Kemarau Panjang, Bagaimana Hakikat Manusia ?
Cari Berita

Advertisement

Kemarau Panjang, Bagaimana Hakikat Manusia ?

Duta Islam #07
Minggu, 06 Oktober 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
hakikat manusia berdasarkan pancasila
Kemarau panjang. Foto: istimewa
Oleh: Mukhammad Nur Rokhim

DutaIslam.Com - Membuka bahasan ini, terlebih penulis sampaikan kepada para pembaca yang budiman untuk sejenak merenung. Siapapun kita marilah kita gagapi perasaan terdalam kita, kalau bisa gagapilah sampai relung hati terdalam diri kita.

Enam bulan berjalan sesuai siklus musim yang ada di Indonesia dimana kita saat ini masih berada di musim kemarau. Kemarau maupun penghujan sebenarnya adalah suatu kenikmatan bagi manusia. Tetapi, seberapa besar nikmat itu pasti ada ujian di dalamnya dan di tiap ujian pasti ada hikmahnya.

Apakah kita pernah berfikir bahwa bumi itu juga berpuasa? Iya. Setiap makhluk hidup punya cara puasanya sendiri-sendiri. Pohon yang meranggas, beruang yang hibernasi, ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, unggas yang mengerami telurnya, dan ular yang berganti kulit disadari atau tidak itu adalah bentuk puasa yang diciptakan Allah SWT kepada makhluknya. Lebih wajib lagi ialah manusia yang akal dan nalurinya lebih sempurna. Bahkan, disadari atau tidak alam ini sebenarnya juga mengamalkan puasa.

Baca: Berkomunikasi Sesui Ajaran Islam

Pernahkah kita berfikir bahwa alam semesta ini berdzikir lebih keras daripada manusia? Bahkan, suara kodok saja diibaratkan sebagai suara dzikir. Suara gerakan daun-daun yang tertiup angin mereka juga berdzikir. Gunung dan pepohonan yang diajak turut serta oleh Nabi Dawud AS mereka juga berdzikir. Lebih lanjut, semesta ini sedang dan terus berdzikir.

Jika Sunan Kalijaga memberikan pelajaran bahwa kelir atau layar wayang kulit itu putih, itulah wujud putihnya semesta. Bumi dan apapun itu hakikatnya tidak memiliki dosa. Karena yang menorehkan bayangan pada kelir itu wayangnya. Siapa wayang itu? Manusia. Manusia yang baik dan buruk sama-sama menorehkan jejak hidupnya di dunia ini. Lantas, bagaimana manusia menjadi seorang khalifah di muka bumi sementara bawahannya sibuk berdzikir dan berpuasa kita sibuk berhura-hura dengan sifat dan tabiat yang tidak sewajarnya?

Dulu sebelum Nabi Adam AS diciptakan, Allah SWT telah menyerukan kepada Malaikat bahwasanya Dia akan menciptakan seorang khalifah (Adam AS). Dan ketika amanah itu dijalankan, mungkin ada yang lupa atau terlupa. Lupa bahwa dunia ini adalah titipan Sang Maha Kuasa. Lalu siapa yang disalahkan? Manusia.

Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون

Artinya:
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (QS. Ar Ruum : 41).

Hakikat Manusia Berdasarkan Pancasila


Yah, mungkin kalau alam bisa menyindir dia akan berkata, "kemarau ini datang sebagai peringatan untuk kamu. Seberapa besar tingkat ketaqwaan kamu kepada Tuhanmu, seberapa ingat amanah dari Tuhanmu yang dibebankan kepada kamu. Apakah dengan kemarau ini, kamu baru sadar bahwa emas mutiara, harta, pangkat, dan jabatan hanya kalah dengan setetes air saja yang kadang engkau abaikan?"

Pembaca yang budiman,
Mari kita sejenak merenungi diri melihat keadaan bangsa yang kita alami saat ini. Saling gontok-gontokan dan apatisme terhadap alam membuat simetri kehidupan tidak seimbang. Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam terjadi gonjang-ganjing tidak selaras. Ada apa terjadi dengan negara ini semuanya adalah buah dari apa yang ditanam oleh semua yang ada di negara ini.

Jika alam sedang berdzikir dan berpuasa kemudian ada yang mendzalimi dengan membakar hutan dan merusak lingkungan dengan dalih apapun, jangan salahkan jika Sang Pencipta Alam ini memberikan kritikan melalui alam. Jika manusia hanya sibuk mencela dan saling menjatuhkan, maka manusia diberikan pelajaran dari rasa lapar dan empati.

Baca: 4 Unsur Memahami Ayat Lingkungan

Puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tapi puasa dari semuanya. Ketika semua sudah berpuasa, maka itulah hakikat menyatu dengan alam, itulah hablum minal alam. Ketika manusia berpuasa dan dianjurkan untuk berlaku sederhana dalam menyikapi musim kemarau, disitulah hablum minannas. Dan ketika puasa, dzikir, dan taubat dijalankan disitulah hablum minallah. Puncak dari puasa, taubat, dan sikap sederhana ada pada ibadah sakral bernama Shalat Istisqa', maka harus kita mulai dari sikap prihatin, empati, dan sadar diri akan kesalahan kita sehingga Insya Allah semoga Allah SWT menurunkan berkah dan rahmatnya dalam hujan. Seimbanglah simetri kehidupan itu sendiri. Wallahu a'lamu bis showab. [dutaislam/ka]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB