37 Macam Penyebutan Nama Ulama' dan Jenis Qaul Ulama' dalam Istilah Kitab Kuning
Cari Berita

Advertisement

37 Macam Penyebutan Nama Ulama' dan Jenis Qaul Ulama' dalam Istilah Kitab Kuning

Selasa, 17 Desember 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
istilah dan penyebutan nama ulama di kitab kuning
Pengertian istilah-istilah fiqih dan lainnya dalam kitab kuning pesantren. Foto: istimewa.

Dutaislam.com - Tidak gampang untuk menjadi ulama. Selain memahami teks-teks yang tertulis dalam turost ulama klasik, mereka juga harus paham betul istilah-istilah yang tersebar dalam dan di tengah-tengah teks fiqih, kitab hadits, tajwid, tasawwuf dan lainnya. Berikut ini ada 37 istilah yang populer di kalangan ulama ahli fiqih (utamanya) dan ulama di bidang lainnya.

1. Al-Imam (الامام) bila didapati dalam kitab fiqh Madzhab Syafi'i, maka yang dimaksud adalah Imam Haramain (Dliya’uddin Abdul Malik Ibn al-Imam Abi Muhammad Al-Juwaini, wafat tahun 478). Bila kata Al-Imam didapati dalam kitab-kitab Tajwid, maka yang dimaksud adalah Sayyidina Utsman bin Affan.

Bila didapati dalam kitab-kitab kalangan Syiah, maka yang dimaksud adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. Bila dalam kitab-kitab fiqh terdapat kata Al-A'immah al-Arba’ah (empat orang imam), maka yang dimaksud adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Bila dalam kitab-kitab Tajwid terdapat kata al-A'immah as-Sab’ah, maka yang dimaksud ialah Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, al-Ashim, Hamzah, Aly Kisa'i.

Bila ditulis dalam kitab Hadits:

  • Al-A'immah as-Sab’ah; yang dimaksud ialah Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
  • Al-A'immah as-Sittah; yaitu Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
  • Al-A'immah al-Khamsah; yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, Ibnu Majah.
  • Al-A'immah al-Arba’ah; yakni Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
  • Al-A'imah ats-Tsalatsah; yaitu Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa'i.
  • As-Syaikhani; (al-Muttafaq Alaih); yakni Imam Bukhari dan Muslim.

Kesimpulannya, istilah Al-Imam dapat diartikan secara luas tergantung bidang studi dan bab-bab tertentu.

2. Hujjatul Islam (حجة الاسلام) bila didapati dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H).

3. As-Syaikhani (الشيخان) bila didapati dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Ar-Rafi’i dan an-Nawawi (Nama lengkap Ar-Rafi’i adalah Abu al-Qasim Abdul Karim al-Quzwaini, wafat tahun 623/624 H, nasabnya sampai kepada Rafi’ bin Khadij As-Shahabi r.a. Sedangkan an-Nawawi bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarf al-Hizami, wafat tahun 606 H).

4. Syaikh al-Islam (شيخ الاسلام). Bila ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh, maka yang dimaksud adalah Abu Zakaria al-Anshari.

5. As-Syaikh (الشيخ). Bila ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi, wafat tahun 472 H. di Baghdad.

(Ket: Bila kata-kata as-Syaikh ditemukan dalam kitab-kitab Balaghah, maka yang dimaksud ialah Syaikh Yusuf As-Sakaki).

6. Syaikhuna (شيخنا). Bila ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, terutama kitab-kitab yang mengupas hasil karya Ibnu Hajar al-Haitami, maka yang dimaksud ialah Ibnu Hajar Al-Haitami.

7. Al-Qadli (القاضي). Bila ditemui dalam kitab-kitab Ulama Mukta'akhirin Khurasan, seperti dalam kitab An-Nihayah, At-Tatimmah, At-Tahdzib, dan kitab-kitab hasil karya Imam Al-Ghazali, maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Husain bin Muhammad Al-Maruzi (w. 462 H). Bila ditemukan dalam kitab-kitab Ulama Mutawassith tanah Irak, maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Abu Hamid Al-Marwazi.

Bila lafadz al-Qadli didapati dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, maka yang dimaksud ialah al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Bila didapati dalam kitab-kitab Mu’tazilah, maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Abu Ali Al-Juba'i. (Keterangan dari kitab Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat karya Imam Nawawi).

8. Al-Faqih (الفقيه). Bila terdapat dalam kitab-kitab fiqh Syafi'iyyah, maka yang dimaksud adalah Ibnu Rif’ah.

9. As-Syarhani (الشرحان). Bila dijumpai dalam kitab fiqh madzhab Syafi'i, maka yang dimaksud ialah Syarh al-Kabir dan Syarh as Shoghir karya Imam Ar-Rafi’i. Kedua kitab tersebut merupakan penjabaran dari kitab Al-Wajiz karya al-Ghazali.

Bila dijumpai kata-kata Syarh al-Kabir atau Syarh as-Shaghir, maka yang dimaksud adalah Syarh Al-Kabir dan As-Shaghir milik Ar-Rafi’i tersebut di atas. Tapi bila yang disebut hanya kata-kata Syarh, maka yang dimaksud ialah Syarh al-Kabir saja.

10. Al-Mukhtashar (المختصر). Bila disebut dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah kitab Al-Mukhtashar karya Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani al-Mishri (w. 264 H.), salah seorang murid utama Imam Syafi'i.

11. Al-Ashah (الأصح). Bila diutarakan dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud ialah Qaul (pendapat) yang sangat kuat. Baik dipandang dari segi dalil maupun jami’nya (perpaduan antara dalil asal dan dalil cabang) dalam satu hukum atau salah satu di antara dua hukum; baik berasal dari dua pendapat atau lebih, atau berasal dari dua sudut pandang (wajh) atau lebih.

(Ket: Imam al-Ghazali mengistilahkan al-Ashah dengan redaksi Aqyas al-Wajhain [paling memenuhi standar qiyas diantara dua pendapat], karena al-Ashah lebih sesuai dengan dalil asal madzhab).

12. As-Shahih (الصحيح). Yakni qaul atau pendapat yang shahih dalilnya maupun jami’nya, atau salah satu diantara keduanya lebih unggul daripada yang lain. Baik itu berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih. Qaul Shahih merupakan bandingan atau antitesa dari Qaul Ashah).

13. Al-Fasid (الفاسد). Yakni qaul atau pendapat yang tidak dapat dijadikan pijakan hukum, karena dalilnya lemah atau jami'nya salah. Qaul Fasid merupakan bandingan atau antitesa dari Qaul Shahih.

14. Al-Adhhar (الأظهر). Yakni Qaul yang sangat jelas dalil asalnya dan argumen penopangnya, atau salah satu diantara keduanya. Baik qaul tersebut berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih.

(Ket: Qaul Adhhar dan Qaul Ashah terkadang memiliki kemiripan makna dan saling mendukung satu sama lain [tadakhul], karena maknanya memang hampir sama, seperti yang biasa tertulis dalam redaksi kitab-kitab ulama klasik).

15. Ad-Dhahir (الظاهر). Yaitu qaul yang jelas dalilnya dan alasannya, atau salah satu di antara keduanya, tapi tidak sejelas Qaul Adhhar. Baik qaul tersebut berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih. Qaul Dhahir merupakan antitesa dari Qaul Adhhar.

Catatan. Menempatkan Qaul Dhahir pada kedudukan Qaul Shahih atau sebaliknya, termasuk pelecehan, walaupun makna keduanya hampir sama. Sedangkan menempatkan Qaul Dhahir dan Qaul Shahih di tempat Qaul Adhhar dan Qaul Ashah termasuk kesalahan.

16. Al-Khafi (الخفي). Qaul yang samar dalilnya dan argumennya, atau salah satu diantara keduanya. Qaul Khafi merupakan bandingan dari Qaul Dhahir).

17. Al-Qaulani atau al-Aqwal (القولان او الأقوال) Bila tertera dalam kitab-kitab karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, maka yang dimaksud adalah dua qaul atau beberapa qaul (aqwal) Imam Syafi’i, r.a.

18. Al-Wajhani atau al-Wujuh (الوجهان او الوجوه). Bila disebutkan al-Wajhani atau al-Wujuh, maka yang dimaksud ialah qaul-qaul dari murid-murid Imam Syafi’i.

19. Al-Madzhab (المذهب). Dalam kitab-kitab fiqh biasanya tertera kata-kata al-Madzhab Kadza (المذهب كذا) atau Annahu al-Madzhab (أنه المذهب) dan yang searti. Maksudnya ialah, pendapat yang unggul diantara dua pendapat atau diantara beberapa pendapat. Kasus ini bisa terjadi karena terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’ Syafi’iyah tentang periwayatan qaul madzhab. Misalnya ada dua pendapat (qaulani) atau dua sudut pandang (wajhani) dalam satu persoalan, dimana yang diambil oleh sebagian ulama adalah salah satunya saja. Maka salah satu qaul yang diambil itu dinamakan al-Madzhab.

20. An-Nash (النص). Bila lafadz ini disebutkan secara khusus, maka yang dimaksud ialah Nash Imam Syafi’i R.A. Lawannya ialah Wajhan Dla’ifan (وجها ضعيفا) atau Qaulan Mukharrajan (قولا مخرجا), yakni pendapat yang lemah atau qaul yang perlu penjelasan dari nash Imam Syafi’i, sebagai contoh dari masalah-masalah yang tidak bisa diamalkan (digunakan).

21. Al-Aqyas (الأقيس). Yaitu qaul yang kuat proses qiyasnya, baik dipandang dari segi dalilnya maupun jami’nya, atau salah satu diantara keduanya, baik berasal dari dua qaul atau lebih, dua sudut pandang atau lebih.

(Ket: Qaul al-Aqyas terkadang menduduki kedudukan al-Adhhar, bila dua sudut pandangnya atau dua argumennya hampir sama (mirip). Terkadang pula al-aqyas digunakan untuk aqyas bi salam as-Syafi’i R. A. atau Masail al-Bab).

22. Al-Asybah (الأشبه). Yaitu qaul yang sangat serupa dengan kalam Imam Syafi’i R.A. atau dengan kalam mayoritas murid-murid Imam Syafi’i atau murid-murid yang senior.

(Ket: Al-Asybah di sini bukan qiyas syabah atau qiyas illat. Qiyas Syabah adalah qiyas atau analogi hukum berdasarkan penyerupaan. Sedangkan qiyas illat ialah suatu qiyas yang dijelaskan dengan illat hukum).

23. Al-Arjah (الأرجح). Yaitu qaul yang unggul dibanding qaul yang lain, baik dipandang dari segi dalil maupun argumennya.

(Ket: Al-Arjah merupakan bandingan qaul rajih. Sedangkan jika yang unsur yang mengunggulkan (musyabahah) sangat kuat, maka boleh menempatkan qaul ashah pada posisi qaul rajih. Jika musyabahah itu belum sampai pada tingkat yang sangat kuat, maka boleh menempatkan qaul adhhar dan dhahir pada posisi qaul arjah dan rajih).

24. Al-Akhwath (الأخوط). Qaul yang memberi pengertian menuju alasan yang lebih kuat. Seperti dua qaul atau dua wajh yang sama kuatnya, baik dari segi pengertian, pandangan, illat, maupun nash syari’.

(Ket: Boleh menempatkan qaul ashah dan arjah pada posisi qaul akhwath, karena ketiganya sama-sama kuat).

25. Al-Aqrab (الأقرب). Yakni qaul yang wacananya atau gagasannya cukup kuat. Qaul ini merupakan qaul yang paling rendah kedudukannya dibandingkan dengan qaul-qaul yang telah disebutkan sebelumnya.

(Ket: Yang dimaksud dengan aqrab (lebih dekat) di sini ialah lebih dekat kepada asal madzhab atau kepada kalam mayoritas ulama. Menempatkan qaul rajih pada posisi qaul aqrab dibolehkan, dengan syarat antitesanya [qaul yang berlawanan dengan qaul aqrab] itu dianggap fasid atau cacat).

26. Al-Asyhar (الأشهر). Qaul yang kuat wacananya di kalangan madzhab dan sudah masyhur bahwa qaul itu merupakan pendapat madzhab.

(Ket: Menempatkan qaul adhhar pada posisi qaul asyhar hukumnya boleh, jika argumennya sudah sangat jelas).

27. Fi al-Madzhab (في المذهب) atau Ad-Dhahir min al-Madzhab (الظاهر من المذهب) atau al-Madzhab ad-Dhahir (المذهب الظاهر). Istilah-istilah tersebut sama pengertiannya dengan an-Nash (النص) atau ad-Dhahir min an-Nash (الظاهر من النص) atau an-Nash ad-Dhahir (النص الظاهر)

(Ket: An-Nash bukan merupakan perbandingan dari sebuah qaul. Sedangkan ad-Dhahir merupakan bandingan dari Nash Khafi atau Fasid (Qawi atau Fasid). Dalam kitab al-Wajiz, Imam al-Ghazali menggunakan istilah Dhahir an-Nash sebagai pengganti an-Nash).

28. Rujjiha (رجح). Istilah ini digunakan untuk menunjuk kesamaan derajat dua qaul, baik kesamaan itu dipandang dari sisi argumen maupun proses qiyasnya, dan salah satu dari qaul tersebut diunggulkan.

29. Rajjaha al-Murajjihun (رجح المرجحون). Qaul ini digunakan untuk menunjuk lemahnya proses pengunggulan (tarjih) diantara dua pendapat.

30. Yanbaghi (ينبغي). Kata-kata ini sering digunakan dalam dalam kitab-kitab fiqh. Indikasi maknanya bisa berupa wajib (wujub), sunnah (nadb), utama (adab), atau boleh (jawaz).

31. La Yanbaghi (لا ينبغي). Istilah ini meng-indikasikan makna haram (hurmah), bisa juga makruh (karahah).

32. Al-Ihtiyath (الإحتياط). Qaul ini biasa digunakan untuk menunjuk makna wajib (wujub) dan sunnah (nadb).

33. Fi al-Mas'alataini Qaulani bi an-Naql wa at-Takhrij (في المسألتين بالنقل والتخريج): Maksudnya, bila terjadi dua nash yang kontradiktif (bertentangan) dalam dua persoalan, sedangkan pendapat Shahib al-Madzhab belum jelas dan belum nampak ada solusi, maka murid-murid Imam Syafi’i melakukan pemaduan satu persoalan terhadap persoalan lain, karena dianggap ada persamaan makna diantara keduanya. Hasil dari pemaduan tersebut melahirlkan istilah Qaulani al-Manshush wa al-Mukharraj (قولان منصوص والمخرج) atau fihima Qaulani bi an-Naql wa at- Takhirij (فيهما قولان بالنقل والتخريج).

34. Al-Qaul al-Qadim (القول القديم) dan al-Qaul al-Jadid (القول الجديد). Dua jenis qaul ini merupakan qaul Imam Syafi'i. Menurut Khatib Asy-Syarbini, Qaul Jadid ialah qaul Imam Syafi’i yang difatwakan saat berada di Mesir. Para perawinya antara lain: al-Buwaiti, ar-Rubai’, al-Maradi, Harmalah, Yunus, Abdul A’la, Abdullah Ibnu Zubair, al-Humaidi, Ibnu Abdul Hakam, dll. Yang senior diantara mereka ialah al-Buwaiti, ar-Ruba'i, al-Maradi, dan Harmalah).

Qaul Qadim ialah qaul Imam Syafi’i yang disampaikan saat berada di Irak. Para perawinya banyak sekali, yang paling terkenal ialah Ahmad bin Hanbal, az-Za’farani, al-Karabisi, dan Abu Tsaur.

(Ket: Imam an-Nawawi menyatakan dalam kitab Minhaj: Kalau saya mengatakan al-Jadid, maka al-Qadim adalah antitesanya (kebalikannya). Atau saya mengatakan al-Qadim, maka al-Jadid sebagai antitesanya. Imam Haramain menyatakan: Tidak boleh menganggap Qaul Qadim sebagai pendapat madzhab. Bila dalam satu masalah terdapat dua qaul (Qadim dan Jadid), maka yang bisa diamalkan adalah Qaul Jadid, kecuali sekitar 17 masalah dimana Qaul Qadim bisa difatwakan. Dalam kitab Tuhfat al-Habib, yang bisa diamalkan sampai 22 masalah. Menurut Imam Muzani, bila dalam satu masalah terdapat dua qaul, yang keduanya Jadid, maka yang bisa diamalkan adalah qaul yang disampaikan paling akhir. Jika qaul yang akhir tidak bisa diamalkan, maka yang disa diamalkan adalah qaul yang diunggulkan oleh Imam Syafi’i. Bila Imam Syafi’i mengatakan dua qaul dalam satu waktu, yang keduanya Jadid, lalu beliau mengamalkan salah satunya, berarti beliau membatalkan yang lainnya. Menurut selain Imam Muzani (pendapat ini yang lebih utama), bukan membatalkan melainkan Imam Syafi’i mengunggulkan (tarjih) salah satunya.

Catatan. Bagi yang tidak mampu memahami persoalan ini secara mendetail, maka cukup baginya untuk mengamalkan dan berfatwa dengan Qaul Jadid saja.

35. Mujtahid Muthlaq (مجتهد مطلق). Yaitu mujtahid yang mampu mengambil (mencetuskan) hukum langsung dari dalil-dalilnya, seperti Empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).

36. Mujtahid Madzhab (مجتهد مذهب). Yaitu mujtahid yang mampu menganalisa dalil atau kaidah yang dipakai oleh imam madzhab, seperti Imam Muzani dan Imam Buwaiti (dalam madzhab Syafi'i).

37. Mujtahid Fatwa (مجتهد فتوى). Yaitu mujtahid yang mampu mengunggulkan qaul-qaul imam Madzhab dari qaul yang lain, seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

(Ket: Imam Ramli dan Ibn Hajar bukan Mujtahid Fatwa, tetapi hanya muqallid atau pengikut saja).

Catatan: Mujtahid Mutlaq dilarang (haram) bertaqlid (mengikuti) mujtahid yang lain. Sebagian ulama’ berpendapat, Madzhab Syafi’i lebih kuat, Madzhab Maliki lebih luas, Madzhab Abu Hanifah lebih banyak pengikutnya, Mazhab Ahmad Bin Hanbal lebih wira'i.

Demikianlah nama-nama istilah yang harus dipahami oleh kalangan santri yang mendalami kitab kuning pesantren karena banyaknya istilah tersebut dalam lembaran-lembarannya. Wallahu A’lam. [dutaislam.com/ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB