Catatan KH Imam Jazuli: Lima Kritik Nalar Atas Ideologi HTI
Cari Berita

Advertisement

Catatan KH Imam Jazuli: Lima Kritik Nalar Atas Ideologi HTI

Duta Islam #03
Selasa, 17 September 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
HTI bersembunyi di balik bendera tauhid. Foto: Istimewa.
Oleh KH. Imam Jazuli Lc., MA

DutaIslam.Com - Sebagaimana yang mafhum dipahami, Hizbu Tahrir Internasional (HTI) adalah organisasi politik pan-Islamis yang didirikan resmi antara bulan November 1952 dan awal 1953 di Yerusalem.

Menurut Michael. R. Fischbach, pendirian Hizbut Tahrir datang bersamaan dengan lahirnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ia lahir dari gagasan Taqiuddin al-Nabhani yang berupaya merevolusi sistem politik seluruh negera di dunia.

Organisasi ini mengklaim "ideologinya sebagai ideologi Islam-kaffah". Di antara tujuan besarnya adalah membentuk "Khilafah Islam" atau negara Islam, karena perintah/kewajiban, terutama dalam rangka memenuhi seruan Allah dalam QS. Ali Imran, 104: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat.”

Dalam ayat ini, sesungguhnya Allah telah memerintahkan umat Islam agar di antara mereka ada suatu jamaah (kelompok) yang terorganisasi. Kelompok ini memiliki dua tugas: (1) mengajak pada al-Khayr, yakni mengajak pada al-Islâm; (2) memerintahkan kebajikan (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat).

Hujjah HTI berikutnya adalah: “Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maidah, 44).

Sementara Kekhalifahan baru yang diidamkan tersebut punya jargon demi terwujudnya persatuan komunitas Muslim (Ummah) dalam negara Islam kesatuan (bukan federal) dari negara-negara mayoritas Muslim. Mulai dari Maroko di Afrika Utara ke Filipina selatan di Asia Tenggara.

Negara yang diusulkan akan menegakkan hukum Syariah Islam, kembali ke "tempat yang selayaknya sebagai negara pertama di dunia", dan membawa "dakwah Islam" ke seluruh dunia.

Karena itu, bagi mereka semua mabda’ (ideologi) selain Islam, seperti kapitalisme dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme), tidak lain merupakan ideologi-ideologi destruktif dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.

Berikut ini, beberapa kritik atas ideologi atau dalil/hujjah HTI;

Pertama, menurut al-Imam al-Wahidi an-Naisaburi, dalam bukunya Asbabu Nuzul, ayat diatas, sama sekali tak terkait dengan politik, apalagi perintah mendirikan negara Islam (Khilafah), tetapi murni anjuran untuk berdakwah, agar setiap orang mendapatkan hidayah-islam.

Menurutnya, hadis ini terkait dengan perintah pada kebaikan, dan pencegahan pada kemungkaran. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja’far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Al-Asyhal, dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi pernah bersabda: Demi Rabb yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian benar-benar harus memerintahkan kepada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar."(Cairo: Nasyr City, Muasasah Halabi, 1967, h. 1388).

Kedua, yang menjadi titik poin pada QS. al-Maidah, 44 diatas adalah kata man lam yahkum (tidak memutus suatu perintah). Kata yahkum, terambil dari akar kata hakama, yang berarti menghalangi. Seperti hukum yang berfungsi menghalangi terjadinya kefasadan, keburukan, penganiayaan dan juga ketidak adilan.

Biasanya fungsi ini disebut sebagai hakim. Yang perlu dicatat adalah, seluruh firman Allah dan Sabda Rasulallah, bersifat Muhkam. Allah berfirman; Kitabun uhkimat ayatuhu (Q.S. Hud, 1). Dalam terminilogi fiqih, hukum biasanya diartikan sebagai perintah dan larangan, seperti kewajiban shalat, berpuasa, zakat, haji dan larangan mencuri, berzina, menikahi perempuan tertentu dan lain sebagainya.

Biasanya kata muhkam, ayat yang diidentifikasi dengan jelas, lagi tegas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan lain di luar dirinya. Selain itu, kata ini sering disandingkan dengan lawan katanya; Mutasyabih (yang masih samar).

Karena itu, ditelisik dari sini, ayat ini terasa sangat jauh, jika terpaksa ditarik dengan perintah pendirian negara Islam (Khilafah). Apalagi, Abu Hurairah ra., menjelaskan asbabul nuzul ayat tersebut terkait dengan pembiaran terhadap orang Yahudi yang berzina. Az-Zuhri menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa QS al-Maidah ayat 44 ini turun untuk mereka. Nabi saw., juga termasuk dari mereka (maksudnya ar-nabiyyun al-ladzina aslamu).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Jarir).

Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt. mencela kaum Yahudi yang berpaling dari Taurat. Kerana tingkah-laku tersebut, mereka dinyatakan bukan bagian dari kaum beriman (ayat 43). (Al-Jazairi, Aysâr at-Tafâsîr li Kalâm, Nahr al-Khair, 1993, h. 635 dan As-Suyuti, Ad-Durr al-Mantsûr, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 506)

Ketiga, jika perintah berdakwah, amar-ma'ruf, nahi mungkar, sebagaimana tersurat pada ali-Imran, 104, diatas diantaranya harus ditempuh, terlebih dulu dengan mendirikan negara Islam (Khilafah), maka pengambilan hukum (istimbat) ini bersifat sangkaan (tsubut dilalah)).

Dalam bahasa Immanuel Kant, ia hanya hepotesa-fiktif, yang bersifat imperatif hipotetis. Para pakar Ushul-Fiqh mengingatkan, jangan sampai memahami teks/lafazd yang Am (umum), padahal maksudnya adalah Khas (khusus), atau sebaliknya, atau Muqayyad, padahal maskudnya Mutlaq, atau Manthuq dan Mafhum-nya berseberangan dan lain-lain, sehingga menimbulkan kerancauan.

Jumhur ulama sepakat, kewajiban pokok agama (muhakamat) harus bersumber dari dalil yang pasti, baik dalam riwayat, maupun dalam petunjuk.

Keempat, HTI yakin penegakan khilâfah adalah perintah agama yang diabaikan mayoritas kaum muslimin. Padahal, menurut mereka, Islam telah mewarisi Negara Madinah, sebagai miniatur sebuah bangsa yang dinamakan negara Islam (Khilafah). Problem mendasar dari argumen ini adalah, jika hal itu kewajiban, apalagi bersifat ushul, kenapa Nabi tidak meninggalkan prodak hukum yang bersifat baku, dan perundang-undangan yang terperinci, dan aplikatif terkait dengan keberlangsungan Negara Madinah?

Padahal, sebagaimana kritik Khalil Abdul Karim, untuk masuk toiletpun seorang muslim mendapatkan bimbingan secara terperinci. Perlu dicatat, para teoritisi menyebutnya sebagai al-hakimiyah wa al-khilafah, terminologi ini hanya berhak untuk para Nabi dan Rasulnya saja, yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah untuk menjalankan hak progretifnya, termasuk dalam politik-negara, dan bukan pada manusia biasa. (ad-Din wa Addaulah; Cairo: Nasyr City, 1995, h. 6-7).

Kelima, jika HTI yakin pendirian khilâfah adalah termasuk kewajiban pokok agama, dia harus mampu menunjukkan dalil muhkam dari sumber primer yang bersifat qath’î, baik yang tsubut maupun dilalah. Seandianya ditemukan keduanya, maka pertanyaan selanjutnya adalah syariat yang mana? Tafsir siapa? Untuk konteks apa dan kapan? Daftar pertanyaan ini penting diajukan, sebab kata Ibnu Aqil, syariat itu amat beragam, ada yang rigit dan fleksibel, kendati agama satu, tapi penerapan untuk mencapai keadilan bisa beragam.

Katanya; Addin wahid, wasyariatu mukhtalifah? Ini belum lagi jika kita komparasikan dengan sistem negara. Apakah bentuk khilâfah itu? Monarkhi murni? Teokrasi? Teodemokrasi? Atau apa?

Karena problem-problem mendasar itulah, Imam Qurthûbî mengakui metode pengangkatan pemimpin dan bentuk negara bersifat dinamis, dialektik dan proposional, terhadap keadaan dan semangat zamannya, sebagaimaan bentuk dan rupa-rupa suksesi kekuasaan yang berlangsng di antara para Khulafâ’ Râsyidûn.

Bahkan, Imam Qurthûbî menyatakan seandainya pemimpin meraih kekuasaan dengan cara kudeta, dia tetap sah sebagai pemimpin dan wajib dipatuhi, selagai perintahnya demi tegaknya hukum dan keadilan bersama. (Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabî, 2008, juz I, h. 311). Pandangan ini serupa dengan ijtihad Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Imam Mawardi.

Untuk itulah, sebagai pertanyaan atas tuntutan zaman, konsep negara bangsa (nation-state) adalah jawabannya.

Sebagaimana negara kita punya ideologi Pancasila, sebagai pilihan ideal, karena negara kita, selain multi-etnis, juga multi-religi dengan bentuk negara demokrasi. Selagi umat bebas menjalankan agamanya, serta keadilan hukum dan kesejahteraan umat dijadikan tujuan utama, maka sistem politik apapun dapat dianggap telah "berjiwa Islami."

Tentu saja pemikiran ini bertolak belakang dengan ormas-ormas islam-radikal, seperti HTI yang masih berhalusinasi tentang era Khalifah yang sudah kadar luasa. Dan, atas dasar itulah, kami menyimpulkan, bahwa Tuhan, sebenarnya tidak punya negara dan tidak butuh negara. Sebagai makhluk di bumi, manusialah yang membutuhkan negara sesuai takdir sejarahnya masing-masing. Wallahu'alam bishawab. [dutaislam.com/pin]

KH. Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon

Keterangan: Disadur sepenuhnya dari tribunnews.com dengan judul asli 'KH Imam Jazuli: Kritik Nalar Atas Ideologi HTI'



Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB