Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim
Cari Berita

Advertisement

Kiai Pakisaji Potroyudan, Ulama Pejuang dan Guru Waliyullah Ahmad Hasyim

Duta Islam #01
Senin, 13 Februari 2023
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
makam kiai pakisaji potroyudan jepara
Makam Kiai Pakis Aji (cat kuning) dan muridnya Kiai Ahmad Hasyim. Foto: dutaislam.com.


Oleh M. Abdullah Badri


Dutaislam.com - Banyak makam di kompleks makam Pakisaji, yang terletak di Desa Potroyudan, Jepara. Namun hanya ada 3 nisan yang terdapat di inti makam tersebut. Orang sekitar menyebut, salah satunya adalah makam Mbah Pakisaji. Siapa dia? 


Selama ini banyak orang menyebut sosok yang dimakamkan di sana adalah seorang sayyid bermarga Al-Idrus. Sejauh penelusuran penulis, nama lahirnya adalah Hamid Jupri. Jupri bukanlah marga Arab dari kalangan sadat, tapi memang nama asli beliau, yang asli kelahiran Jepara meski memiliki darah keturunan Aceh, Sumatra.  


Dari istri bernama Retno Arum, Kiai Hamid Jupri dikaruniai empat orang anak kandung, yakni:


  1. Abdurrahman
  2. Latif Anwar
  3. Anwar Sasongko, dan
  4. (seorang waliyah yang dinikah suami seorang habib dan diboyong ke Malaka)


Kiai Hamid Jupri adalah seorang kiai dan ulama murid langsung KH. Ahmad Mutamakkin (Kajen, Pati) yang pernah mendirikan pondok pesantren dengan jumlah murid 30an orang laki-laki dan 60an perempuan. Di pesantren, mereka dididik ilmu syariat yang dominan fiqih. Dulunya, lokasi pesantren berada di daratan bawah sekitar makamnya sekarang. 


Santrinya banyak yang tidak mengenal nama lengkap putri bungsu Kiai Hamid Jupri. Secara adab, santri di masa itu dianggap tabu, bahkan disangsi hukuman bila berani menyebut nama ning (putri kiai) dengan vulgar. Sekat antara santri dan santriwati sangat tebal. Dulu, pacaran dengan demi'-demi'an (sentuhan) kelingking lewat gedhek (dinding bambu) saja sudah dianggap sebagai bentuk pacaran paling berhasil. 


Baca: Mbah Margo Tiyoso, Leluhur Desa Margoyoso, Jepara


Salah satu santri Mbah Pakisaji yang paling senior dan dikenal sebagai waliyullah adalah Ahmad Hasyim bin Abdul Manaf (asal Bugel, Kedung, Jepara). Perawakannya kekar, berwajah agak bulat dan bertubuh tidak tinggi. Meski tidak begitu mengenal, saat KH. Ahmad Mutamakkin (1645-1740 M.) datang ke pesantren Kiai Hamid Jupri untuk silaturrahim, Ahmad Hasyim sempat bersalaman tangan untuk menyambung sanad keilmuan. 


Sebagai santri ndalem, Ahmad Hasyim sering diajak bepergian oleh KH. Hamid Jupri. Saat naik haji misalnya, KH. Ahmad Hasyim diajak oleh Kiai Hamid Jupri. Agar lolos sebagai penumpang kapal ke Makkah dan Madinah, keduanya harus menyamar dan mengaku kepada pihak Belanda sebagai orang Jawa yang sedang berdagang (saudagar). Hampir 1,5 tahun mereka dalam perjalanan haji. Waktu habis untuk perjalanan pergi-pulang. 


Saat haji ke Makkah inilah KH. Ahmad Hasyim berkesempatan ta'lim (ngaji) ilmu tasawuf, Kitab Al-Hikam, hadits-hadits, dan berbaiat thariqah kepada seorang mursyid bernama Hamid Al-Ja'far An-Naqsyabandi, seorang ulama' pengamal thariqah dari Imam Bahauddin An-Naqsyabandi. Sementara itu, KH. Hamid Jupri memilih fokus melaksanakan ibadah haji. Ia tidak berbaiat thariqah, sebagaimana muridnya itu. 


Wirid paling disukai oleh Ahmad Hasyim adalah sholawat Ibrahimiyah. Shalawat itulah yang membuatnya dekat dengan Rasulullah Saw., dimana ia pernah ditemui Rasulullah Saw. dalam mimpi dan dahinya ditiupkan berkah hingga diangkatlah beliau sebagai waliyullah. Dari shalawat ini, Ahmad Hasyim bisa memahami bahwa makrifat adalah mengenal Allah Swt. secara kodrat


"Pandai-pandai lah mengenal hati sendiri. Kalau membaca kitab, banyak orang bisa menguasai. Bergaul lah yang benar (dengan sesama) dan rukun dengan banyak sahabat agar bisa berjuang meninggikan agama Islam".  Baca: Tumenggung Cendol, Serang Belanda dengan Petir ala Ki Ageng Selo.


Ahmad Hasyim menikah dengan Siti Mundhiroh, seorang syarifah (keturunan Rasulullah marga Al-Jufri) asal Aceh yang nyantri juga ke Kiai Hamid Jupri. Ahmad Hasyim dan Mundhiroh Al-Jufri dikaruniai seorang putra saja bernama Ahmad Yasir. Tapi sayang, istri dan putra Ahmad Yasir hijrah ke tanah air Aceh karena Belanda sangat represif terhadap komunitas pesantren. Syarifah Mundhiroh terpaksa kembali ke Aceh karena didesak oleh keluarganya, yang menganggap Jepara ketika itu sangat tidak aman. Lebih damai di Aceh tentunya. 


Saat-saat genting di pesantren inilah KH. Ahmad Hasyim sering menggantikan peran Kiai Hamid Jupri mengajar dan membimbing ngaji para santri. Karena itulah ia masih bertahan di Jepara, demi santri. Apalagi secara nasab, beliau dianggap tidak sekufu (setara) oleh keluarga istrinya di Aceh. Jepara jadi pilihan tempat berjuang hingga wafat di usia 90 tahun kurang seminggu (sesuai tanggal bulan) dan dimakamkan berdampingan pas dengan KH. Hamid Jupri. 


Dibunuh Belanda

Pesantren KH. Hamid Jupri sering diawasi oleh Belanda, yang dulu markas besarnya ada di daerah Kecamatan Pakisaji, Jepara, sekarang. Belanda tidak menyukai gerakan santri-santri yang dididik tentang fiqih jihad, sebagaimana ajaran yang diberikan KH. Hamid Jupri. Belanda sangat takut dengan pekik takbir para santri. 


Santri-santri KH. Hamid Jupri banyak yang melakukan gerakan perlawanan kepada Kompeni Belanda. Tertangkaplah mereka, dan dipenjara. Lokasi sel mereka ada di daerah Pakisaji. Sebagai guru, Kiai Hamid Jupri melobi pihak kompeni supaya muridnya dibebaskan dari penjara. 


Satu-satunya cara yang ditawarkan oleh Belanda agar santrinya bebas adalah dengan bekerjasama. Demi santrinya, KH. Hamid Jupri akhirnya menyanggupi. Untuk menunjukkan buktinya, ia terpaksa mau mengenakan seragam Kompeni Belanda dalam beberapa kesempatan. Gara-gara itu, ia bahkan dianggap kafir oleh orang pribumi kala itu. 


Baca: Mbah Jaka Samudra (Lelono), Wali Musafir Banten Pejuang Islam di Jepara


Lain waktu, dua santri lain dipenjara lagi. Kali ini tidak ada jalan lain kecuali Kiai Hamid Jupri sendiri lah yang harus menggantikan santrinya dipenjara juga. Santri keluar dari pengasingan Belanda di Pakisaji, tapi kiai menggantikannya sebagai tahahan tumbal.  


Saat di penjara Pakisaji inilah Kiai Hamid Jupri mendapatkan julukan sebagai "Kiai Pakisaji". Murid-muridnya lah yang pertama kali memanggil Kiai Hamid Jupri dengan sebutan Kiai Pakisaji (kiai yang mulang ngaji di Penjara Pakisaji). Di penjara ini, ia mengambil salah satu tahanan politik Belanda sebagai anak angkat. Namanya Rois Baihaqi, asal Trangkil, Pati, yang setelah keluar penjara, ia juga ikut nyantri di pesantren beliau di Potroyudan.  


Ia menjalani masa pengasingan di tahanan Pakisaji sebagai tumbal santrinya selama 1 tahun 17 hari. Pengasingan masih berlanjut 6 bulan lagi ke tempat yang lebih jauh di tanah Sunda sana, yakni di sel tahanan pengasingan Pakisaji, Lebak, Banten, markas Belanda di Jawa Barat saat itu. Lokasinya sama-sama disebut Pakisaji, baik yang di Jepara maupun di Sunda. 


Tapi, sebelum dipenjara ke Banten, KH. Hamid Jupri diberi kesempatan mengajar santrinya selama tiga bulan di pondok pesantren. (Entah kebijakan apa yang diterapkan Belanda ke Kiai Pakisaji kala itu, penulis tidak mengetahui lebih lanjut). Saat ini, Kiai Pakisaji baru mengetahui bila para santri ternyata banyak yang dibunuh Belanda. Ia kecewa berat. Kesepakatannya yang terpaksa mau ber-kompromi dengan Belanda hanyalah tipu muslihat. 


Bukan hanya itu, Kiai Pakisaji juga dibunuh oleh Belanda saat di penjara. Ia kembali ke pesantren dalam kondisi tak bernyawa. Betapa histerisnya para santri, yang mendapati kiainya bebas dari penjara dalam kondisi syahid. Rois Baihaqi dan Ahmad Hasyim yang ikut memikul keranda ke makam juga merasa sangat terpukul. 


Kiai Pakisaji syahid di usia 86 tahun. Setelah itu, pesantren dibubarkan oleh Belanda. Dan bekasnya tak tersisa. Kiai Pakisaji hanya satu dari sekian ulama pejuang yang gigih melawan Belanda, di Jepara. Setiap Senin Pahing Dzul Qa'dah, haul Mbah KH. Hamid Jupri Pakisaji diselenggarakan oleh warga setempat. 


Mohon kirim bacaan Surat Al-Fatihah dan Sholawat Ibrahimiyah untuk beliau dan seluruh murid laki-laki senior yang dimakamkan di kompleks makam beliau, termasuk Mbah Ahmad Hasyim dan Rois Baihaqi. [dutaislam.com/ab]



Terjemah Hikam Athaillah

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB