Mbah Juminah, Saudagar Asal Tlare, Istri Kiai Amir Hasyim Mantingan, Jepara
Cari Berita

Advertisement

Mbah Juminah, Saudagar Asal Tlare, Istri Kiai Amir Hasyim Mantingan, Jepara

Duta Islam #01
Jumat, 24 Februari 2023
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
makam mbah juminah mantingan kiai amir hasyim
Makam Mbah Kiai Amir Juminah, Mantingan, Tahunan, Jepara. Foto: dutaislam.com.


Oleh M. Abdullah Badri


Dutaislam.com - Selain Nyai Ratu Kalinyamat, Sultan Hadlirin dan Mbah Mataram, masyarakat Jepara sudah mengenal Mbah Juminah sebagai lokasi sebuah makam leluhur di Mantingan, Tahunan, Jepara. Siapa dia? Perempuan atau laki-laki? Berikut jawabannya. 


Juminah adalah nama seorang perempuan asal Desa Tlare, Jepara. Dia anak saudagar bernama Ruslan, yang hidup di era Nyai Ratu Kalinyamat berkuasa. Suami Nyi Juminah bernama Kiai Amir Hasyim bin Umar Hasyim. Kiai Amir Hasyim inilah yang dimakamkan di Mantingan, yang kemudian dikenal sebagai Makam Mbah Juminah, mengambil nama istrinya, yang syahidah dimakamkan di Malaka, Malaysia sekarang. 


Baca: Mbah Mbirah: Waliyullah Pendakwah di Sumanding yang Ahli Pengobatan


Alkisah, pada umur 12 tahun, Nyi Juminah dilamar oleh Kiai Amir Hasyim bin Umar Hasyim, asal Tlare juga, yang merupakan murid Syaikh Abdul Jalil (Sunan Jepara). Kala itu, Kiai Amir Hasyim berusia 19 tahun. Jadi, selisih umur keduanya hanya 7 tahun. 


Kiai Amir Hasyim bertubuh setinggi 2 meter. Brewokan tipis. Janggutnya mirip Presiden RI ke-2. Rambutnya ikal, berjubah klawu (putih kecoklatan) dan kepalanya terbalut udeng-udeng yang bisa dilepas sewaktu-waktu. Ia selalu mengenakan cincin merah di jari manis tangan kiri.


Sementara itu, Nyi Juminah adalah perempuan berparas cantik, makmur dan berisi. Di zaman itu jarang ditemukan perempuan yang bertubuh makmur seperti Nyi Juminah. Maklum, ia saudagar kaya. Kiai Amir Hasyim pun sangat setia kepadanya. 


Pernikahan Kiai Amir Hasyim dengan Nyi Juminah diberkahi Allah Swt. dengan hadirnya dua orang putra, yakni:


  1. Ahmad Suhair (beristri Sri Yekti, asal Jepaten)
  2. Rozaq Anwar (beristri Siti Romlah, asal Malaka)


Sayang, saat Ahmad Suhair dan Rozaq Anwar mendapatkan arahan dari Nyai Ratu Kalinyamat agar berguru ke Cirebon, keduanya tak pernah kembali ke Jepara. Dan tidak ada yang mengetahui riwayat hidup masing-masing. 


Membangun Bisnis

Lokasi Desa Tlare yang dulu berupa pelabuhan saudagar turut mendukung berkembangnya bisnis  Ruslan dan keluarga. Diceritakan, Nyi Juminah adalah penerus bisnis keluarga besar Ruslan, Tlare. Di tangan Nyi Juminah inilah bisnis keluarganya kian berkembang pesat. 


Setelah menikah dengan Kiai Amir Hasyim, jejaring bisnis Nyi Juminah meluas hingga berhasil mengakses pusat kekuasaan. Apalagi Kiai Amir Hasyim adalah Mursyid Thariqah Syadziliyah murid sanad dari Syaikh Abdul Jalil yang dikenal sangat dekat dengan Nyai Ratu Kalinyamat.


Baca: Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara


Selain bahan pangan semacam beras, jagung, ikan dan lainnya, Nyi Juminah pun sukses berdagang sandang dan papan (properti). Nyai Ratu Kalinyamat pernah berkirim kebutuhan pokok ke negeri suaminya, Aceh, dan salah satu penyetok bahan pangan tersebut adalah Nyi Juminah. 


Dinamika bisnis kala itu memang melelahkan. Dikisahkan, Amir Hasyim pernah mengantarkan bahan pokok makanan ke Pulau Karimunjawa yang saat itu penduduknya didominasi oleh orang dari Suku Madura. Perjalanan ke sana masih menggunakan perahu kecil berteknologi angin laut (Jawa: ngonthel prahu cilik). Bila ada angin, perahunya jalan. Bila tidak, terpaksa sabar menunggu. Butuh waktu sehari-semalam penuh untuk sampai ke Pulau Karimunjawa yang masih jarang penghuni itu. Meski hidup dalam satu generasi, Kiai Amir Hasyim tidak akrab dengan Sunan Nyamplungan, Karimunjawa, dengan alasan jauhnya jarak. 


Kiai Amir Hasyim sendiri pernah membantu sang istri menjadi seorang pemborong rumah (developer), yang saat itu, biaya untuk membangun rumah sederhana rata-rata membutuhkan uang sebesar 3 iket (mungkin setara 100an juta rupiah sekarang). 


Suatu kali, sebagai pemborong, Kiai Amir Hasyim pernah diberi dana proyek senilai 8 iket oleh calon pembeli propertinya. Tapi ia sempat "kena omelan" karena rumah yang dibangun berbahan kayu jengkol semua, tak ada kayu jatinya. Pembeli menduga, penjual terlalu ambil banyak untung hingga 5 iket


Baca: Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim


Di kalangan pebisnis, nama Nyi Juminah lebih dikenal daripada Kiai Amir Hasyim. Karena itulah, Kiai Amir Hasyim sering menggunakan nama Nyi Juminah untuk bertransaksi dagang dan berbisnis apapun. Demi menjaga kepercayaan, hal itu dianggap wajar dalam dunia bisnis, hingga sekarang. 


Atas dasar itulah nama Nyi Juminah lebih dikenal luas daripada nama suaminya. Apalagi Nyi Juminah dikenal sangat dermawan, yang suka membagi-bagikan sedekah berupa sandang (baju, celana) dan pangan setiap pekan kepada masyarakat luas. Kiai Amir Hasyim juga sering dititipi Nyi Juminah memberi uang jajan kepada Warsito, murid kesayangan Kiai Joyo Rekso Laduni, Karangkebagusan, yang sering main minta kopi. 


Ya. Kiai Laduni sering tiba-tiba silaturrahim ke rumah Kiai Amir Hasyim di malam hari hanya untuk sekedar minta kopi yang dibuatkan langsung oleh Nyi Juminah. Kiai Laduni cukup sakti. Ia kadang mengendarai daun pisang menuju Rumah Kiai Amir Hasyim. Kalau balik pulang, daun pisang pertama dibuang, lalu ia memotong daun pisang baru dari pohon pisang yang tertanam di samping rumah Nyi Juminah, agar mudah terbang tanpa ngos-ngosan. Daun pisang adalah makhluk Allah yang memiliki jiwa. Bila dipangkas, ia bisa diperintah. Begitulah prinsip ilmu terbang ala Kiai Laduni -yang tidak bisa dipraktikkan orang lain. Hal itu acapkali dilakukan Mbah Joyo Rekso Laduni di tengah malam, saat manusia lain terlelap. Hanya saat pulang ke rumah istrinya di Tuban sajalah Kiai Laduni terpaksa pakai kendaraan strek atau cukir, agar bisa membawa lebih banyak barang. 


Meski tidak terlalu paham Bahasa Arab, Kiai Laduni tergolong cerdas dan mudah menghapal. Kiai Amir Hasyim sering mendatangi kantor Kiai Laduni di Winangunan untuk bertukar ilmu dan saling imtihan (tes) ilmu agama. Keduanya adalah sahabat akrab yang semasa hidupnya saling membantu. 


Kiai Amir Hasyim sebetulnya bukanlah tipe politikus. Ia lebih pas disebut kiai atau ulama' dan sekaligus saudagar. Tapi, sejak istrinya Nyi Juminah kian dekat dengan pusat kekuasaan, Kiai Amir Hasyim makin intens terlibat dalam urusan politik kekuasaan demi mengawal sang istri tercinta. 


Ikut Menyerang Portugis ke Malaka

Peristiwa politik di Jepara menggema. Kiai Amir Hasyim melihat puluhan kapal besar tiba-tiba bersandar sepanjang Desa Tlare hingga ke pesisir Donorojo, daerah Benteng Portugis Jepara sekarang. Ribuan prajurit datang berduyun ke Jepara. Pesisir laut Jepara penuh sesak pasukan siap perang, termasuk dari Kudus. Saat itu, wilayah kekuasaan Nyai Ratu Kalinyamat membentang hingga perbatasan Kabupaten Blora sekarang.  


Sebagai pedagang, Kiai Amir Hasyim tak mengerti tentang apa sebenarnya sedang terjadi kala itu. Tapi, tiba-tiba saja sang istri mengabari akan mengikuti ekspesidi perang melawan Portugis ke Malaka. Ia mendapatkan perintah sebagai juru masak para pasukan dari Nyai Ratu Kalinyamat. 


Baca: Filosofi Pedas dalam Ajaran Mbah Rawit (Rasto Gendok) Margoyoso, Jepara


Kiai Amir pun ikut mengiyakan saja. Apalagi ada adik kandungnya yang turut bergabung dalam barisan pasukan pemanah (ahli panah). Namanya Rekso Dono. Tujuan Kiai Amir Hasyim mengikuti ekspedisi tersebut tiada lain demi mendampingi sang istri, agar selamat. Diketahui, Nyi Juminah menyiapkan banyak tewel (nangka muda) untuk keperludan membuat sayur lodeh untuk pasukan perang di kapal, yang jumlahnya 300an orang itu. 


Saking banyaknya pasukan, kapal dipenuhi manusia dan bahan logistik. Hampir tidak ada pasukan yang bisa tidur telentang dengan nyaman. Mereka hanya bisa jongkok atau duduk sesekali. Padahal, kapal berbahan full kayu Jati hasil produksi pabrikan milik Nyai Ratu Kalinyamat di Rembang itu tergolong sangat besar di zamannya. Kiai Amir Hasyim cukup kelelahan bila harus berjalan mengelilingi kapal tiga lantai yang dibangun khusus untuk pertahanan laut maritim tersebut. 


Akibat banyaknya kapal ekspedisi yang terombang-ambing cuaca laut ekstrim, perjalanan ke Malaka ditempuh berminggu-minggu. Inilah yang tidak diprediksi matang dalam perencanaan perang sebelumnya. Kapal yang ditumpangi Nyi Juminah dan Kiai Amir Hasyim pun keburu diserang duluan oleh pasukan Portugis sebelum mendarat dengan selamat.


Harusnya, kapal berteknologi layar yang memuat ratusan pasukan tersebut diikuti oleh dua kapal berukuran sedang sebagai pengawal (backing), di kanan dan kiri, yang masing-masing dipenuhi 100an prajurit bersenjata tradisional panah, pedang, tombak dan keris. Sayang, saat serdadu Portugis berhasil merangsek masuk ke dek kapal paling bawah, tempat para juru masak bekerja, ada satu kapal pengawal terlambat jauh di belakang kapal yang dinaiki Nyi Juminah. Mereka tak bisa membantu bertahan akibat tersangkut karang. 


Baca: Mbah Kiai Srigi, Demang yang Pintar Strategi Gerilya


Dorrr. Pertempuran sengit pecah di kapal. Perang berkecamuk. Kiai Amir Hasyim sempat terkena tembakan bedil serdadu Portugis di bagian pinggang tubuhnya. Bedil tidak mempan menembus. Dia selamat. Tapi peluru justru terpantul ke tubuh istri yang ada persis di sampingnya. Peluru akhirnya bersarang ke tubuh Nyi Juminah. Niat baik Kiai Amir Hasyim ingin mengamankan sang istri, dikehendaki lain oleh Allah Swt. Nyi Juminah justru wafat syahidah di tengah medan perang melawan Portugis. Innalillah wa Inna Ilahi Roji'un.


Pada malam hari saat perang dijeda (jam malam), jasad Nyi Juminah sempat dishalatkan dan dikebumikan bersama ribuan korban perang lainnya, di Tanah Malaka. Termasuk Rekso Dono, adik kandung Kiai Amir Hasyim bin Umar Hasyim. Nyi Juminah wafat muda di usia 32 tahun. Saat itu, Kiai Amir Hasyim sudah berusia 39 tahun. 


Data sejarah menyebut, tahun penyerangan pertama Pasukan Jepara ke Portugis di Malaka terjadi pada 1.550 M., dan menewaskan 2.000an pasukan akibat terpaan badai dahsyat dan alat tempur prajurit yang kalah modern dibanding Portugis. Mengikuti data tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahun lahir Nyi Juminah adalah 1.518 M., dan tahun lahir Kiai Amir Hasyim: 1.511 M. Itu berarti, kelahiran Kiai Amir Hasyim sudah 512 tahun lalu (di tahun 2023 ini).


Mendirikan Pesantren

Pasca gugurnya Nyi Juminah, Kiai Amir Hasyim yang berusia 39 tahun mendapatkan tugas baru di Jepara sebagai Punggawa Astana Mantingan Nyai Ratu Kalinyamat, yang berkewajiban mendidik ilmu agama kepada para prajurit Astana Mantingan dan masyarakat umum yang berniat belajar. Sebagai Punggawa, Kiai Amir Hasyim tidak mau digaji oleh negara, laiknya pegawai negeri. Ia mengabdikan diri secara penuh tanpa imbalan.  


Dengan harta melimpah hasil usahanya bersama almarhumah sang istri, ia diperintahkan Syaikh Abdul Jalil untuk membangun rumah dan sekaligus aula di bawah lokasi Astana Mantingan, tepat di depan pasar cilik waktu itu (depan makam Sultan Hadlirin sekarang). Di aula itulah ia bersama sang guru Syaikh Abdul Jalil mengajarkan ilmu membaca Al-Qur'an, syariat serta thariqah kepada 28 murid santrinya, yang rata-rata berprofesi sebagai tentara. 


Hanya Syaikh Abdul Jalil lah yang memiliki tulisan Arab Al-Qur'an 30 juz utuh. Agar bisa mengajar para santri, Kiai Amir Hasyim menyalin teks Al-Qur'an tersebut seperlunya saja. Baca: Mbah Jaka Samudra (Lelono), Wali Musafir Banten Pejuang Islam di Jepara


Saat itu, prajurit Astana terbagi empat kelompok penjuru arah angin. Masing-masing kelompok ada 80 orang. Jadi, pasukan penjaga (polisi) sekitar Astana Nyai Ratu Kalinyamat berjumlah 320 orang. Dan tidak semuanya beragama Islam. Dari kelompok prajurit Astana inilah mayoritas santri Kiai Amir Hasyim dan Syaikh Abdul Jalil berasal. 


Salah datu dari santri yang disayang Kiai Amir karena pintar membantu berdagang adalah Kang Sulidi, yang diajak nyantri pertama kali ke Mantingan oleh seorang kenalan Kiai Amir Hasyim sesama saudagar asal Kudus. Ada murid lain, misalnya Mas Angkoro (seorang tentara asal Demak) dan Subangun (asli Kalinyamat). 


Banyak sekali santri-santri Kiai Amir Hasyim yang berusia anak-anak. Mereka inilah yang mukim di Pesantren Astana Mantingan tanpa membayar, tidak sebagaimana santri senior lain yang diantaranya diharuskan membayar 5 rece perbulan. 


Para santri yunior anak-anak yang belajar tanpa bayar SPP inilah yang memanggil Kiai Amir Hasyim sebagai Mbah Kiai Juminah. Bagi Kiai Amir Hasyim, panggilan itu adalah bentuk penghormatan para santri kepada almarhumah istri tercinta sang kiai. Kiai Amir Hasyim tidak keberatan dengan sebutan tersebut. Lambat laun, pesantren itupun dikenal luas oleh masyarakat Mantingan sebagai Pesantren Mbah Juminah. 


Uniknya, uang bulanan santri tidak pernah dipakai untuk keperluan pengasuh dan keluarganya. Semua uang i'anah bulanan para santri dikumpulkan Kiai Amir Hasyim sebagai modal memutar barang dagangan, dan bila ada hasilnya, semua uang santri akan dikembalikan penuh bersama hitungan laba saat mereka membutuhkan biaya pernikahan, membangun rumah atau lainnya. Bahkan, Kiai Amir Hasyim sering menambah kekurangan pembiayaan (Jawa: tombok) membangun rumah para santri, yang awalnya direncanakan habis 3 bundel/iket misalnya, jadi 5 bundel. Semua kekurangan biaya kebutuhan santri sering ditambahi oleh Kiai Amir Hasyim. 


Beliau tidak menyukai santri yang pelit dan boros. Santri yang pelit selalu dites sedekah tapi tidak dibelanjakan, melainkan disimpan. Tapi, untuk santri yang boros, mereka akan diminta paksa uangnya oleh kiai supaya jadi modal, yang kelak hasilnya juga mereka rasakan utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Begitulah cara mendidik santri ala Kiai Amir Hasyim, seorang pedagang ulung penggerak uang para santri yang benar-benar bertanggungjawab (siap memberi saat dibutuhkan santri).  


Aktivitas ngaji di pondok Kiai Amir Hasyim dimulai setelah Subuh hingga jelang Dhuhur, dan mulai ngaji lagi setelah Ashar hingga usai Isya'. Selain Al-Qur'an Arab, Kiai Amir Hasyim bersama Syaikh Abdul Jalil mengajarkan Ilmu Tauhid tanpa kitab kepada para santrinya.  


Dijuluki Kiai Juminah

Sejak menjadi Punggawa di Astana Mantingan, Kiai Amir Hasyim sering mendampingi Nyai Ratu Kalinyamat untuk dimintai nasihat tentang keprajuritan dan lainnya. Meski begitu, ia jarang tampil di depan publik bersama Nyai Ratu, mengingat posisinya sebagai kiai dan tokoh agama Astana yang dihormati, dan tabu bila terlihat harus berpolitik. 


Baca: Tumenggung Cendol, Serang Belanda dengan Petir ala Ki Ageng Selo


Digambarkan, Nyai Ratu Kalinyamat sosok yang tegas. Mahkota indah di bagian depan kepala selalu dikenakan menutupi rambutnya, yang bila sedang safari ke lapangan sering diikat tali tambahan, yang makin menambah wibawanya di mata lawan maupun kawan. 


Kiai Amir Hasyim juga dikenal dengan panggilan Mbah Kiai Juminah saat dipanggil menghadap ke Astana Mantingan untuk rapat-rapat penting urusan masyarakat luas. Nyai Ratu Kalinyamat pun sengaja memanggilnya demikian, mengikuti para santri, karena Nyi Juminah adalah sosok perempuan yang sangat berjasa besar dan berkorban banyak untuk masyarakat Jepara hingga syahidah di medan perang. Panggilan itu dibuat untuk mengenang jasa besar Nyi Juminah.


Kala dekat dengan Astana Mantingan, Kiai Amir Juminah mulai mengenal orang-orang asing. Antara lain arsitek Nyai Ratu Kalinyamat yang berambut kuning, asal Portugis. Dialah yang disebut-sebut sebagai desainer bangunan Astana Mantingan dan bangunan Benteng Portugis di Donorojo sekarang. 


Ia juga kenal dengan orang Cina ahli ukir asal Kudus bernama Telingsing, yang dulu biasa dipanggil Pak Leong dan beristri asal Cina juga. Sosoknya bertubuh kecil, tidak berambut (gundul), tidak gemuk, sering pakai topi merah, jarang ngobrol dengan orang lain, suka merokok hasil produksi Pak Kartolo Kudus, tapi sangat mahir mengukir indah pada bongkahan batu. Dia juga jago mengubah sendok besi menjadi alat ukir (Jawa: tatah). 


Kiai Amir Juminah pernah dipanggil Nyai Ratu Kalinyamat untuk diajak bermusyawarah mengatur strategi perang melawan Portugis ke Malaka untuk kedua kalinya (sekitar tahun 1.574 M). Saat itu, Kiai Amir Juminah memberi solusi terkait perbandingan jumlah armada perang dan kekuatan musuh. 


Karena tugasnya untuk benteng pertahanan dan memintarkan masyarakat, Kiai Amir Juminah tetap berada di Jepara. Untuk kepentingan pusaka prajurit Jepara, Kiai Joyo Rekso Laduni acap diajak rembug juga oleh Kiai Amir Juminah. 


Bila Kiai Amir Juminah tetap di Jepara, kedua putranya justru disarankan oleh Nyai Ratu Kalinyamat agar ke Cirebon, berguru kepada murid-murid Sunan Gunungjati. Sayangnya, hingga Mbah Kiai Amir Juminah wafat pada Jumat sore usai Jum'atan di akhir Bulan Ramadhan setelah Malam Lailatul Qodar, mereka tidak pernah kembali ke Jepara. Sebelum wafat, Kiai Amir Juminah sempat berpuasa lebih dari 20 hari. 


Kiai Amir Juminah sowan ila rahmatillah di usia 67 tahun setelah selama 28 tahun mengabdi di Astana Mantingan sebagai Punggawa di Bidang Pertahanan dan Pendidikan. Kiai yang menyukai wirid Shalawat Nariyah dan Shalawat Jibril tersebur wafat di musim wabah pagebluk, sekitar dua bulan setelah hari wafat Kiai Laduni pada awal Bulan Windu (mungkin bulan ke-8 hijriyah: Sya'ban atau Ruwah), yang sama-sama terkena pagebluk juga. 


Sejak kembali ke rahmatullah itulah Kiai Amir Hasyim tidak lagi menikmati makanan kesukaannya, Gronthol (istilah Pati) atau Blendung (istilah Jepara), yakni makanan lezat jagung godok asin yang dicampur kelapa parut. Ia tak kesulitan lagi membaca Al-Qur'an tulisan pribadi dengan penerang Cempluk, dan tak lagi menggunakan Lerak dan Merang untuk membersihkan badan saat mandi. 


Karena tidak ada ahli waris anak, pesantren dan seluruh peninggalan Kiai Amir Juminah diteruskan dan dikelola oleh Kang Sulidi, murid terkasih, yang dikira banyak orang sebagai anak kandung sang kiai. Sebelum meninggal, Kiai Amir Juminah berwasiat agar dimakamkan di sebuah bukit, yang kalau orang berdiri memandang dari lokasi tersebut, Astana Mantingan terlihat dengan jelas. Atas nama ta'dhim, ia sungkan dimakamkan se-kompleks dengan Sultan Hadlirin (asal Aceh dan berwajah Cina) dan Nyai Ratu Kalinyamat, atasan langsungnya di Astana Mantingan. 


Di lokasi makam saat inilah wasiat dan amanat Kiai Amir Juminah ditunaikan oleh Kang Sulidi. Sayangnya, bekas-bekas perjuangan beliau semasa hidup sudah hilang diterpa longsor berkali-kali sejak ratusan tahun lalu. Baca: Mbah Tirto Karimunjawa, Pemomong Sunan Nyamplungan


Nama Mbah Juminah sebagai makam harus dipertahankan. Hal itu sesuai dengan harapan Kiai Amir Hasyim yang ingin selalu mengenang serta mendoakan sang istri, dan sesuai pula dengan harapan Nyai Ratu Kalinyamat yang tidak ingin melupakan jasa Nyi Juminah. 


Banyak orang berharap supaya peziarah yang datang ke Makam Mbah Kiai Amir Juminah tidak ngobrol ngalor-ngidul tentang gaman (pusaka) atau omongan lain yang tidak terkait dzikir kepada Allah Swt. Itu adalah makam waliyullah. Bacalah Al-Qur'an, dzikir, berdoa, tawassul, dan pulang. InsyaAllah berkah. Wallahu a'lam bis-shawab. [dutaislam.com/ab]


Terjemah Hikam Athaillah

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB