Meneladani Kiprah dan Perjuangan KH. Zainul Arifin Pohan
Cari Berita

Advertisement

Meneladani Kiprah dan Perjuangan KH. Zainul Arifin Pohan

Jumat, 09 Juli 2021
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
sejarah perjuangan pahlawan zainul arifin pohan
Foto KH. Zainul Arifin Pohan, Pahlawan Nasional.


Oleh Ahmad Ali Badawi


Dutaislam.com - "Perumpamaan kaum Muslimin didalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur" (Al-Hadits).


Persatuan dan kesatuan adalah kunci kesuksesan dalam mencapai suatu tujuan mulia. Semua manusia yang beragama apapun akan meyakini hal ini. Dalam sejarah telah disebutkan bahwa kaum Yahudi, Nasrani, bahkan kaum muslim, umatnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw sekalipun, juga mengalami perpecahan. 


Peristiwa tersebut sebenarnya memberikan pelajaran kepada kita agar supaya tidak bercerai-berai dan segera membentuk satu kesatuan yang kokoh meski dihadapkan segala macam bentuk masalah apapun kita akan senantiasa bersatu, meski dalam diri masing-masing kita kadang terdapat perbedaan-perbedaan. Namun perbedaan bukan berarti menjadikan kita tidak bisa bersatu, karena sejatinya perbedaan adalah rahmat bagi kita, selama kita mampu menjaga persatuan dan kesatuan. 


Baca: Dakwah Nasionalisme ala Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegaf


Keberhasilan bangsa ini dalam mencapai kemerdekaan tak lepas dari peran ulama atau kiai. Perjuangan para kiai berkaitan erat terhadap terwujudnya kemerdekaan bangsa ini, baik lewat perjuangan fisik maupun pemikiran. Nasionalisme bagi kiai adalah sebuah keharusan, karena dengan memperjuangkan kemerdekaan termasuk bagian dari penghapusan kerusakan-kerusakan yang ada di muka bumi ini. 


Pesantren merupakan bagian dari wahana bagi santri dalam menggali ilmu keagamaan, dan juga tempat bagi kiai dalam menumbuhkan dan mencerdaskan anak bangsa. Dalam hal ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat efekti, meski terkadang dianggap kurang inovatif, namun secara substantif senantiasa diajarkan tentang pendidikan karakter atau akhlak al-karimah. 


Hal inilah yang selalu ditekankan dalam setiap pesantren, karena dengan bekal ilmu agama dan akhlak al-karimah inilah kita tidak boleh melupakan jasa-jasa guru kita yang telah gugur dalam memperjuangkan bangsa ini. 


Oleh karenanya, peran dan pemikiran para kiai kita tidak dilupakan begitu saja. Jangan hanya dijadikan sebagai sejarah dan kenangan saja, namun kita sebagai generasi penerus bangsa harus mampu mengambil pelajaran dari guru-guru kita yang berjuang bersama-sama dengan kaum bangsawan dan lainnya guna mendirikan suatu bangsa yang bernama Indonesia. 

 

Diantara tokoh yang bergerak memperjuangkan kemerdekaan dan menumbuhkan nilai-nilai patriotisme salah satunya kaum sarungan adalah KH. Zainul Arifin Pohan. Beliau merupakan seorang bangsawan kerajaan Barus yang menganut Ahlussunnah wal Jama'ah bermadzhab Syafi’iyah, dimana Aswaja Syafi'iyah di daerah tersebut pada saat itu mendapat gempuran keras dari Wahabi-Paderi. 


Akan tetapi Aswaja Syafi'iyah di sana masih kuat, sehingga ketika NU berdiri, banyak dari kalangan ulama di daerah tersebut yang menjadi pendukung NU. NU sebagai organisasi yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari yang mempunyai pengaruh besar di kalangan ulama Nusantara, disitu juga ada KH. Wahab Chasbullah sebagai seorang pejuang militan. 


KH. Zainul Arifin Pohan selalu berkiprah dalam acara-acara besar seperti dalam muktamar NU di Menes Banten tahun 1938. Beliau selalu menjadi pimpinan sidang yang terkenal ulet dan piawai dalam mengatasi keruwetan yang terjadi dalam sidang tersebut. 


Di saat tokoh-tokoh besar NU seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan KH. Ilyas telah wafat, muncul KH. Zainul Arifin Pohan dengan kemampuan yang sangat cemerlang, terutama ketika sepeninggal KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah sering kali menyerahkan urusannya kepada beliau. 


Di samping sebagai seorang tokoh yang memiliki kapasitas intelektual dan kaulamaan, beliau juga memiliki kemampuan kemiliteran yang mana pada waktu itu beliau menjabat sebagai panglima tertinggi pasukan Hizbullah yang telah dibentuknya sendiri dikala derap revolusi menghampirinya.


Baca: Cara Pesantren Mencintai Indonesia dengan Nasionalismenya


Sejak masa awal sidang konstituante hingga masa dekrit presiden, kabinet A-A bersama dengan KH. Saifudin Zuhri, ia menjadi penjaga gawang dalam menyelamatkan aspirasi umat Islam. Dengan segala jaminan dan kepastian yang diberikan oleh presiden Soekarno, NU menyetujui dekrit tersebut terutama kembali kepada UUD 1945. 


Dekrit itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjadi perjuangan umat Islam saat itu tetap menjiwai UUD 1945. KH. Zainul Arifin Pohan dengan latar belakang keislaman atau kemiliteran selama masa demokrasi terpimpin sebagai seorang tokoh NU, beliau mampu mengimbangi kekuatan politik PKI maupun militer yang sedang bersaing pada saat itu. NU juga mampu mengimbangi kekuatan lobi PKI maupun militer yang saling berebut untuk bisa mempengaruhi politik Bung Karno berkat kepiawaian KH. Zainul Arifin Pohan dan KH. Wahab Chasbullah. 


Tekad KH. Zainul Arifin Pohan sangat kuat, karena beliau adalah komandan Hizbullah yang dijadikan sasaran oleh pasukan kelompok Islam garis keras. Hal ini juga pernah dialami oleh kakek beliau yang juga menjadi korban kekerasan kelompok Islam garis keras. Dan hal ini membuktikan bahwa tekad beliau menjadi kenyataan ketika sedang melaksanakan shalat Idul Adha bersama Bung Karno. 


Dalam peristiwa tersebut, beliau ditembak oleh sekelompok Islam garis keras di depan Istana Negara. Namun perlu dicatat, kontribusi dan perjuangan beliau tidak akan pernah dilupakan oleh bangsa ini yang telah menjaga dan mengawal kesatuan negeri. Perjuangan beliau sejak masa revolusi hingga menjelang proklamasi serta pada saat pembentukan negeri ini, telah menjadi momentum penting bagi bangsa ini sekaligus memiliki makna yang besar.


KH. Zainul Arifin Pohan termasuk seorang tokoh yang berpolitik bedasarkan idealisme. Kesadaran sejarah dirasa sangat penting untuk senantiasa dikenang sekaligus menjadi pelajaran yang patut dicontoh bagi generasi penerus bangsa, karena kesadaran sejarah merupakan prinsip-prinsip perjuangan. 


Melalui jabatan sebagai komandan Hizbullah, KH. Zainul Arifin Pohan termasuk tokoh yang membesarkan organisasi NU terutama dalam pembentukan NU di berbagai daerah yang sejalan dengan pembentukan bangsa ini. Perjuangan beliau tidak hanya di kancah jam'iyyah NU melainkan juga dalam pemerintahan, dimana beliau pernah memegang jabatan Wakil Perdana Mentri, Anggota Konstituante, dan juga ketua DPRGR. 


Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah eksponen bangsa yang peran-peranya tidak bisa diabaiakn begitu saja. Karakter ketokohan beliau yang disambung dengan komitmen kebangsaan yang tidak mengenal pasrah ini menjadi bukti perjuangan beliau melalui politik dan kebangsaan. 


Ini menujukkan pula bahwa berpolitik sebagai sarana perjuangan kala itu merupakan sebuah kepahlawanan. Sehingga rakyat mempercayai itu karena mereka juga membuktikannya dengan tetap mempertahankan moralitas dalam berpolitik. Dan jika kita bandingkan pada masa sekarang ini, kondisinya berbalik arah, meskipun tidak semuanya namun itulah yang terjadi secara umum, baik dalam berpolitik, berekonomi, dan berpendidikan. 


Bahkan dalam beragama sekalipun kita juga bisa saja kehilangan nilai-nilai moralitas. Sehingga kita lebih mementingkan legal formalnya akan tetapi meninggalkan etika tasawufnya. Ini semua menyebabkan gerakan sosial politik kita tumpul dan tidak mendapatkan respon serta dukungan dari masyarakat.

 

KH. Zainul Arifin Pohan meretas karir politik di organisasi Islam tradisionalis yaitu NU, melalui jalur yang tidak lazim. Keturunan raja suku Pesisi kelahiran Barus, Tapanuli Tengah ini tanpa didukung latar belakang tradisi pendidikan "pesantren Jawa" tidak lama setelah bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor, langsung memasuki organisasi inti Ansor NU, dan menjadi tokoh politisi andalan ormas Islam tersebut. 


Di saat menjalani masa-masa pendidikan dasar dan menengahnya di Kerinci itu, Zainul Arifin kecil tumbuh dan berkembang dengan wawasan kebahasaan dan adat-istiadat yang mempersiapkannya menjadi tokoh "nasionalis" sekaligus "agamis". 


Pendidikan agama yang dijalani Zainul selama di Sumatera Tengah berdasarkan sistem "pesantren Sumatera" dimana ia mendapat bimbingan mengaji dan dasar-dasar agama di madrasah sore hari sepulang sekolah ataupun ketika ia menerima pelatihan seni bela diri pencak silat di surau, sebagaimana tradisi yang diterapkan bagi anak-anak (lelaki) di Sumatera pada umumnya. 


Baca: Melacak Tradisi Nasionalisme Asia Tenggara, Membangun Madrasah dan Defensifitas Salafiyah


Oleh karena itu, kita harus senantiasa menjaga madrasah kita yang kelak akan menjadi wadah bagi para generasi penerus bangsa dalam mengarungi pendidikan keagamaan dan menekankan pada pendidikan karakter atau akhlak al-karimah, dan hal ini sangatlah tepat. Jika dalam mengatasi problem pendidikan karakter atau untuk memperbaiki moralitas generasi muda bangsa, kita bisa belajar dari peran seorang bangsawan sekaligus kiai yang tumbuh besar dan berkembang lewat dunia pesantren atau madrasah; KH. Zainul Arifin Pohan. 


Pendalaman pengetahuan Islamnya kemudian akan mendapat lebih banyak peningkatan lagi setelah menetap di Jakarta, ketika memasuki Gerakan Pemuda (GP) Ansor, organisasi kepemudaan di bawah NU yang aktif merekrut dan melatih pemuda-pemuda untuk menjadi juru dakwah. 


Sementara itu, dari segi kebudayaan, Zainul sangat mencintai kegiatan tersebut, hal ini bisa dilihat dari pengalaman pada masa remajanya ketika mengikuti kegiatan kesenian sandiwara musikal tradisional Melayu, Stambul Bangsawan, sejenis "Abdul Muluk" yang hingga kini masih terdapat sisa-sisa peninggalannya di wilayah Sumatera Selatan. 


Kecintaan pada dunia seni dan budaya bisa dibuktikan dengan seringkali beliau tampil sebagai pemain biola sekaligus pemeran penyanyi. Dari kegiatan seni dan kebudayaan ini, Zainul mengakrabi pula musik dan lagu-lagu Minangkabau. Khusus mengenai kecintaannya akan lagu-lagu Minangkabau tergambar hingga beberapa hari sebelum beliau wafat dimana ia menyanyikan lagu daerah Minang, "Lah Laruik Sanjo" di atas pembaringannya, di rumah sakit.


Seni dan budaya merupakan sesuatu yang melekat atau berkaitan dengan suatu daerah, kesenian dan kebudayaan dipandang oleh para punggawa Islam di Jawa seperti Walisongo ini dianggap sesuatu yang sangat menarik. Dengan membawa misi dakwah Islam, Walisongo tidak lantas mengubah budaya dan tradisi yang telah lama ada, akan tetapi mencoba untuk melebur pada budaya tersebut sembari menyelipkan dakwah Islamiyahnya dengan demikian masyarakat akan dengan mudah menerima dakwah tersebut. Dengan memperkuat seni dan budaya ini, kita mampu menepis paham-paham radikal yang sedang marak dimasyaraat kita.

 

KH. Zainul Arifin Pohan juga didorong oleh ayah mertuanya yaitu Abdurrahim untuk bergabung dengan organisasi GP Ansor, organisasi pemuda di bawah payung organisasi NU. Di samping sudah memiliki istri Hamdanah beliau juga memiliki istri yang bernama Nasroh ketika beliau mulai aktif berdakwah sebagai kiai NU.


Abdurrahim, ayahanda Hamdanah bukan saja menyabarkan anaknya dengan mengatakan bahwa Zainul melakukan itu semua karena tujuan memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW, namun ia juga menanamkan agar sebagai istri pertama, Hamdanah senantiasa bersikap adil terhadap istri yang lain, meski akhirnya kemudian Nasroh diceraikan oleh Zainul.


Pendidikan agama adalah pondasi bagi anak-anak bangsa, dengan pondasi agamanya yang kuat inilah, seorang anak tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang kadang menggiurkan namun pada kenyataanya menyesatkan, seperti yang terjadi pada golongan ISIS ataupun kelompok Islam Radikal. 


Mereka yang ikut dalam kelompok tersebut sudah bisa dipastikan pondasi agamanya kurang, sehingga ketika diminta untuk melakukan bom bunuh diri dengan iming-iming Syahid dan jaminan surga mereka akan percaya, karena dianggap jihad memerangi orang-orang kafir. Begitupun yang ditekankan mertua KH. Zainul Arifin Pohan, yaitu Abdurrahim.


Oleh karenanya, jika kita mampu memperkaya khazanah keilmuan keagamaan dan kebangsaan kita tidak bersikap keras, dan bahkan lebih condong pada sikap moderat, karena disamping agama tidak mengajarkan hal tersebut sekaligus kita harus sadar bahwa kita berada di negara yang beraneka ragam yang memberikan pelajaran bagi untuk hidup berdampingan bersama tanpa memandang suku, ras, bahasa dan keturunan.


Selaku Majelis Konsul Batavia, KH. Zainul Arifin Pohan tampak diandalkan dalam memberi masukan dan pertimbangan politik mutakhir. Dan situasi politik di Batavia sendiri sejak diberlakukannya staat vanoorlog en van beleg, bukan saja rapat-rapat diawasi dengan ketat melainkan gerak-gerik orang-orang politik juga senantiasa diawasi.


KH. Zainul Arifin Pohan berjuang secara fisik dan politik selama periode pendudukan Jepang hingga Proklamasi Kemerdekaan dengan terlibat dalam organisasi Masyumi, pelatihan ulama, pembentukan tonarigumi, serta pendirian dan pengelolaan laskar rakyat islami semi militer Hizbullah. 


Setelah resmi mendirikan pemerintahan militer (Guisenka) di Batavia yang segera diganti menjadi Jakarta pada 8 maret 1942, Jepang membekukan semua organisasi di Nusantara kecuali MIAI yang dibiarkan hingga Oktober 1943, saat didirikannya Masyumi sebagai gantinya.


Selanjutnya zaman pendudukan Jepang juga bermula dengan perubahan-perubahan yang menarik simpati rakyat. Dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah dibuka secara umum untuk semua lapisan bukan lagi untuk anak-anak kaum bangsawan seperti pada zaman Belanda sebelumnya. Hal ini dilakukan Jepang untuk menhilangkan kesenjangan sosial di masyarakat hingga membangkitkan rasa kebersamaan. 


Baca: Sejarah Konstribusi Pesantren dan Kiai Untuk NKRI


Bahasa Indonesia pun dijadikan sebagai bahasa resmi dan pelatihan-pelatihan militer membangkitkan kedisiplinan yang bermuara pada pembentukan karakter kebangsaan yang lebih tinggi. Jabatan-jabatan pemerintah juga sudah mulai diberikan kepada orang-orang Indonesia.


Siasat Jepang tidak berhenti begitu saja, akan tetapi Jepang mencoba memberikan perhatian khusus terhadap orang-orang Islam dan berharap dapat memanfaatkan guru-guru agama (ulama) untuk melakukan indoktrinitas politik kepada penduduk pribumi. Namun usahanya terhenti oleh NU, yang awalnya sempat terjadi insiden yang menegangkan, dimana KH. Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa penghormatan terhadap kaisar Jepang atau Tenno yang diyakini sebagai Dewa Matahari itu termasuk perbuatan musyrik yang hukumnya haram, sehingga mengakibatkan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq dijebloskan ke dalam penjara.


Sementra itu KH. Zainul Arifin Pohan yang berada di Jakarta segera mengkoordinasikan rapat para pemimpin cabang di Jakarta untuk melakukan antisipasi dan mengupayakan pembebasan kedua ulama besar tersebut. Rapat memutuskan dan menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai ketua PB menggantikan KH. Mahfudz Shiddiq, sedangkan KH. Hasyim Asy’ari tetap sebagai Ra’is Akbar. 


Kemudian Jepang mulai berubah dan mengakui bahwa kekuatan nasionalis masih kalah dengan kekuatan Islam sebagai penggerak rakyat yang ada di pedesaan, sehingga KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq dibebaskan.


Imam Ghazali pernah berkata: sesuatu yang menjadi kebutuhan umat manusia adalah hukumnya Fardhu Kifayah, seperti: pertanian, peternakan, perindustrian, kedokteran, politik (siasat), dan lain sebagainya. Bahkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa berpolitik itu hukumnya fardlu ain. 


Maka dari itu kita sebagai santri Nusantara harus belajar politik, namun politiknya harus ala santri seperti yang dicontohkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam menghadapi Jepang, KH. Wahab Chasbullah dalam menggagalkan penggusuran makam Kanjeng Nabi oleh ulama-ulama Wahabi, dan banyak ulama yang lain yang telah mengajarkan kita tentang ilmu politik yang berujung pada kemaslahatan umat, masyarakat bangsa dan negara, yang semuanya dilakukan dengan niatan perjuangan bukan menjadikannya sebuah profesi atau pekerjaan. 


Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Juz 2 hlm. 238 berkata: "Tidaklah terjadi kerusakan rakyat kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama".


Ketua PBNU KH. Wahab Hasbullah memanggil konsul-konsul NU untuk melakukan konsolidasi dalam mengantisipasi perang kemerdekaan. Sekitar 200 tokoh Jawa dan Madura di bawah komando KH. Zainul Arifin selaku Panglima Tertinggi, mendapat tambahan siraman rohani dari para kiai berupa amalan-amalan doa Hizbur Rifa'i dan Sholawat Kamilah. 


Kalau di Cibarusah semangat Bushido Jepang yang ditekankan, maka di Jombang tokoh-tokoh Hizbullah dibekali tambahan "gerakan rohani" berupa teknik-teknik penyaluran tenaga dalam, unsur-unsur gerakan pencak silat dan sugesti dzikir.


Pada tanggal 22 Oktober 1945 berlangsung rapat PBNU lengkap yang mengeluarkan resolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari dimana diwajibkan atas setiap orang Islam untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan dan pemerintahan yang sah. Resolusi ini dikeluarkan menyikapi situasi genting di Surabaya akibat insiden "Hotel Yamamoto" pada tanggal 19 september 1945. 


Resolusi dialamatkan kepada Presiden RI, Panglima TRI, dan Markas Tinggi Hizbullah dan Sabilillah. Sabilillah didirikan berkaitan langsung dengan seruan KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa perang menghadapi sekutu sebagai perang sabil tersebut. Istilah perang sabil di zaman Jepang pernah didesakkan oleh pemerintah pendudukan untuk difatwakan dalam menghadapi Perang Asia Timur Raya, namun hal ini ditolak karena pemuka-pemuka Islam beranggapan bahwa perang untuk kepentingan Jepang yang kafir bukanlah perang untuk kepentingan agama.


Keluarnya NU dari Masyumi mengubah peta kekuatan politik di DPRS, PNI menjadi partai mayoritas di dalamnya. Sesudahnya NU mengusulkan perubahan bentuk organisasi ke bentuk federasi terhada Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) namun ditolak. NU kemudian berusaha mengajak Masyumi, PSII (yang sudah lebih dulu keluar dari Masyumi), PERTI partai baru yang didirikan oleh ulama-ulama Sumatera Barat), DDI (Darul Dakwah al-Irsyad) berbasis di Sulawesi Selatan, untuk mendirikan sebuah federasi baru, Liga Muslimin Indonesia. Dalam hal ini hanya Masyumi yang menolak untuk bergabung. 


Upaya-upaya yang dilakukan NU untuk membendung gerakan PKI, menurut saya sepaham apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Musa AS saat megahadapi kaum Bani Israil yang berada di bawah kekuasaan Raja Firaun, kaum itu disebut dengan kaum Qibthi dimana kaum tersebut merupakan sekumpulan kaum yang sangat ahli dibidang magic (sihir), dan mereka telah mengubah tongkatnya menjadi ular guna menakut-nakuti Nabi Musa AS dan memerintahkannya untuk menyembah Raja Firaun. 


Akan tetapi Nabi Musa dengan membawa risalah dari Tuhan untuk menyeru umat Bani Israil, lantara Mukjizat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa AS seakan-akan Nabi Musa juga mempunyai ilmu sihir, pada kenyataanya tidak, karena hal itu pada hakikatnya yang memerintahkan adalah Allah untuk melemparkan tongkat yang dipegang oleh Nabi Musa sehingga tongkat tersebut menjadi ular besar yang telah memakan ular-ular dari sihiran kaumnya Fir’aun. Hal ini diperintahkan oleh Allah agar mampu menyaingi kaumnya Raja Firaun.


Hampir genap dua tahun menjabat sebagai Ketua DPRGR, terjadilah peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden pada 14 Mei 1962 saat dilaksanakannya shalat Idul Adha 1381 H yang berlangsung hanya seminggu setelah berakhirnya Kabinet Kerja II dan beralih ke Kabinet Kerja III. Menteri Pertahanan yang baru dinaikkan pangkatnya menjadi Jendral A.H. Nasution betindak sebagai Khatib, sedangkan Imam shalat adalah KH. Idham Chalid yang sudah mengetuai PBNU selama 5 tahun, sementara Saifuddin Zuhri baru 12 hari dilantik sebagai Menteri Agama.


Kantor Berita Antara menggambarkan ciri-ciri penembak sebagai lelaki berusia 35 tahun berkemeja putih dengan jas warna coklat muda dan berkain sarung coklat tua. Dia merupakan salah satu dari sembilan orang yang ditugasi membunuh Presiden oleh Kartosuwiryo. Selain KH. Zainul Arifin yang menjadi korban, yaitu: KH. Idham Chalid (Ketua PBNU), Drajat (Pembantu Inspektur II, pengawal pribadi Presiden) dan Muhammad Nur (Pegawai Istana). 


Sementara itu, tim medis istana kemudian membawa tubuh KH. Zainul Arifin Pohan yang bersimbah darah ke dapur istana, sebelum dibawa ke Rumah Sakit, dimana beliau diletakkan diatas meja panjang, dan sempat ditanya oleh seorang  Wakil Menteri pertama dan juga seorang dokter sekaligus sahabat karib beliau, yaitu Dr. Johannes Leimena, hingga akhirnya dibawa ke rumah sakit. Setelah 3 bulan terbaring di rumah sakit hingga beliau menemui ajalnya. 


Baca: Menguatkan Nasionalisme Kaum Sarungan Nusantara

          

Sampailah pada sebuah kesimpulan, bahwa seorang tokoh pahlawan bernama KH. Zainul Arifin Pohan merupakan pahlawan bangsa yang senantiasa berada di barisan terdepan dalam situasi dan kondisi apapun. Beliau merupakan pelobi ulung yang berperan sangat penting dalam mengimbangi serangan PKI di tubuh militer. Beliau berkiprah di kejam'iyahan dan kebangsaan. 


Di samping sebagai seorang Panglima Komandan Hizbullah, beliau juga menjabat sebagi Wakil Perdana Menteri dan sekaligus ketua DPRGR. Dengan ini beliau membangun sebuah politik yang berlandaskan sebuah perjuangan bukan semata-mata haus akan kekuasaan. Meski dari kalangan bangsawan, beliau juga tak segan hidup bersama membaur dengan golongan masyarakat akar rumput. 


Hal ini, karena beliau terlahir sebuah lingkungan yang tradisional, sehingga sangat sulit meninggalkan hal-hal yang bersifat tradisional seperti halnya ormas yang sejak awal beliau geluti. Beliau merupakan satu-satunya warga NU yang pertama kalinya menduduki jabatan tertingginya di pemerintahan. 


Dalam menghadapai ancaman bagi bangsa ini, beliau selalu mengawal pergerakan PKI dan beberapa lawan-lawan yang ada di pemerintahan. Hingga pada ujungnya beliau menemani Presiden Soekarno dalam pertemuan terakhir, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, beberapa pemberontak mencoba masuk pada barisan shaff yang berada di depan istana negara yang merencanakan untuk membunuh Soekarno. 


Namun usah mereka meleset hingga mengenai beliau KH. Zainul Arifin dan sempat dirawat di rumah sakit hingga pada akhirnya KH. Zainul Arifin Pohan memenuhi panggilan Allah SWT seraya beliau berkata sebelum wafat "Laa haula wal quwwata illa billahi al-adzim". [dutaislam.com/ab]


Ahmad Ali Badawi, mahasiswa UIN Walisongo Semarang


Keterangan: 

Naskah ini pernah dikirimkan penulis ke Panitia Hari Santri 2017 dalam Lomba Esai Nasional bertema Hari Santri dan Nasionalisme. Judul asal: Saat Kiai Menjadi Panglima Perang. Sempat dimuat oleh website Harisantri.com (sudah off).  


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB