Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara
Cari Berita

Advertisement

Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara

Duta Islam #01
Kamis, 16 Februari 2023
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
makam mbah amiruddin hamzah cikal bakal
Makam Mbah Amiruddin Hamzah, Potroyudan, Jepara. Foto: dutaislam.com.


Oleh M. Abdullah Badri


Dutaislam.com - Masyarakat Desa Potroyudan, Jepara Kota, mengenal Mbah Amir sebagai cikal bakal setempat. Ia adalah yang pertama kali mendiami lokasi tersebut saat masih berupa hutan perbukitan, sebelum orang lain menyusul dan beranak-pinak. 


Nama lengkapnya Amiruddin Hamzah Mukholil bin Argo Rekso, asal Madura, Jawa Timur. Sebagaimana Mbah Amir, istrinya: Sulasih binti Aryo Sagimin adalah seorang pendekar asal Gresik, Jawa Timur. Jadi, keduanya adalah pasutri pendekar. 


Baca: Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim


Tampilannya berwibawa, dengan pakaian lurik atau putih serta bercelana komprang hitam khas ala Madura. Berbadan tegap, tinggi, brewokan dan selalu mengenakan ikat kepala putih khas Madura juga. Saat berjalan, Mbah Amir terkesan waspada, laiknya Presiden Rusia Vladimir Putin, yang hanya menggerakkan tangan kanannya saja. Sebab, di tangan kirinya selalu ada celurit. 


Bagi orang Madura, celurit adalah simbol kewaspadaan karena pulaunya adalah pecahan dari Pulau Bali, yang secara tidak langsung seolah merasa tidak memiliki tanah air kelahiran sendiri. Celurit dibawa agar tambah percaya diri dan lebih waspada kepada liyan. 


Keempat putranya kembali ke tanah Madura semua. Tidak ada yang dimakamkan di Jepara. Mereka adalah: 

  1. Lengser,
  2. Rekso,
  3. Samiri, dan
  4. Jumali.


Alkisah, Mbah Amir muda dulunya adalah seorang pimpinan perampok dan dikenal sebagai warok. Pada umur 23 tahun, ia bertemu Kiai Hasan Hamid di Gresik, seorang ulama' dan kiai sakti yang mengajaknya tanding duel adu kadigdayan dengan akad: bila kalah, dia harus mengikuti ajaran kiai. Demikian sebaliknya. 


Walhasil, Amiruddin muda kalah gelut. Ia harus mengikuti apa kata kiai. Selama beberapa waktu, ia hidup bersama Kiai Hasan Hamid hingga pada umur 26 tahun, Amiruddin muda menikah dengan Sulasih, yang juga anak seorang bandar adu jago tobat dari Gresik pula. 


Setelah menikah, di umur 32 tahun, Kiai Hasan Hamid memerintahkan Amir muda berjalan ke arah Barat, berguru makrifat dan akhlak kepada Raden Ja'far Shadiq Sunan Kudus, agar tidak mudah marah. Baca: Mbah Jaka Samudra (Lelono), Wali Musafir Banten Pejuang Islam di Jepara


Di Kudus inilah Amir muda bertemu dengan sahabat barunya sesama santri Sunan Kudus, yakni Datuk Jokosari (Asy'ari), yang wafat di Gresik tapi petilasannya menjadi punden yang diziarahi dan di-haul-i orang se-Desa Ngabul, Tahunan, Jepara.


Istri Amir ikut nyantri juga ke Sunan Kudus, dan saat usianya 35 tahun, lahirlah anak laki-laki pertama. Dinamai Lengser karena anak pertamanya itu adalah simbol kelengseran (lunturnya) dosa-dosa masa lalu saat masih hidup di Madura, yang sering melakukan perbuatan ngecu atau ngecok (mencuri) dan lain-lainnya.   


Baca: Tumenggung Cendol, Serang Belanda dengan Petir ala Ki Ageng Selo


Saat Sunan Kudus ngaji, Mbah Amiruddin Hamzah diceritakan sering meninggalkan majelis. Kadang ditinggal menyapu, mencari tempat kencing (dan tidak kembali) dan bentuk-bentuk kesibukan menghindar lainnya. Datuk Jokosari selalu membela saat Mbah Amir dicari-cari oleh Sunan Kudus. 


Karena itulah, saat sudah boyong dari Kudus, Mbah Amir diajak seniornya, Mbah Datuk Jokosari, ikut berjuang dan bermukim di Jepara. Ia bersama istri dan anaknya, Lengser muda, ikut tinggal bersama di Potroyudan, yang kala itu masih gung liwang liwung tiada penduduk. 


Selama di Jepara, Mbah Amir dikenal sebagai pendekar yang berani hadapi para perampok. Konon, total ada 9 orang perampok yang dibunuhnya dengan cara penggal kepala dan dikenthulke (digantung), mirip seperti Datuk Jokosari muda saat perjalanan dari Cirebon. 


Mbah Amiruddin Hamzah dan Datuk Jokosari memang memiliki karakter yang sama, galak dan tegas kepada penjahat. Keduanya juga bertemu masa dengan Mbah Joko Samudro Lelono (Cumbring) dan Mbah Kamdowo (Tengguli, Bangsri). 


Di zaman Mbah Amir, Potroyudan adalah tempat penyimpanan banyak pusaka keraton era Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat berkuasa. Disinyalir, lokasinya masih di sekeliling Makam Mbah Amiruddin itu. 


Hanya 17 orang yang pernah nyantri ke Mbah Amiruddin. Di antaranya Rohman Anwar dan Abdul Kafi (yang menjadi ustadz bagi para santri, dan dulu murid dekat Datuk Jokosari Ngabul). Makam keduanya ada di sekitar makam Mbah Amir sekarang. Tapi nisan mereka sudah hilang termakan usia. 


Selama hidup, Mbah Amir menyukai sholawat Nariyah. Sholawat itulah yang populer dan diketahui mudah dihapal pada zamannya. Beliau wafat di usia 82 tahun pada malam Jumat Bulan Setugel (mungkin antara tanggal 5-10 hitungan qomariyah). 


Berkat taubatan nashuha, Allah Swt. menyayanginya, dan diangkatlah beliau sebagai waliyullah. Wallahu a'lam. Khusus untuk Mbah Amiruddin Hamzah Mukholil, al-Fatihah! [dutaislam.com].


Terjemah Hikam Athaillah

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB