![]() |
Makam Mbah Joyo Rekso Laduni. Foto diambil pada Selasa, 21 Februari 2023. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.com - Mbah Kiai Ladunni adalah julukan kehormatan bagi Mbah Joyo Rekso atau Jogo Rekso atau Joyo Sugino (nama lahir). Ia adalah penjaga pusaka di zaman Nyai Ratu Kalinyamat berkuasa di Jepara. Joyo Rekso adalah laqab atau panggilan khusus untuk orang yang diberi amanat menjaga pusaka keraton.
Joyo Sugino merupakan anak tunggal pasangan Mbah Murah dan Nyi Lasmi yang lahir di Tuban, Jawa Timur, dan memiliki garis keluarga perwira (keprajuritan). Dari garis keturunan ini ia mendapatkan ilmu tiban, yang orang kampung setempat menyebutnya sebagai Ilmu Laduni (datangnya langsung dari Allah Swt.).
Baca: Makam Kiai Sholeh Anwar yang Pindah Sendiri ke Potroyudan
Joyo Sugino hanya memiliki satu saudara tiri beda ibu bernama Sularsih, yang hidup di Kediri, Jawa Timur. Di umur 28 tahun, ia menikah dengan seorang perempuan bernama Sentik asal Tuban. Dari Nyi Sentik, lahir tiga orang anak, yang semuanya laki-laki. Mereka adalah Ahmad Kartolo, Ahmad Sujono dan Lampor.
Tinggi badannya 1,9 meter (ukuran saat itu 20 toklek'an). Sosoknya gagah, kekar, tidak kurus dan tidak gemuk. Wajahnya hampir mirip gambar foto Pattimura di uang kertas rupiah. Kepalanya selalu dibalut blangkon berwarna sabut kelapa kering (cokelat muda cerah). Bajunya Surjan khas Jawa, yang warnanya serupa dengan blangkonnya.
Guru: Kiai Alim Hamzah
Awalnya, Joyo Sugino muda ngaji agama kepada seorang kiai muda (ustadz) di Demak. Namanya Kiai Alim Hamzah. Dialah guru yang memberinya ijazah Sholawat Jibril. Namun, sejak sang kiai mengetahui Joyo Sugino memiliki ilmu keturunan leluhur yang langka; terampil merawat pusaka (tombak, keris, pedang dan lainnya), ia diperintahkan untuk tinggal di Jepara sebagai Jogo Rekso (penjaga pusaka).
Singkatnya, tak lama tinggal di Jepara, ketika umur mencapai 30 tahun, ia pun lekas diangkat oleh perwakilan Nyai Ratu Kalinyamat sebagai orang yang mendapatkan amanat menjaga pusaka, yang kala itu memang sangat berharga. Jabatan perawat pusaka dinamai Jogo Rekso (yang menjaga dan merawat). Ia pun mulai dikenal sebagai Joyo Rekso.
Setiap hari, Joyo Rekso bekerja (berdinas) di wilayah yang dulu disebut sebagai Winangunan (mungkin Desa Mangunan sekarang). Di kantor itulah dia mengabdi setiap waktu, merawat dan menjaga pusaka keraton. Sesekali ia didatangi para adipati untuk memesan pusaka atau menitipkan pusaka mereka bersama ratusan jenis bentuk dan asalnya, di kantor Joyo Rekso. Saat ada acara kasepuhan desa di kantor, atau ia diundang hadir acara dengan para pejabat inilah Joyo Rekso baru bisa menikmati kopi deplok. Di zaman itu, kopi dijual glondongan (masih berupa biji). Kawan karib yang biasa ia mintai kopi adalah Kiai Amir Juminah, Mantingan.
Sejak inilah Joyo Rekso mengenal banyak nama pimpinan daerah di zaman Nyai Ratu Kalinyamat berkuasa (1549-1579 M). Sedikit banyak ia mengetahui peta politik daerah, meski dia bukanlah seorang politikus. Joyo Rekso setia menjaga pusaka yang sudah diamanatkan. Jangan sampai pusaka-pusaka yang dijaga jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggungjawab. Diketahui, senjata favorit Nyai Ratu Kalinyamat adalah Gandik (keris kecil untuk perempuan).
Baca: Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara.
Setiap Bulan Suro, Joyo Rekso membersihkan ratusan gaman (pusaka) tersebut, yang bila ditempatkan di wadah genuk (gentong) bisa terisi penuh. Kesibukannya sebagai abdi nagari membuatnya tak pernah kembali ke Tuban kecuali saat liburan di Bulan Safar, tepatnya setelah ritual ngumbah gaman selesai dan bonus tambahan gaji didapatkan (istilah sekarang THR - Tunjangan Hari Raya).
Dari kerja-kerja tersebut, setiap bulan Joyo Rekso diberi gaji 2 iket atau 2 buntelan (gepok atau ikat). Untuk ukuran sekarang nilainya sangatlah besar, karena gaji pegawai saat itu ada yang hanya dapat setengah iket, satu iket, atau satu setengah iket. Memiliki uang 3 iket saja bisa digunakan membeli rumah.
Iket tersebut berisi uang ratusan keping, terbuat dari koin emas tipis, yang ada gambar padi dan kapas di kanan kirinya. Di tengahnya terdapat gambar Rondan (Poskamling istilah sekarang), lengkap dengan gambar ukiran di bawahnya. Gambar koin emas tersebut dibuat dengan cara digepuk (digebukin dengan alat pukul manual), bukan dicetak.
Pecahan uang terkecil kala itu disebut rece dan ndil. Beberapa rece misalnya, bisa dibuat ongkos naik cukir (andong) dari Jepara ke Tuban selama tiga hari. Satu ndil misalnya, bisa dibuat jajan di warung hingga kenyang berkali-kali selama beberapa hari. Bayangkan, amat besar sekali nilai tukarnya bila satu iket isinya adalah ratusan rece dan ratusan ndil. Wajar bila di Jepara, Joyo Rekso sangat makmur.
Meski Nyi Sentik tidak pernah berkunjung ke Jepara, Joyo Rekso selalu berkirim uang hasil gaji bulananannya ke Tuban. Dia menitipkan uang tersebut melalui rombongan prajurit yang kebetulan sedang ada tugas ke daerah Tuban. Prajurit jadi pilihan kurir saat itu.
Walaupun melimpah harta, Joyo Rekso tidak berani menikahi wanita Jepara, yang kala itu dia kenal bartabiat galak. Dia tipe lelaki setia. "Ora ketok, tapi tetep sayang (tidak melihat tapi tetap sayang)". Begitulah prinsip yang dia pegang. Prinsip tersebut adalah bagian dari tahapan menuju Ilmu Laduni, dan bagian dari pembentuk iman kepada Allah Swt., yang sama-sama "ora ketok tapi tetep sayang" (kepada Allah), serta tidak mendurhakai-Nya.
Meski begitu, Allah Swt memberinya tiga orang anak. Semuanya ikut tinggal bersama ibundanya di Tuban, dan tidak ada yang berketurunan di Jepara. Sesekali mereka menjenguk sang ayah di Jepara untuk silaturrahim atau sekedar liburan. Baca: Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim.
Syahdan, Joyo Rekso menjelma orang yang sejahtera dan dihormati, mengingat posisi prestisnya sebagai bagian dari orang keraton. Misalnya, pada tutup bulan (wulan tutup) saat mudik setahun sekali ke Tuban, penduduk kampung banyak yang menjemput atau sowan kepadanya. Pasalnya, saat pulang, ia selalu membagi-bagi uang satu ndil per-orang, paket berisi beras, jagung, atau ikan asal pesisir Jepara yang sudah di-asapi uap, yang ia bawa dengan kendaraan cukir selama tiga hari perjalanan. Karena sudah di-asap dan ditumpuk jerami, ikan tidak berbau. Ikan-ikan itulah yang juga dijadikannya lauk makanan harian saat menempuh perjalanan mudik ke Tuban. Suatu kali, Joyo Rekso pulang berkuda ke Tuban. Tapi hal itu melelahkan, kesel bangke'an. Cukir jadi pilihan angkot paling efektif, praktis dan murah.
Kadangkali, saat musim mudik tiba, Mbah Joyo Rekso sengaja mempekerjakan murid-murid Kiai Telingsing untuk mengukir rumah papan kayunya di Tuban selama beberapa hari. Ini membuktikan bahwa Joyo Rekso termasuk orang berada, di tengah lazimnya rumah bambu yang dibangun saat itu. Diketahui, Kiai Telingsing adalah ulama' waliyullah keturunan Cina asal Kudus (makamnya di Sunggingan, Kudus) yang jadi guru pengrajin ukir kayu penduduk Jepara di sebuah lokasi yang posisinya berada di bawah Paseban (Pesanggrahan) Nyai Ratu Kalinyamat, Makam Mantingan sekarang.
Bukti kemakmuran yang dirasakan Mbah Joyo Rekso adalah kebanggaannya bisa mengenakan pakaian teknokrat Jawa, Sorjan, yang terbuat dari kapas atau sutra hasil produksi dari Cirebon. Saat itu, pakaian orang biasa hanya berbahan gedebok pisang yang ditenun dan dianyam. Hasilnya pun tipis dan gampang robek.
Agar kelihatan lebih halus, bahan gedebok itu harus direndam dulu dengan pati kanji berhari-hari. Tapi hasilnya tidak selentur baju bahan kapas, dan jika dipakai masih terasa kaku. Beda dengan Sorjan milik Joyo Rekso, yang halus, lembut, dan bikin orang lain tertarik memilikinya (ngiler) karena dengan memakainya, siapapun tidak kuatir "dijarah" dan diserang tumo kathok (kutu celana). Bila berlepas dada pun, badan segar Joyo Rekso tampak lebih halus tak ada bekas gigitan kutu (Jawa: mburik), seperti lazimnya penduduk Jawa kala itu.
Ilmu Laduni
Saat di Jepara inilah Joyo Rekso mendapatkan julukan lain, Kiai Laduni. Alasannya, walaupun tidak bersekolah, penemuan, ide maupun ucapannya sering sesuai dengan kebenaran, kenyataan, dan selaras dengan hukum syariat Islam yang dipahami oleh banyak kiai dan ulama' kala itu.
Ilmu Laduni adalah ilmu tiban (anugerah) dari Allah Swt. Laduni tidak bisa diminta tapi musti diikhtiyarkan (diusahakan). Meski tanpa melewati cara belajar formal melalui kitab-kitab, kerja-kerja analisa atau lainnya, Ilmu Laduni laiknya ilham yang datangnya langsung dari Allah. Sehingga, Mbah Joyo Rekso mudah menghapal apapun yang didengar. Misalnya, selama hidup ia jarang melihat bentuk fisik Kitab Suci Al-Qur'an, tapi banyak sekali ayat-ayat yang dia hapal setelah mendengarnya langsung dari sahabat sesama waliyullah, Mbah Kiai Amir Juminah (Mantingan), yang acap datang ke kantornya untuk ngaji Al-Qur'an.
Baca: Mbah Jaka Samudra (Lelono), Wali Musafir Banten Pejuang Islam di Jepara.
Dijelaskan, ladunni adalah seni kita memilih baik buruknya dentum suara hati. Bila baik, berarti ladunni, dan bila buruk, itu suara setan. Praktisnya, saat ada masalah menerpa, pemilik Ilmu Laduni biasanya lekas mendapatkan solusi terbaik sesuai dengan tata norma dan etika sosial yang berlaku, dan bila ditanya darimana asalnya, ia tidak bisa menjawab kecuali: dari Allah Swt.
Mbah Joyo Rekso mendapatkan ilmu langka tersebut berkah tirakat puasa sang ibu selama 150 hari saat ia masih di kandungan. Selain itu, saat hamil, Nyi Lasmi, sang ibu, pernah bertirakat rendam air di sungai selama 15 hari mulai tengah malam hingga jelang Shalat Subuh. Yang riyadlah orangtuanya, tapi yang memeroleh hasilnya adalah anak. Itulah yang dimaksud ilmu tiban tapi harus di-ikhtiyarkan. Siapapun yang kuat tirakat berpuasa untuk keberhasilan anak, Allah Swt. selalu memberkati. Konsepnya begitu.
Banyak orang takjub atas kemampuan ilmu ladunni Mbah Joyo Rekso. Sejak beliau masih hidup, orang-orang sudah menyebutnya sebagai "wali". Betapa tidak, tanpa terlihat pernah berguru, ucapan dia selalu terbukti benar. Ia bisa membaca tulisan Arab meski tidak memahami artinya. Seringkali, tanpa diketahui, Mbah Joyo Rekso tiba-tiba "membelah" diri, yang di waktu bersamaan terlihat oleh banyak saksi mata sedang mengimami shalat di empat mushalla berbeda. Kejadian-kejadian tak terurai nalar umum inilah yang membuat nama Mbah Joyo Rekso makin dihormati dan disegani sebagai Mbah Laduni.
Kunci Ilmu Laduni
Akibat minimnya informasi dan serba terbatasnya komunikasi di zaman itu, masyarakat memang lebih mengandalkan ilmu tanda seperti firasat, titen dan intuisi. Tapi, bagi Mbah Laduni, hal itu mudah ia tafsirkan dengan ilmu tibannya tersebut. Misalnya, suara burung emprit yang ciyat-ciyet di depan rumah adalah penanda akan ada tamu datang. Gagak terbang berputar adalah tanda akan ada tetangga yang wafat. Hakikatnya, si Gagak sedang terbang mencari sumber bau amis dan anyir khas mayat.
Tamsil lain dalam Ilmu Laduni adalah datangnya penyakit Lepra sebagai penanda kalau penderitanya termasuk orang yang sering merugikan orang lain. Orang sakit yang terus menerus mengeluhkan penyakitnya adalah penanda kalau penyakit itu datangnya bukan dari Allah Swt sebagai ujian, tapi hasil ungkapan doa dari banyak orang yang pernah dirugikan olehnya. Ciri penyakit yang datangnya dari Allah Swt. adalah tiadanya sambat (keluhan) dari si penderita.
Tidak hanya orang hidup, orang yang akan meninggal biasanya diberi Ilmu Laduni dari Allah. Misalnya, matanya tiba-tiba bisa melihat bintang di langit dan ayang-ayang (bayangan) dirinya tiba-tiba diketahui hilang. Semua itu akan ditampakkan oleh Allah Swt. jelang manusia akan mengakhiri umur tanpa harus mempelajarinya secara formal. Itu juga laduni.
Baca: Mbah Margo Tiyoso, Leluhur Desa Margoyoso, Jepara
Jika manusia mampu mengenal akal dan posisinya sebagai mahluk Allah Swt., Ilmu Laduni akan mudah didapat. Hanya berbekal akal, manusia sebetulnya bisa mengenali kebaikan laduniyah. Akal yang dipenuhi keimanan di hati akan mudah memilah mana yang baik dan benar, meski tanpa belajar ilmunya terlebih dahulu.
Dalam laduni, ilmu adalah dasar bagi terciptanya akhlak dan adab yang baik. Akhlak bisa dipelajari. Orang berilmu tapi tidak beradab, berarti dia "durung tepak ngelmune (ilmunya belum sampai)". Sedikit ilmu tapi banyak omong adalah ngawur. Orang yang kaya ilmu biasanya lebih suka diam, karena ia menguasai sebuah ilmu untuk menata hati dan akalnya agar lebih baik, bukan untuk menguasai orang lain. Si kaya ilmu tidak mudah bertutur dan menggurui kecuali diminta atau ditugaskan orang lain.
Teman karib yang sering datang untuk menjajal kemampuan ilmu Mbah Laduni adalah Mbah Juminah. Beliau seorang ulama' dan saudagar asal Desa Tlare, Jepara, yang dipercaya Nyai Ratu Kalinyamat sebagai Punggawa yang acap dimintai nasehat dan diberi wewenang mengatur keluar masuknya uang negara.
Mbah Juminah memiliki banyak kekayaan. Kala bertemu Mbah Laduni, uang satu ndil untuk jajan sering diuncalke (diberikan) Mbah Juminah untuk Warsito, anak yatim piatu asal Desa Demangan, yang dipungut Mbah Laduni sebagai anak angkat, murid kepercayaan satu-satunya, yang suka merokok klobot hasil produksi dari Kudus (sekali beli untuk persediaan setahun). Sayangnya ia wafat di usia sangat muda, 18 tahun, akibat sakit katisen di musim pagebluk.
Kunci Ilmu Laduni adalah mikir bener (berpikir benar). Karena itulah, sikap benar harus dipelajari. Bila ada kebenaran yang saat kita melihatnya tampak salah, berarti jumeneng atine (ketetapan hatinya) ada yang keliru, dan perlu diperbaiki dengan terus belajar.
Salah satu ajaran Mbah Joyo Rekso Laduni yang sangat relevan untuk manusia saat ini adalah: "Tresnani awakmu dewe. Utamakno keluargamu. Lan ngati-ngati. Ojo gampang katut angin barat (Cintailah dirimu sendiri. Utamakan keluarga. Dan hati-hatilah. Jangan mudah terombang-ambing angin ribut di laut [pengaruh negatif]).
Wafat Malam Jumat
Mbah Laduni hidup di era Nyai Ratu Kalinyamat berkuasa, dimana korek api saat itu disebut kecrek (ber-penyulut kapas), dan lampu api disebut sebagai cempluk (lebar dan pendek). Toiletnya (Jawa: kakus) disebut tangkringan. Ia pernah menyaksikan ada ontran-ontran (kejadian besar viral) dimana seorang pencuri dihukum potong tangan dan disaksikan banyak orang di tengah lapangan.
Meski tidak pernah bertemu dengan Nyai Ratu Kalinyamat (Retno Kencono), ia mendengar kabar geger konflik Nyai Ratu dengan Aryo Penangsang, tapi tidak pernah ikut campur urusan politik praktis keraton. Semasa hidup, Mbah Laduni ingin bertemu ulama' sezamannya, Sunan Nyamplungan (Mbah Amir Hasan), dan salaman sungkem kepadanya. Namun hal itu tidak pernah tersampaikan. Ia hapal mantra Walik Glagah warisan leluhurnya. Tapi sangat tidak baik diamalkan oleh orang Islam. Dia juga hapal Sholawat Ghoibi atau Sholawat Muabbad.
Sebelum wafat pada Malam Jumat di bulan Windu, atau bulan ke delapan ala tahun Jawa Islam (bukan Tahun Nagari), Mbah Laduni yang suka Pentil Keong itu sudah berpesan kepada banyak orang agar dimakamkan di dekat rumahnya di Jepara, Karangkebagusan, Jepara Kota sekarang. Ia tidak mau dimakamkan di tanah kelahirannya di Tuban karena perjalanan "ambulan cukir" saat itu sungguh sangat melelahkan.
Baca: Mbah Mbirah: Waliyullah Pendakwah di Sumanding yang Ahli Pengobatan
Suatu hari, Mbah Laduni merasa sehat badan dan tidak menderita gejala sakit apapun. Tapi tiba-tiba saja matanya melihat banyak bintang di tengah mendung. Sesuai Ilmu Laduni, itu adalah petanda ia akan menjemput ajal segera. Mbah Laduni pun cepat-cepat shalat dan tidur hingga akhirnya wafat langsung, dan kembali ke rahmatullah dalam kondisi tetap suci berwudlu'.
Beliau wafat di usia 57 tahun setelah 17 tahun mengabdi sebagai Kiai Jogo Rekso, yang menjaga pusaka Keraton Nyai Ratu Kalinyamat (dan diteruskan kepemimpinannya oleh putra angkat Aryo Kumolo alias Aryo Jepara). Sepeninggal Mbah Laduni, pusaka-pusaka tersebut dikubur (Jawa: diurug) di sebuah tempat yang dirahasiakan, atas nama keamanan.
Di lokasi makamnya sekarang, Mbah Laduni hanya dimakamkan bersama putra angkatnya, Kang Warsito, yang nisannya berada di Selatan makamnya persis (kecil dan bercungkup). Harusnya, makam Mbah Laduni yang berada di dalam ruangan bangunan tersebut terdiri atas sepasang nisan saja. Mungkin saat akan dibangun terdapat dua batu nisan, dibuatlah dua pasang nisan baru di makam tersebut. Harusnya sepasang nisan sepanjang1,9 meter saja, sesuai tinggi badan.
Orang yang tawassul ziarah ke makam beliau untuk mendapatkan harta dunia, sekali-kali dia tidak akan pernah berhasil. Sebaliknya, bila niatnya bertawassul agar sukses mendapatkan ilmu dan mendoakan anak cucunya sholeh-sholehah, sebagaimana diniatkan orangtua Mbah Joyo Rekso Laduni dulu, insyaAllah akan ikut didoakan oleh beliau. Wallahu a'lam. [dutaislam.com/ab]
Baca: Tumenggung Cendol, Serang Belanda dengan Petir ala Ki Ageng Selo
