MUI dan Dinamika Islam Politik Pascakebenaran
Cari Berita

Advertisement

MUI dan Dinamika Islam Politik Pascakebenaran

Duta Islam #02
Kamis, 10 Oktober 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Foto: mui.or.id

Oleh Mamang M Haerudin

DutaIslam.Com - Majelis Ulama Indonesia alias MUI. Merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. MUI sendiri berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Tidak sedikit ahli yang berpandangan bahwa MUI ini awalnya menjadi salah satu produk politik rezim Orde Baru untuk mempertahankan status quo. Setali tiga uang, akhirnya MUI menjadi simalakama. Lebih sering menjadi pemicu kekisruhan ketimbang menjadi penenang. MUI yang nota bene lembaga keagamaan, malah ikut terperosok pada jurang politik praktis dan politik identitas.

Maka saya sependapat dengan Buya KH. Syakur Yasin manakala pada hari ini, Selasa 8 Oktober 2019, menjadi salah satu narasumber dalam acara Mudzakarah "Peran MUI di Era Post-truth untuk Keutuhan NKRI." Buya Syakur mengatakan sudah saatnya MUI lebih serius, bahwa MUI bukan sekadar kumpulan Ormas-ormas dan tidak lagi mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak perlu: merokok haram, pemimpin non Muslim haram, pluralisme haram, menyesatkan aliran dan kepercayaan dan masih banyak lagi. Era pascakebenaran ini menemukan angin segarnya manakala kita sedang hidup di era media sosial. Di mana emosi lebih mendominasi ketimbang logika dalam menyerukan kebenaran.

Saya sendiri ingin menegaskan bahwa ada keterkaitan antara MUI dan dinamika Islam politik di era pascakebenaran. Disadari atau tidak bahwa MUI menjadi salah satu pemasok kisruh warganet di media sosial. Emosi yang meledak-ledak itu dipicu juga oleh sebagian fatwa-fatwa MUI yang kontraproduktif itu. Era pascakebenaran ini jelas tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada bahan bakar yang menyalakannya. Api hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan berbagai produk era pascakebenaran ini semakin memanas dan menyeruak hilir-mudik ini tak terbendung.

Saya ambil contoh kasus fatwa haram MUI tentang pemimpin non Muslim. Fatwa tersebut dijadikan amunisi untuk meledakkan emosi jaringan kelompok Islam politik dan politik identitas. Seolah-olah Islam mengharamkan memilih pemimpin non Muslim secara mutlak. Demonstrasi besar-besar pun tak terelakkan. Seruan-seruan kalimat takbir dan jihad, berikut sumpah-serapah kotor, campur-aduk disalahgunakan. Ini jelas-jelas fenomena Islam politik atau politik identitas. Kelompok Islam yang menjadikan simbol-simbol Islam untuk mengoyak emosi umat sehingga ujaran kebencian terhadap non Muslim semakin menjadi-jadi. Percaya atau tidak, sadar atau tidak, dengan mencuatnya dinamika Islam politik/politik identitas inilah, MUI justru menjadi salah satu pemasok radikalisme.

MUI sendiri mempunyai jaringan dari pusat sampai tingkat Desa/Kelurahan. Hanya saja keberadaannya tidak efektif, vakum dan malah kontraproduktif. Kesannya malah hanya formalitas dan buang-buang anggaran. Alih-alih MUI berperan dalam era pascakebenaran ini, ia justru acap kali menjadi biang kerok kekisruhan bangsa selama ini. Di sinilah pentingnya MUI untuk segera berbenah. Bagaimana kita mau serius memberantas hoaks dan radikalisme, sementara tidak sedikit internal MUI yang justru menjadi pelaku hoaks dan radikalisme. Maka benar saja, ujian terberat umat Islam di Indonesia adalah justru internal umat Islamnya sendiri. Kebanggaan Islam sebagai agama mayoritas pada nyatanya sangat rapuh.

Umat Islam yang dimaksud tentu saja, mereka yang begitu getol menjadikan Islam sebagai simbol dan tunggangan politik. Mereka yang watak keislamannya keras, kerap mencaci-maki pemerintah dan kontra Pancasila. Target mereka jelas sekali, yakni akan mengubah NKRI menjadi Negara Islam, NKRI Bersyariah dan atau Khilafah Islamiyah. Dan ini tentu saja berbahaya. Dalam hal ini MUI lengah. Masih banyak pengurus internal MUI, terutama yang berada di pusat yang justru terlibat menjadi pengasong Negara Islam. Realitas semacam ini sangat paradoks sekali. Bagaimana kita bisa menjaga keutuhan NKRI kalau MUI sendiri yang justru menjadi perusak NKRI. Memang tidak semua, sebab ada sebagian ulama di MUI yang afiliasinya NU dan Muhammadiyah. Hanya saja sebagaimana kita tahu bersama bahwa sebagian ulama MUI (yang radikal) itu begitu "nyerocos" di media, tidak diimbangi keilmuan yang mumpuni dan akhirnya menjadi pelaku hoaks.

Saya pikir, keberadaan MUI yang rancu dan kontraproduktif seperti ini mesti dikaji ulang. Bahkan mungkin bisa jadi dibubarkan. Sehingga jangan sampai hanya membebani Negara saja tetapi kontribusinya tidak signifikan. Ormas dan LSM berlabelkan Islam sudah terlalu banyak di negeri ini. Jangan sampai keberadaan MUI hanya menjadi ajang bagi-bagi kedudukan, jabatan dan membenani APBN. Jangan sampai hanya menjalankan tugas-tugas yang sifatnya formalitas dan buang-buang anggaran. Mari kita buktikan dan renungkan, apa kira-kira prestasi MUI untuk bangsa ini? Bukankah nol?

Saya yakin sekali jika MUI di pusat maupun di daerah, masih berjalan dalam tata kelola lembaga yang tidak beraturan. Ada program-program hanya saja sifatnya hanya formalitas dan tidak tepat sasaran. Mari kita telusuri, di zaman media sosial (pascakebenaran) ini yang rentan hoaks dan ujaran kebencian, platform media sosial MUI yang mana, yang menjadi rujukan keislaman moderat bagi masyarakat? Jadi nyaris MUI ini ada tapi seperti tidak ada. Adanya MUI tetapi seperti tidak berguna. Gus Mus--salah seorang ulama NU--pernah melontarkan kritik pedas, "Asal jadi pengurus MUI terus kok disebut Ulama. Juru tulis atau juru ketik seakan Ulama, terus mudah mengeluarkan fatwa dan lucunya banyak umat Islam yang mengikuti. Halal dan haram mudah dikeluarkannya." Wallaahu a'lam. [dutaislam.com/gg]

Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 9 Oktober 2019.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB