Merawat Indonesia di Tengah Kegetiran Baru Wajah Demokrasi
Cari Berita

Advertisement

Merawat Indonesia di Tengah Kegetiran Baru Wajah Demokrasi

Duta Islam #03
Selasa, 03 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Muchamad Nabil Haroen. Foto: Koran-Sindo.com.
Oleh Munchamad Nabil Haroen

DutaIslam.Com - Sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah memiliki fondasi kokoh, ideologi kuat, sumber daya melimpah, dan aset kecerdasan anak bangsa yang siap digerakkan. Akan tetapi, sebagai sebuah negara di antara bangsa-bangsa atau sebagai bagian dari warga negara dunia, Indonesia harus siap dengan konsolidasi luar dalam.

Mengapa konsolidasi luar-dalam? Kita sadar, baru saja melewati satu tahapan pencerdasan publik berupa Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Sudah berkali-kali kita melewati pemilu pascareformasi 1998. Namun, rasanya selalu ada pelajaran penting pada tiap tikungan sejarah: Indonesia yang dipertaruhkan, keindonesiaan kita yang terus didefinisikan.

Kajian Pusat Analisa dan Pengendali Situasi PDI Perjuangan, yang disitir Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarno putri, mengilustrasikan betapa muncul pola-pola mengerikan berupa perpecahan antar-elemen bangsa pada Pemilu 2019. Fenomena disintegrasi yang sistematis ini berpengaruh pada ruang publik keindonesiaan, yang menjadi luka bagi memori bangsa.

Megawati Soekarnoputri juga mengingatkan seluruh generasi muda Indonesia, dengan sebuah kutipan bernas, dari pidato amanat pada 17 Agustus 1954, oleh Bung Karno: “Dan, sebagai sudahku kata-kan berulang-ulang, janganlah pemilihan umum ini nanti menjadi arena pertempuran politik demikian rupa, hingga membahayakan keutuhan bangsa. Gejala-gejala akan timbulnya pertajaman pertentangan-pertentangan antara kita, antara sesama kita telah ada. Gejala-gejala akan karamnya semangat toleransi telah muncul. Ai, tidakkah orang telah sadar, bahwa tanpa toleransi maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan dari toleransi.” Pidato Bung Karno ini di sampaikan pada 17 Agustus 1954, tepat beberapa bulan menjelang Pemilihan Umum 1955.

Kita tahu, Pemilu 1955 merupakan pemilu penting bagi Indonesia, yang kelak ikut menentukan wajah politik negeri ini pada lanskap domestik dan dunia. Pemilu 2019 membuka kegetiran baru dalam proses berdemokrasi negeri ini. Menggunakan agama sebagai alat untuk memprovokasi, memfitnah, memainkan isu SARA, dan menjadikan kapal besar menuju kekuasaan amat gamblang dipertontonkan. Sejenak mungkin terlihat amat biasa saja, namun tidak ada yang tahu jika pola seperti itu berpotensi ditunggangi oleh oknum-oknum yang menginginkan kebinekaan bangsa ini porak-poranda.

Hal itu didukung dengan perkembangan informasi yang makin masif lewat berbagai saluran pesan, terutama media sosial yang tanpa filter mendorong potensi konflik berujung perpecahan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj pada sebuah kuliah umum di Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan(Inzah), Genggong, Krakasan, berpesan untuk tidak menggunakan agama demi sebuah tujuan politik. Politik seharusnya menjadi alat untuk memperkuat agama, tetapi tidak dengan menghantam lainnya dengan fitnah dan isu SARA yang membabibuta. Dari gamblangnya gejolak sentimen kesukuaan, keagamaan, golongan, dan ras yang semakin jelas terlihat, spirit wathaniyah (kebangsaan) dan amanah menjaga ukhuwah watahaniyah dituntut semakin nyata.

Dengan menjaganya, berarti menyelamatkan dan merawat keutuhan NKRI. Jangan sampai ketidakdewasaan beberapa gelintir kelompok dalam berpolitik, menjadikan fondasi-fondasi dasar negara hancur dan rasa nasionalisme luntur. Kita semua menyadari, setiap zaman tentu saja punya tantangan masing-masing. Dan, yang paling penting, setiap zaman punya orang-orangnya yang bersiap bergerak menjadi penantang arus, menjadi peng ubah gelombang. Orang-orang ini adalah mereka yang punya visi, keberanian, kesetiaan mengabdi, sekaligus kesediaan berbakti. Menjelang 2020 dan tahuntahun mendatang, Megawati Soekarnoputri mewanti-wanti agar semua solid dalam sikap dan gerak.

Artinya, saling mengisi, saling berbagi, saling merangkul untuk bergerak bersama, terutama antara kader-kader yang berada di struktur partai, eksekutif, dan legislatif. Selain itu, bersama-sama rakyat Indonesia, kita harus bersiap menghadapi agenda politik selanjutnya: pemilihan gubernur dan wakil gubernur di sembilan provinsi, pemilihan bupati dan wakil bupati pada 224 kabupaten di 32 provinsi, serta pemilihan walikota dan wakil wali kota pada 37 kota yang berada di 18 provinsi. Tentu saja ini membutuhkan persiapan penting dengan strategi dan pola yang segaris dengan kebijakan kaderisasi, yang selaras dengan nilai-nilai keindonesiaan kita.

Selepas itu, di antara yang penting adalah kesiapan kita untuk merawat Indonesia dengan sebaik-baiknya. Pertama, merawat relasi harmonis dengan organisasi massa yang moderat dan menjadi tulang punggung keindonesiaan kita. Kedua, merawat keragaman-kultural bangsa Indonesia, sebagai kekayaan khazanah ke indonesiaan kita. Ketiga, merawat kader-kader sebagai sumber daya intelektual penting, yang saat ini tersebar di dalam dan luar negeri. Kita harus terus-menerus menjaga api untuk merawat Indonesia, meneruskan amanat dari para pendiri bangsa untuk menjaga Indonesia! [dutaislam.com/pin]

Munchamad Nabil Haroen, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa, Kader PDI Perjuangan.
Esai ini tayang pertama kali di koran-sindo.com dengan judul 'Bersama Menjaga Indonesia.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB