. Semoga anak cucuku perempuan saling rukun, tidak menggunjing temannya dan merestui suaminya dalam hal ibadah maupun pekerjaan - Nyai Sekar Arum)
Demikianlah ulasan singkat sejarah hidup Kiai Leseh Banyumanis dan istrinya, Nyai Sekar Arum. Pasangan pasutri waliyullah yang hijrah dari tanah Sunda ke Jawa demi menyebarkan ajaran luhur agama Islam dan penuh tantangan di era awal Portugis bercokol menjajah wilayah Jepara. Wallahu a'lam.
Kepada keduanya, mari berkirim bacaan Surat Al-Fatihah. [dutaislam.com/ab]
