Ketabahan Pengkaderan HTI yang Tak Mudah Diberangus Seperti PKI
Cari Berita

Advertisement

Ketabahan Pengkaderan HTI yang Tak Mudah Diberangus Seperti PKI

Duta Islam #02
Selasa, 24 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi: Massa DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Lampung. (ANTARA FOTO/Tommy Saputra)
Oleh Aan Rohaeni

DutaIslam.Com - Suatu hari ditahun 2015, selepas saya meletakan jabatan di KPU Banyumas, saya didatangi 3 (tiga) orang perempuan-perempuan tokoh HTI Kabupaten Banyumas (satu diantaranya pegawai Pemda Cilacap), maksud kedatangan mereka adalah untuk merekrut saya. Saya salut atas kesungguhannya merekrut calon anggota dan saya yakin cara seperti itu tidak pernah dilakukan ormas manapun. Saya didatangi hampir 3 bulan, dalam seminggu mereka selalu datang minimal 1 kali, ada saja judulnya, alasan sekedar mampir, ngobrol ringan, sengaja ngajak diskusi, ngasih buku atau ada buku yang ketinggalan. Intinya mereka tangguh dalam merekrut orang.

Dalam diskusi agak panjang, kami bertukar fikiran tentang sistem pemerintahan yang mereka cita-citakan, dan saya yang jelas-jelas kaum golongan nasionalis romantis ini mengcounter pemikiran mereka dengan pengetahuan dan keyakinan saya dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara. kayaknya skor kami sama-sama menang...mereka tetap dengan keyakinannya dan saya dengan keyakinan saya. he he he.

Tanpa hard feeling di akhir sesi saya bilang "gerakan HTI itu gerakan politik, kenapa tidak jadi partai saja sekalian kayak P*S misalnya yang terang-terangan memilih jalur pertarungan kekuasaan?". Sebenernya pertanyaan saya agak konyol, wong jelas-jelas sistem begini adalah thogut bagi mereka, namun dari jawaban mereka ada yang menarik, masih saya ingat jawabannya sampai sekarang, mereka benar-benar sistematis dan tabah melakukan pengkaderan.

"kita belajar dari kegagalan perjuangan model partai Hizbut Tahrir, kita memilih bersabar membangun gerakan melalui pendidikan, melalui dakwah membangun berbagai kekuatan dari segala kalangan, di universitas target kita adalah merekrut kader-kader intelektual muda (dia menyebutkan nama organisasi yang saya tau tentu saja), melalui jalur pendidikan kita mulai dari PAUD, kemudian merekrut guru-guru, lalu lembaga-lembaga pemerintahan, pemerintah daerah, dan mengirim kader-kader terbaik kami di suatu desa untuk menguasai masjid-masjid menggelar kajian-kajian dan sebagainya, sekarang kita mulai merekrut artis-artis dan tokoh yang berpengaruh di Kabupaten masing-masing, kami punya TV sendiri dan radio sendiri untuk menyebarkan visi dan misi kami".

Saya bengong otomatis nyeletuk "lalu ?"....

"Pada saat yang tepat dan kami sudah yakin benar-benar siap dengan dukungan yang mengakar dan kuat kami akan sama-sama bergerak mengganti sistem pemerintahan negara ini dengan sistem khilafah".

Perekrut saya waktu itu perempuan-perempun dengan pendidikan S-2 dan S-3, mereka khatam benar tentang Khilafah dan janji-janji sistem pemerintahan yang ideal seperti yang mereka cita-citakan. Meskipun mereka tidak berhasil meyakinkan saya, namun saya harus mengakui bahwa mereka hebat dalam meyakinkan orang, terlebih tampilan kawan-kawan itu santun cerdas dan solehah. Jadi saya sangat maklum, jika banyak kawan-kawan yang tidak memiliki alternatif sumber informasi lain tentang khilafah dan diajak hijrah akan mudah teryakinkan dan bergabung bersama kekuatan besar yang sudah lama mereka bangun dengan sabar.

Kami berhenti bertemu setelah mereka meyakini 100% bahwa sia-sia untuk merubah pendirian saya. Saya bilang dengan 3 orang perempuan tersebut bahwa saya kagum atas kesungguhan mereka dalam meyakinkan orang-orang, saya berterimakasih atas kesempatan berdiskusi panjang lebar.
Ternyata belakangan saya bertemu dengan sahabat saya ibu Doktor Tyas Retno Wulan, dan rupanya beliau juga pernah sama-sama mengalami proses perekrutan seperti saya.

Berangkat dari kekhawatiran yang sama, mengingat pula di Kabupaten Banyumas sudah santer tercium bibit-bibit intoleransi dan ekslusifisme yang berbahaya jika dibiarkan, terutama di lingkungan pendidikan, swasta maupun negeri, maka pernah tercetus ide dari Bu Tyas, untuk kumpul janjian sama Bu Tri Wuryaningsih, Bu Esti Ningrum dan Bu Elly Kristiani, untuk mengadakan pertemuan lebih besar dengan perempuan-perempuan Banyumas lainnya, seperti tokoh-tokoh Fatayat, Muslimat dan Aisyiyah demi membangun gerakan membendung isu radikalisme, ekslusifisme dan intoleransi di lingkungan rumah dan sekolah-sekolah di Kabupaten Banyumas. Namun biasa, terkendala kesibukan masing-masing rencana tersebut tidak sempat terlaksana. Hiks

Hubungan saya dengan beberapa kader HTI berhenti sejak akhir tahun 2015. Kemudian di pertengahan Tahun 2017, Pemerintah membuat kebijakan pembubaran HTI. Pada saat itu, tiba-tiba salah satu kader HTI yang dulu ke rumah saya menghubungi saya dan menjajaki kemungkinan apakah saya berkenan bergabung dalam 1000 Advokat pembela HTI. Saat itu saya menjawab bahwa saya tidak bisa ikut bergabung membela HTI, namun jika ada teman-teman yang mengalami kekerasan di Banyumas gara-gara pilihan politik menjadi anggota, kader atau simpatisan HTI saya akan membela mereka. (alasan kemanusiaan tentu saja, karena saat itu di Banyumas memang sedang ada isu pembubaran pengajian HTI ).

Saya meyakini bahwa melakukan kekerasan atau membully HTI, hanya akan mengakibatkan mereka semakin solid dan militan. Narasi sebagai "korban" kemanusiaan bisa jadi malah akan mengundang gelombang antipati terhadap negara dan kepada ormas Anti HTI sekaligus menguatnya dukungan kepada HTI. Bersyukur di Banyumas sekalipun sempat memanas tapi dibawah Komando Kapolres Banyumas semua ormas anti HTI tidak sampai melakukan aksi-aksi yang anarkis. Saya tak perlu absen satu-satu petinggi ormas yang berjasa meredam emosi masa ya, he he..pokonya saya salut sama beliau-beliau, tabik.

Melawan gerakan HTI dengan cara kekerasan baik verbal maupun Non Verbal adalah tindakan yang bisa jadi sia-sia, karena kader-kader dan simpatisan yang terlanjur percaya dan cinta sama HTI tidak akan mudah melepaskan mimpi mereka tentang negara khilafah, perlawanan yang demikian hanya akan mengakibatkan mereka semakin mengeras dan militan. Pemulihan pasca pembubaran HTI membutuhkan kerja bersama yang simultan dari semua kalangan masyarakat yang dikomandani tentu saja oleh Pemerintah dan para Tokoh Agama, Tokoh Masyarakarat dan tokoh-tokoh Ormas.

Banyaknya simpatisan masyarakat terhadap HTI tentu menjadi otokritik bagi pemerintah dan jadi pemacu ormas-ormas Islam besar khususnya untuk merangkul masyarakat terdekat agar tidak mudah "tergiring" isu bahwa pemerintahan Khilafah adalah sistem pemerintahan yang paling ideal dan paling benar. Pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan jangan sampai kecolongan terutama di lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah. Para Pemuka agama bisa memberikan referensi sejarah dan pemahaman yang benar tentang sistem pemerintahan khilafah. Merangkul berdakwah dan memberi keteladanan adalah kerja sabar yang harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat bersama pemerintah, belajar dari kesabaran, keuletan ketabahan serta kesungguhan pengkaderan yang dilakukan kawan-kawan HTI tentu saja. he he.

Seorang teman bertanya, "an menurutmu apakah HTI bener-bener mati?". Sambil meringis, saya bergumam.... "HTI bukan PKI. PKI mudah ditumpas oleh pemerintah bersama masyarakat, karena ada isu anti Tuhan yang dihembuskan. HTI sebaliknya, gerakan mereka berbungkus baju agama dan keyakinan, pasti tidak mudah punah begitu saja...lagi pula, anak-anak PAUD yang mereka didik dengan sabar 20 tahun silam, sekarang pastinya sudah pada besar dan menjadi kader-kader militan". [dutaislam.com/gg]

Source: Fb Aan Rohaeni

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB