Makna Dibalik Gelar Al-Habib untuk Nabi Muhammad dan Al-Kholil untuk Nabi Ibrahim
Cari Berita

Advertisement

Makna Dibalik Gelar Al-Habib untuk Nabi Muhammad dan Al-Kholil untuk Nabi Ibrahim

Duta Islam #03
Sabtu, 14 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi: Istimewa.
Oleh Kuswaidi Syafiie

DutaIslam.Com - Maqam al-Mahabbah atau kedudukan cinta ilahiat secara spiritual merupakan posisi kerohanian tertinggi yang menjadi tumpuan hasrat suci bagi setiap salik yang senantiasa berproses dalam melakukan pendakian spiritual. Seluruh kedudukan rohani yang masih berjibaku di bawahnya, pastilah terobsesi agar suatu saat nanti-dengan pertolongan dan karunia dari Allah Ta'ala-sampai juga pada kedudukan cinta ilahiat itu. Demikian pula dengan berbagai macam tingkatan dan pengalaman spiritual, semua itu sesungguhnya mengalir dari kedudukan telaga cinta ilahiat.

Kenapa cinta ilahiat itu sedemikian sublim sebagai sumber segala jenjang rohani? Jawabannya tak lain bahwa kedudukan cinta ilahiat itu merupakan asal-usul dan tuan dari segala wujud, merupakan awal mula dan suplai potensi bagi seluruh alam raya. Dan puncak kedudukan cinta ilahiat itu tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW yang telah diangkat oleh hadirat-Nya sebagai kekasih yang paling istimewa di antara kekasih-kekasih yang lain.

Nabi Muhammad SAW mendapatkan anugerah gelar al-Habib, sementara Nabi Ibrahim mendapatkan predikat al-Khalil. Keduanya sama-sama berarti kekasih. Tapi, sama persiskah kedudukan di antara keduanya? Tentu saja tidak. Gelar al-Habib itu menunjuk kepada kedudukan rohani yang lebih tinggi dan lebih istimewa dibandingkan dengan gelar al-Khalil. Gelar al-Habib mengacu kepada kekasih yang dicari, sedang gelar al-Khalil konotasinya tertuju kepada kekasih yang mencari. Gelar al-Habib disematkan pada kekasih yang dilamar, sedang gelar al-Khalil dinisbatkan pada kekasih yang melamar.

Ada jarak spiritual yang membentang di antara keduanya walaupun sama-sama bermakna kekasih. Akan tetapi bagaimana pun, Nabi Ibrahim adalah orang yang paling mirip dengan Nabi Muhammad Saw, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Itulah sebabnya kenapa di dalam shalat itu diwajibkan untuk membaca shalawat Ibrahimiyyah yang dinisbatkan kepada Nabi Ibrahim, tidak kepada nabi-nabi yang lain.

Penyandang gelar al-Habib tersebut jelas merupakan puncak dari kedudukan rohani yang menjadi sumber bagi seluruh kebaikan yang ada di dalam kehidupan ini. Karena itu, dapat kita maklumi bersama bahwa tanpa menyebut nama Nabi Muhammad Saw, siapa pun tidak akan pernah bisa menjadi seorang muslim. Karena membaca dua kalimat syahadat tidak mungkin tanpa menyebut nama beliau. Tanpa menyebut namanya, siapa pun yang sedang berkhotbah di masjid pada hari Jum'at tidak akan sah khotbahnya. Karena khotbah tidak boleh tanpa syahadat dan shalawat kepada beliau.

Tanpa menyebut namanya, siapa pun orang yang adzan tidak akan sah adzannya. Karena syahadat harus dibaca ketika adzan. Tanpa menyebut namanya, siapa pun orang yang melaksanakan shalat tidak sah shalatnya. Karena membaca syahadat dan shalawat juga wajib saat tahiyyat. Dan tidak tanggung-tanggung, beliau adalah satu-satunya orang yang namanya disandingkan dengan nama Allah Ta'ala di atas pintu surga sebagaimana yang dituturkan di dalam berbagai riwayat.

Beliau adalah satu-satunya nabi yang diutus oleh Allah Ta'ala sebagai rahmat bagi seluruh alam raya, tidak saja untuk umat manusia, tapi juga semua anasir dari makhluk-makhluk yang lain. Semenjak jauh sebelum beliau dilahirkan hingga di akhir masa kelak. Sementara nabi-nabi yang lain hanya diutus untuk kaum mereka masing-masing pada periode tertentu semata. Wallahu a'lamu bish-shawab. [dutaislam.com/pin]

Kuswaidi Syafi'i, Pengasuh Pesantren Maulana Rumi Sewon, Bantul Yogyakarta.
Disadur dari Akun Facebook Kuswaidi Syafi'i dengan judul asli 'Cinta', diposting tanggal 9 September 2019.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB