Arus Balik Politik NU: Rekonsiliasi NU dan FPI sebagai Representasi Islam Moderat dan Radikal
Cari Berita

Advertisement

Arus Balik Politik NU: Rekonsiliasi NU dan FPI sebagai Representasi Islam Moderat dan Radikal

Duta Islam #03
Minggu, 03 November 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
NU dan FPI. Foto: Istimewa.
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA.

DutaIslam.Com - Musabaqatul khairot dalam Pilpres 2019 sudah berakhir. Penentuan pos-pos menteri dalam Kabinet Jokow-Ma’ruf pun sudah selesai. Sudah sangat ideal segala bentuk perbedaan yang menjurus perpecahan diakhiri. Hal itu dapat dimulai dari apa yang dikatakan oleh Wasekjen PBNU, Isfah Abidal Aziz, bahwa berdasarkan semangat persaudaraan, Imam Besar Habib Rizieq berhak kembali ke Indonesia.


Dalam beda kesempatan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Prof. Dr. Said Aqil Siradj, mengatakan bahwa umat muslim wajib menghormati para habaib karena mereka adalah keturunan Rasulullah saw. Di antara nama Habib yang wajib dihormati karena garis keturunannya itu, muncullah nama Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab.

Pernyataan Ketua Umum dan Wasekjen PBNU ini seakan saling melengkapi. Memang benar, Habb Rizieq sejak 2017 hingga sekarang belum bisa balik dari Arab Saudi karena faktor perbedaan politik, ideologi, serta strategi pragmatis pilihan partai politik. Karenanya, Kiai Said dan Isfah memandang sudah tiba waktunya pemerintah Indonesia memperkuat kembali Ukhuwah Islamiah, wathaniah, dan Basyariah.

Habib Rizieq selama ini terkenal menggunakan epistemologi Nahi Munkar dan pendekatan kekerasan. Ditambah lagi, umat muslim yang setia kepada fatwa Imam Besar itu jutaan jumlahnya. Tidak salah kemudian FPI dicap oleh publik sebagai ormas Islam radikal. Karena itulah, bagi sebagian orang, pernyataan Kiai Said Aqil dan Wasekjen Isfah A. Aziz ini terasa ganjil, mungkin menyakitkan.

Misalnya, Sekjen PBNU Helmy Fashal Zaini menegaskan bahwa pernyataan Isfah Abidal Aziz merupakan pandangan pribadi saja, dan sama sekali tidak mewakili lembaga. Keberatan ini bisa dimaklumi, karena stigma ormas radikal belum luntur dari wajah FPI. Namun, internal NU harus paham bahwa komentar Kiai Said dan Isfah terbangun atas dasar spirit moderatisme, tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Inilah momen rekonsiliasi antara NU sebagai representasi Islam moderat dengan FPI sebagai representasi Islam radikal.

Bahkan, pemulangan Habib Rizieq dari Arab Saudi ke Indonesia dapat pula dimaknai sebagai bentuk rekonsiliasi di tingkat nasional. Yakni, simbol rekonsiliasi antara Kubu 01 dan Kubu 02. Polarisasi pra-Pilpres harus segera disudahi. Sudah saatnya kembali membangun image baru bahwa sesama putra bangsa kita bisa hidup rukun dalam keragaman; bersatu dalam perbedaan.

Upaya Wasekjen Isfah dan komentar positif Kiai Said tentang status nasab Habib Rizieq bukan urusan politik praktis. Apalagi sampai diselewengkan dan dimaknai sebagai bentuk lain kekecewaan PBNU atas pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Langkah politik-kebudayaan Kiai Said semacam ini sudah sangat jelas, basis epistemologis maupun aksiologisnya. Seperti tergambar dalam artikel sebelumnya “Membincang Benteng Islam Berkebudayaan” (Tribunnews,  25/10/2019).

Merangkul FPI dan Habib Rizieq ke dalam pangkuan PBNU adalah salah satu dari perwujudan perjuangan Kiai Said Aqil Siradj dalam menyebarkan Islam rahmatan lil alamin. Jika bukan PBNU yang mau merangkaul ormas yang terlanjur dicap radikal, lantas siapa lagi?

Memulangkan Habib Rizieq, merangkul FPI, dapat dimengerti dalam konteks ini. Kiai Said sedang menerjemahkan spirit ke-NU-an, yakni ukhuwah islamiah, wathaniah dan basyariah, dengan cara merangkul lawan-lawannya. Itupun jika benar NU bermusuhan dengan FPI. Sebab, hemat penulis, memperuncing permusuhan bukan ciri-ciri NU dan bukan pula semangat tawassut, tasamuh, tawazun dan i’tidal dalam Aswaja.

Islam Berkebudayaan yang ditebarkan Kiai Said sedang menguji tesis epistemologisnya. Apakah PBNU mampu dan mau merangkul segala keragaman dan perbedaan yang muncul di dalam tubuh umat muslim sendiri, yang mungkin terpecah belah hanya akibat pilihan politik praktis demi pemenangan kubu tertentu dalam Pilpres. Apakah benar Islam rahmatan lil alamin yang PBNU koar-koarkan mampu menghadapi realitas konkrit, yakni dengan kepulangan Habib Rizieq ke Indonesia dan reborn-nya FPI?

Di samping penguatan basis epistemologis ideologi moderatisme ala NU, mengajak Habib Rizieq kembali ke Indonesia dan mendorong pemerintah Indonesia mendatangkan Habib Rizieq adalah cara bentuk ukhuwah Islamiah, wathaniyah, dan basyariah. Hanya dengan momen langka begini, filsafat Islam Nusantara yang Berkebudayaan semakin kokoh dan bangsa Indonesia betul-betul terasa menjalankan amanah Binneka Tunggal Ika. 


Pemerintah Indonesia tidak perlu cemas berlebihan terhadap aksi tindak-tanduk FPI di masa depan ketika Habib Rizieq misalnya dipulangkan. Sebab, PBNU sebagai pihak pelopor sekaligus juru damai pasti bertanggungjawab. Mustahil PBNU hendak memperjuangkan kepulangan Habib Rizieq demi memporak-porandakan pilar-pilar kebangsaan dengan menghidupkan ormas-ormas radikal.

Sudah saatnya memikirkan masa depan Indonesia yang lebih maju. Kiai Said dan PBNU-nya, Habib Rizieq dan FPI-nya, sudah tiba saatnya untuk kembali bersama-sama dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf duduk mesra; membicarakan masa depan Indonesia yang lebih baik. Tutup buku lama, mari buka lembaran baru! [dutaislam.com/pin]

KH. Imam Jazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah. Esai ini disadur dari Tribunnews.com, tayang 31 Oktober 2019.


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB