![]() |
Makam Mbah Sholeh Anwar (Pesajen) di Desa Potroyudan, Jepara Kota. Foto: dutaislam.com. |
Oleh M. Abdullah Badri
Dutaislam.com - Tidak banyak orang yang mengetahui sejarah Kiai Sholeh yang makamnya, sebagaimana cerita banyak orang, tiba-tiba saja pindah ke depan makam Mbah Pakis Aji dan Mbah Ahmad Hasyim, Potroyudan, Jepara. Darimana asalnya?
Menurut Habib Luthfi bin Yahya, nama shohibul makam itu adalah Kiai Sholeh. Orang menyebut dan mendengarnya sebagai Sholeh Hajen (Kajen). Menurut penulis, yang sesuai adalah Sajen atau Pesajen, nama sebuah desa di Utara Desa Potroyudan, yang memang dekat dengan lautan, alias pesisir.
Baca: Mbah Daeng, Pasukan Sabrang Lor Kerajaan Demak
Akibat abarasi laut, makam itu tenggelam. Entah di tahun berapa makam itu wujud di lokasinya sekarang, belum ada yang memastikan langsung. Sejauh penelusuran penulis, Kiai Sholeh hidup di era pra-kemerdekaan, di zaman Indonesia bergerak, dimana banyak serdadu bertopi palu-arit sering kelihatan di jalanan.
Ia adalah anak tunggal yang lahir di Desa Binangun (dulu masuk wilayah Demak) dari pasangan Kiai Rozaq Anwar dan Nyi Suwarsih (dikenal Mbok Cempluk). Saat masih muda, Kiai Sholeh sempat belajar tarekat di Sunda kepada Buya Kiai Muhammad Hasyim Sanusi, seorang Mursyid Thariqah Syadziliyyah.
Menurutnya, tarekat adalah wasilah kepada Allah, Tuhan Sekalian Alam. Jangan menuhankan terekat. Karena itulah, sikap berhati-hati mencari guru harus dipegang. Jangan berguru kepada mereka yang mudah bersikap kasar. Carilah guru yang tutur katanya bisa menghaluskan hati seperti Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Jika bertemu guru seperti itu, lekas ajak sahabat-sahabat lain mengikutinya.
Petuah itulah yang sering disampaikan kepada tiga murid thariqahnya saat pindah ke Pesajen, Jepara. Yakni: Wahid, Kartolo dan Jengglong (yang terakhir ini asli penduduk Pesajen). Ketiganya sering mengajak Kiai Sholeh memancing. Mereka lebih suka dinasehati sambil mancing.
Baca: Mbah Amiruddin Hamzah, Cikal Bakal Desa Potroyudan Jepara
Kiai Sholeh sangat tidak menyukai murid thariqah yang menuhankan dirinya seolah paling dekat dengan Allah Swt., seperti pengalamannya dulu, yang memiliki sahabat sesama murid thariqah tapi keliru caranya (menuhankan diri).
Justru karena sikap kritis kepada pengamal thariqah yang keliru itulah, ia mendapatkan derajat tinggi dekat Allah: waliyullah. Adapun amalan yang sering diwirid Kiai Sholeh adalah Sholawat Jibril. Ia sangat menyukai sholawat itu, selain Sholawat Ummi tentunya.
Di zaman wafatnya, kelaparan terjadi dimana-mana. Orang sulit mendapatkan makanan pokok. Kiai Sholeh terpaksa mengonsumsi Telo Genderuwo (Singkong Racun), yang karena tidak mengetahui cara memasak dengan benar, ia mengalami sakit hingga kembali ila rahmatillah, syahid di usia 35 tahun dan belum beristri. Wallahu a'lam.
Untuk Kiai Sholeh Anwar Pesajen, al-Fatihah. [dutaislam.com/ab]
