Mengenal Makna Bid'ah Dari 5 Keterangan
Cari Berita

Advertisement

Mengenal Makna Bid'ah Dari 5 Keterangan

Duta Islam #07
Sabtu, 14 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
makna bid'ah dalam islam
Makna bid'ah dalam islam. Foto: istimewa
DutaIslam.Com - Ada sekelompok golongan yang suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan maulid, isra’ mi’raj, yasinan mingguan, tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah SAW telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau “jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah SAW memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari Rasulullah?”

Memvonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasulullah SAW. tidak mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan dalam fakta sejarah.


1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku bersuci, baik di malam maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”. 

Dalam riwayat at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi SAW berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melainkan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi SAW bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).

Hadist di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadist shahih berdasarkan syarat keduanya (Bukhari dan Muslim).” Dan adz Dzahabi mengakuinya.

Hadist di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada perintah dari Nabi SAW.

2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,

Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat dibelakang Nabi SAW, maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang memnuji-Nya), lalu ada seorang dibelakang beliau membaca, “Rabbanâ laka al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi). 

Setelah selesai shalat, Nabi SAW bersabda “Siapakah orang yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”

Ibnu Hajar berkomentar, “Hadist itu dijadikan hujjah/dalil dibolehkannya berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi SAW) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”

Makna Bid'ah Dalam Islam


3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:

اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.

Setelah selesai shalat, Nabi SAW bersabda, “Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi ?. Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah SAW, aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”  Rasulullah SAW bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka untuk menyambutnya.” Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah meninggalkannya.”  Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”. Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian

Disini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak atau belum pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan reaksi Rasulullah SAW pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa. Al hasil, Rasulullah SAW telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.

4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata “Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di Masjid Quba’, setiap kali ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca Surah Al Ikhlash sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. 

Demikian pada setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi imam.” 

Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.

Ketika mereka mendatangi Nabi SAW mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”

Maka Nabi SAW bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi SAW dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.

Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa mengawali bacaan dalam shalat dengan surah Al Ikhlash kemudian membaca surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu dilakukan Nabi SAW adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi SAW tidak berarti ia bid’ah (sesat).

5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid, dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi SAW. Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengan Surah Al Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat Ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadist Muttafaqun Alaihi).


Apa yang dilakukan sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya. [dutaislam/ka]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB