Sejarah dan Genealogi Intelektual Sunan Muria di Pesantren Bareng Kudus
Cari Berita

Advertisement

Sejarah dan Genealogi Intelektual Sunan Muria di Pesantren Bareng Kudus

Senin, 12 Agustus 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
warisan sunan muria kudus
Makam Sunan Muria Kudus yang tidak pernah sepi dari para peziarah.

Oleh Dr. Ahmad Tajuddin Arafat

Dutaislam.com - Salah satu tokoh Walisongo yang menarik untuk dicermati lebih lanjut ialah Raden Umar Sa’id, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Muria. Sunan Muria agak berbeda dengan para wali penyebar Islam generasi awal. Riwayat mengenai Sunan Muria serta kisah hidupnya lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita tutur dan legenda yang berkembang secara turun temurun di tengah masyarakat sekitar Gunung Muria.

Di antara masyarakat yang masih memiliki pengetahuan kolektif tersebut adalah santri dan masyarakat yang ada di Pesantren Bareng Jekulo Kudus. Guna mengisi ruang informasi yang kosong ini, peneliti melakukan kajian tentang transmisi intelektual serta tradisi keberagamaan yang berkembang di Pesantren Bareng. Guna mendapatkan tujuan yang dimaksud, peneliti menggunakan pendekatan pendekatan antropologi budaya.

Baca: Sunan Nyamplungan, Penyebar Islam Toleran di Karimunjawa

Hasilnya, Pesantren Bareng setidaknya mewarisi intelektualitas Sunan Muria dalam tiga hal. Pertama, pengakuan kolektif sebagai bagian dari sejarah perjuangan dakwah Sunan Muria yang diwujudkan dengan pelestarian makam-makam keramat yang ada. Kedua, pengetahuan kolektif tentang pentingnya mengikat diri dalam satu jalur transmisi intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan melalui nama-nama kyai yang bersambung hingga ke Sunan Muria.

Ketiga, sikap dan perilaku keagamaan yang kental dengan nilai kesederhanaan, kesahajaan, dan istiqamah dalam menjalankan olah batin yang itu merupakan salah satu karakter yang ada di dalam ajaran Sunan Muria.

Model Dakwah Walisongo
Peranan Walisongo sangat besar dalam proses islamisasi di Nusantara, terutama di tanah Jawa. Sehingga kajian tentang keberadaannya tidak mudah untuk dikesampingkan begitu saja. Namun, catatan historiografi Islam modern di Indonesia tidak merekam riwayat mereka secara proporsional, sebagaimana yang dinyatakan oleh Agus Sunyoto. Banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut.

Di antaranya adalah pada abad 17-19 M peta jaringan intelektual Islam Nusantara telah mulai bergeser ke kawasan Haramain serta munculnya gerakan puritanisme wahabi saat itu. Meski demikian, masih banyak pesantren tradisional yang masih merawat tradisi dan intelektual Walisongo sebagai bagian dari identitas ideologi dan tradisi keberagamaan mereka.

Banyak hal yang menarik yang bisa dicermati ketika berbicara tentang Walisongo. Mulai dari sejarah tokoh-tokohnya yang kontroversial dan penuh dengan balutan cerita mistik hingga tipologi dakwah Islamnya yang kompromistis serta akulturatif. Dikatakan oleh para sejarawan bahwa Walisongo merupakan suatu dewan bagi para wali yang mengemban tugas sebagai penyebar sekaligus penjaga ajaran dan tradisi Islam di tanah Jawa. (Ridin Sofwan dkk, 2004: 19).

Walisongo berperan besar dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Oleh karenanya, kajian tentang keberadaannya tidak mudah untuk dikesampingkan begitu saja. Model dakwah yang komunikatif, akulturatif dan nirkekerasan sebagaimana yang dilakukan oleh para wali jelas dapat menarik simpatik dari masyarakat local saat itu hingga akhirnya mereka dapat memeluk Islam dengan suka cita. (Ridin Sofwan dkk, 2004: 15).

Selanjutnya, salah satu tokoh Walisongo yang menarik untuk dicermati lebih lanjut ialah Raden Umar Sa’id, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Muria. Menurut Agus Sunyoto (2011: 201), Sunan Muria agak berbeda dengan para wali penyebar Islam generasi awal yang riwayat hidupnya cukup banyak ditulis dalam beragam historiografi Islam-Jawa baik dari aspek asal-usul nasab maupun sepak terjang perjuangannya.

Riwayat mengenai asal-usul nasab Sunan Muria serta kisah hidupnya lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita tutur dan legenda yang berkembang secara turun temurun di tengah masyarakat sekitar Gunung Muria. (Agus Sunyoto, 2011: 201). Baca: 5 Generasi Para Walisongo Menurut Habib Luthfi.

Misalnya, sebagian besar para sejarawan menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Sarah putri Maulana Ishak. Asal usul keluarga ini kemudian dikaitkan dengan pola dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Muria yang lebih mirip dengan pola dakwah Sunan Kalijaga. Pola dakwah tersebut adalah kentalnya nuansa akulturasi budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman, seperti memanfaatkan gamelan serta bahasa tembang sebagai salah satu instrumen dakwahnya. (Agus Sunyoto, 2011: 203-5).

Maka dari itu, Sunan Muria lebih banyak diposisikan sebagai wali abangan/aba’ah (menggunakan metode dakwah yang kompromistis terhadap tradisi lokal), sebagaimana yang disematkan kepada ayahandanya; Sunan Kalijaga. Mungkin dengan alasan itu pula, kisah hidup Sunan Muria tidak terlepas dari aroma mistik yang amat kental, sebagaimana yang banyak diatributkan pula kepada Sunan Kalijaga; ayahandanya. (Hasanu Simon, 2005: 258).

Selain itu, kisah mengenai pencarian ilmu yang dilakukan oleh Sunan Muria, menurut cerita tutur dan legenda, terdapat kemiripan kisah dengan Sunan Kalijaga. Misalnya, kisah Sunan Kalijaga yang bersemedi dipinggir sungai selama bertahun-tahun, demikian pula Sunan Muria yang dikisahkan telah melakukan Tapa Ngeli (bersemedi dengan menghanyutkan di sungai). (Masykur Arif, 2013: 338).

Pernyataan-pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa kisah hidup dan perjuangan Sunan Muria dalam upaya islamisasi di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Muria, masih belum banyak dikupas secara mendalam. Kisah kehidupannya masih kental dengan nuansa mistis, penuh dengan dongeng, dan cerita tutur di masyarakat sekitar Gunung Muria.

Alasan tidak banyaknya, atau bahkan tidak adanya, informasi mengenai kisah Sunan Muria di dalam historiografi Islam-Jawa, dimungkinkan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah bahwa Sunan Muria tergolong wali muda dalam dewan Walisongo. Sunan Muria tercatat sebagai anggota angkatan keenam di dewan Walisongo. Sehingga peran dan kontribusinya tidak begitu menonjol dibanding dengan para wali yang lebih senior darinya. Selain itu, Sunan Muria lebih menekankan dakwahnya pada masyarakat pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan dan kota. (Hasanu Simon, 2005: 258).

Berangkat dari pernyataan di atas, selanjutnya penulis melakukan pengamatan dan identifikasi ritus dan makam keramat di sekitar lereng Gunung Muria. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk menelusuri dan melacak jejak kisah hidup Sunan Muria berikut ajaran serta nilai-nilai luhur yang ditransformasikan ke masyarakat sekitar Gunung Muria.

Di antara ritus/makam keramat dan cerita tutur yang ada di masyarakat adalah makam keramat Simbah Abdul Jalil dan Simbah Abdul Qahhar di Desa Jekulo dan makam keramat Simbah Ahmad dan Simbah Rifa’i di Desa Klaling. Menurut cerita tutur masyarakat setempat, dikatakan bahwa keempat kyai tersebut hidup semasa dengan Sunan Muria.

Bahkan tiga dari keempat kyai tersebut adalah murid langsung dari Sunan Muria. Mereka adalah Simbah Abdul Jalil yang secara khsusus ditugaskan oleh Sunan Muria untuk berdakwah di Bumi Wangi Desa Jekulo, serta Simbah Ahmad dan Simbah Rifa’i. Keduanya ditugaskan oleh Sunan Muria untuk menemani putrinya yang oleh warga setempat dikenal dengan nama Nyai Mendut.

Selanjutnya, di sekitar makam-makam tersebut terdapat pesantren yang didirikan oleh Simbah Kyai Yasin. Pesantren yang didirikan oleh Kyai Yasin tersebut oleh para santri dikenal dengan nama Pesantren Bareng. Pesantren ini dimulai pembangunannya pada sekitar tahun 1918 M. dan mulai ramai didatangi oleh para santri dari berbagai daerah setelah tahun 1923 M.

Pesantren Bareng ini banyak dikenal oleh warga dan para santri sebagai Pesantren Riyadhah, yaitu pesantren yang mengajak para santrinya untuk menjali berbagai amalan tirakatan atau penyucian diri dengan berbagai amalan fisik dan rohani, seperti berpuasa nyireh (meninggalkan makan-makanan yang bernyawa). (Amirul Ulum, 2018: 73-4).

Informasi tersebut setidaknya dapat menjadi data awal untuk membuat kontruksi mengenai genealogi intelektual Sunan Muria di kawasan Pesantren Bareng. Karena, pada dasarnya ritus arkeologis serta cerita rakyat merupakan bentuk ekspresi budaya yang tampak yang menjadi wadah bagi nilai-nilai luhur yang diyakini oleh masyarakat setempat.

Pesantren Bareng yang terdapat di lereng Gunung Muria dan di sekitar pesantren juga terdapat makam-makam keramat yang memiliki hubungan dengan Sunan Muria setidaknya memberikan isyarat bahwa jejak intelektual Sunan Muria secara cultural terawat dengan baik dan hidup di masyarakat sekitar. Di tambah lagi dengan budaya santri di Pesantren Bareng yang banyak menjalankan tradisi sufistik sebagaimana yang kental dalam ajaran Sunan Muria, seperti tidak boleh makan daging hati dan jeroan. (Anasom dkk, 2018: 175-6).

Baca: Ketika Habib Luthfi Ditanya: Keistimewaan Ziarah Walisongo Apa?

Oleh karena itu, melacak titi temu dari dua masa yang berbeda inilah yang menjadi isu utama dalam kajian ini. Dengan menggunakan perspektif antropologi budaya, diharapkan kajian ini dapat menginterpretasi serta mengeksplanasi data dan fakta sejarah tentang jejak intelektual Sunan Muria di Pesantren Bareng yang lebih banyak dibalut dengan beragam identitas budaya yang tampak dalam masyarakat di wilayah tersebut.

Sehingga kajian ini diharapkan dapat memberikan cara pandang yang tepat dan proporsional dalam memaknai tradisi yang hidup ditengah masyakarat pesantren di era dimana tradisi dan budaya local telah menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakatnya sendiri dan perlu diberikan makna baru yang dapat dipahami oleh masyarakat saat ini.

Selanjutnya, guna mendapatkan signifikansi dalam melihat realita kesejarahan yang ada, penulis menggunakan metode fungsional dalam analisis tentang mitologi. Metode ini menekankan pada anggapan bahwa cerita tutur, legenda, dan mitos yang berkembang di suatu komunitas merupakan ide dan pandangan hidup yang menjadi sumber motivasi dari kegiatan fisik maupun spiritual suatu komunitas tertentu.

Oleh karena itu, teori dan pemahaman mengenai folklor perlu menjadi pisau analisa dalam memahami realita tersebut. (James Danandjaja, Tt: 205). Sehingga cerita-cerita rakyat setempat yang memiliki keterkaitan dengan Sunan Muria di atas dapat dianalisa dengan metode ini.

Historiografi Sunan Muria
Sebagaimana uraian sebelumnya, riwayat hidup Sunan Muria tidak banyak ditulis dalam literatur historiografi Islam-Jawa sebagaimana para wali penyebar Islam lainnya. Riwayat mengenai asal-usul nasab Sunan Muria serta kisah hidupnya lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita tutur dan legenda yang berkembang secara turun temurun di tengah masyarakat sekitar Gunung Muria.

Mengenai asal-usul nasab Sunan Muria, misalnya, setidaknya ada dua pendapat yang populer. Pertama, menurut versi yang masyhur, Raden Umar Said atau Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Sarah putri Maulana Ishak. Dengan demikian, Sunan Muria merupakan kemenakan Sunan Giri. Selanjutnya, Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, adik kandung Sunan Kudus putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji. Sunan Muria memiliki putra bernama Pangeran Santri dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilangu. (Umar Hasyim, 1983: 14, Agus Sunyoto, 2011: 202).

Menurut Agus Sunyoto, keterkaitan Sunan Muria dengan Sunan Kalijaga dalam kebenaran asal-usul nasabnya, tampaknya lebih didukung oleh fenomena kesejarahan yang ada. Gambaran mengenai hal tersebut dapat dilihat dari pola dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Muria lebih mirip dengan pola dakwah Sunan Kalijaga, yakni memberikan warna keislaman dalam tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat. (Agus Sunyoto, 2011: 203-5).

Oleh karena itu, Sunan Muria lebih banyak diposisikan sebagai wali abangan/aba’ah (menggunakan metode dakwah yang kompromistis terhadap tradisi lokal), sebagaimana yang disematkan kepada ayahandanya; Sunan Kalijaga. (Hasanu Simon, 2005: 258).

Kedua, Sunan Muria yang bernama Sayid Umar Said adalah putra Sunan Ngudung. Pendapat ini didasarkan pada catatan dalam buku Pustoko Darah Agung yang ditulis oleh R. Darmowasito. Menurut buku tersebut, Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung alias Raden Usman Haji dengan istri yang bernama Dewi Sarifah. Jadi, berdasarkan pendapat ini, Sunan Muria adalah saudara dari Sunan Kudus.

Pendapat ini juga didukung oleh Habib Lutfi bin Yahya, selaku Pembina Pemangku Makam Auliya’ se-Jawa. Habib Lutfi menyatakan bahwa Sunan Muria merupakan keturunan sayyid, putra dari Sayid Usman Haji putra Raden Santri (Ali Murtadho) putra Ibrahim Asmoroqondi. Meski demikian, Habib Luthfi berpendapat bahwa Sayid Usman Haji ayah dari Sunan Muria memiliki nama lain yaitu Sunan Mandalika, bukan Sunan Ngudung, sebagaimana yang populer di masyarakat. (Anasom dkk, 2018: 64-9).

Adapun informasi terkait tentang masa hidup dan wafatnya Sunan Muria, bahwa Sunan Muria merupakan generasi muda dari dewan Walisongo yang ada. Sunan Muria hidup pada sekitar abad 16 M. dan ia wafat pada tahun 1551 M. Artinya, Sunan Muria hidup pada dua masa kesultanan Islam di Jawa, yaitu Kesultanan Demak yang berakhir dengan wafatnya Sultan Trenggana pada tahun 1946 M dan Kesultanan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya yang wafat pada tahun 1987 M. Versi yang lain disampaikan oleh Habib Lutfi, ia menyatakan bahwa Sunan Muria wafat pada tahun 1626 M atau 1044 H. (Anasom dkk, 2018: 136, 141-143).

Selanjutnya, penyebutan seorang wali biasanya diidentikkan dengan daerah dimana ia tinggal. Sayid Ja’far Shadiq, misalnya, melakukan dakwah di wilayah Kudus, sehingga disebut sebagai Sunan Kudus. Begitu pula dengan Raden Umar Said yang lebih dikenal dengan nama Sunan Muria. Julukan tersebut terkait dengan tempat dimana ia tinggal dan menyebarkan dakwahnya yang berada di lereng Gunung Muria. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya masjid dan makam Sunan Muria beserta kerabat dan sekabatnya.

Gunung Muria yang dimana di dalamnya terdapat makam Sunan Muria terletak di Desa Colo, Kecamatan Dawe kira-kira 18 KM di utara Kota Kudus. Tidak ditemukan informasi yang akurat perihal penamaan gunung tersebut dengan nama Muria. Namun, George Quinn, seorang antropolog dari Australia, menyatakan bahwa Gunung Muria diartikan sebagai gunung mulia atau gunung agung. Menurutnya, hal tersebut dikaitkan dengan pelafalan jawa yang adanya kemiripan pengucapan antara huruf M dan huruf L, seperti penyebutan Nyai Roro Kidul dengan Nyai Loro Kidul. (George Quinn, What Do the Names of the Mountains of Java Mean di researchgate.com - 19 September 2018).

Sunan Muria berdakwah dengan memanfaatkan budaya dan tradisi yang sudah di masyarakat. Kehidupan masyarakat pegunungan dan pedesaan sebagaimana yang ada di sekitar lereng Gunung Muria menjadi sasaran dakwah Sunan Muria. Karena itu, jejak Sunan Muria tidak banyak terekam dalam tradisi Babad yang sarat akan lika-liku perpolitikan di tanah Jawa. Mungkin karena alasan itu pula, Sunan Muria lebih memilih daerah atau kawasan yang jauh dari pusat kerajaan. (Sutedjo K. Widodo et.al, 2014: 111).

Dakwah Sunan Muria, sebagaimana uraian di awal, sarat dengan akultuasi budaya dan tradisi local seperti apa yang dilakukan oleh Sunan Kalihaga. Sunan Muria berupaya memberikan warna keislaman dalam berbagai tradisi yang ada di masyarakat. Sehingga akhirnya menjadi tradisi keagamaan baru yang khas Islam, seperti tradisi bancakan yang biasa dipersembahkan ke tempat-tempat angker diubah menjadi kenduri atau selametan yang di dalamnya diisi dengan doa-doa Islam.

Selain dengan dakwah yang akulturatif, Sunan Muria juga memanfaatkan media kesenian Jawa, seperti macapat, sinom, dan sejenisnya serta menggunakan gamelan. Di antara ciptaan Sunan Muria adalah tembang pangkur yang berarti pembirat atau pembasmi hati yang jahat. (Anasom dkk, 2018: 155). Selain Pangkur, Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi. (Agus Sunyoto, 2017: 373).

Menurut kajian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari UIN Walisongo Semarang, bahwasannya menemukan dan menggali ajaran Sunan Muria tidak lah mudah. Hal tersebut dikarenakan tidak ditemukannnya bukti-bukti tertulis yang ditulis langsung oleh Sunan Muria atau yang dinisbatkan kepadanya.

Baca: Menelisik Sejarah Lama Islam di Jepara

Meski demikian, ada beberapa karya yang dipandang dapat merepresentasikan watak keislaman yang ada pada masa itu. Salah satu di antaranya adalah Buku Sunan Bonang (Het Book van Bonang). Karya ini, sebagaimana dimuat oleh Poerbatjarakan dalam Kepustakaan Djawa, menyatakan bahwa sumber rujukan karya tersebut adalah kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya al-Ghazali (w. 555 H/1111 M). (Anasom dkk, 2018: 162-3).

Penegasan atas referensi dalam karya Sunan Bonang kepada al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa ajaran yang menjadi pijakan dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa, terutama di kawasan Pantai Utara Jawa, saat itu adalah ajaran tasawuf akhlaqi yang diajarkan oleh al-Ghazali. Inti dari ajaran tasawuf akhlaqi adalah penekanan terhadap olah batin/spiritual (tirakatan) bagi mereka yang ingin mendapatkan kebersihan jiwa serta pencerahan spiritual.

Apa yang menjadi inti dari ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Sunan Bonang tersebut sepertinya juga menjadi bagian dari nalar keagamaan yang digunakan Sunan Muria dalam dakwahnya. Karena dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa Sunan Bonang adalah guru dari Sunan Muria. Bahkan, Habib Lutfi menyatakan bahwa Sunan Muria merupakan Sultan Auliya pengganti (badal) Sunan Bonang. Habib Lutfi lebih lanjut menuturkan bahwa Sunan Muria merupakan Mursyid al-Kamil dalam dunia ketarekatan serta berafiliasi dengan Tarekat Naqsyabandi dari jalur Sunan Bonang tersebut. (Anasom dkk, 2018: 140-1).

Salah satu ajaran yang dinisbatkan kepada Sunan Muria adalah ajaran tentang Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram. Ajaran ini tercatat dalam karya Ranggawarsito yang berjudul Serat Wirid Idajat Djati. Meski sebagian dari peneliti ada yang masih meragukan perihal penisbatan beberapa ajaran yang ada di Serat tersebut dengan para wali, namun Damar Shasangka cukup yakin bahwa ajaran yang ada dalam Serat tersebut separuhnya berasal dari Sunan Kalijaga, sebagian dari para wali lainnya, dan sedikit yang dari Ranggawarsita sendiri. (Damar Shasangka, 2014: 28).

Oleh karenanya, Shasangka menjelaskan uraian dari ajaran Pambukaning Tata Malige Betal Mukaram adalah:

  1. Ora kena dhahar iwak ati (tidak boleh makan hati)
  2. Ora kena dhahar iwak jeroan (tidak boleh makan jeroan)
  3. Ora kena ngarani angen-angen (tidak boleh menyebut angan-angan)
  4. Ora kena ngarani jinem (tidak boleh menyebut jinem/harapan semu)

Keempat ajaran tersebut sangat mensiratkan dimensi tasawuf dan spiritualitas yang mendalam. Karena, di dalamnya memiliki nilai-nilai kebajikan dan seni menata dalam hati dalam proses penyucian jiwa (tazkiyatun nufus).

Pesantren Bareng dan Perkembangan Islam di Kudus Wetan
Secara antropologis, Kabupaten Kudus terbagi menjadi dua wilayah; wilayah Kudus Barat (Kulon) dan Wilayah Kudus Timur (Wetan). Kudus Barat terletak di bagian barat Sungai Gelis (Kali Gelis). Secara umum, penduduk Kudus Barat terdiri dari kaum santri tulen dan pengusaha, terutama pengusaha konfeksi dan produk bordir. Sedangkan Kudus Timur meski terdapat banyak santri, namun penduduknya lebih beragam dan heterogen. Tambahan pula, banyak orang Cina, orang Kristen, serta kaum abangan. (Lance Castles, 1982: 78-9).

Meskipun Kota Kudus terbagi menjadi dua bagian. Namun satu hal yang dapat dipastikan bahwa Kota Kudus merupakan Kota Santri di mana banyak berdiri pondok pesantren tradisional di sana, baik di Kudus Barat maupun Kudus Timur. Lance Castles menyatakan dalam risetnya bahwa sikap keagamaan yang dianut oleh mayoritas kaum Muslim Kudus adalah Islam kolot (tradisional). (Lance Castles, 1982: 85 dan 101).

Salah satu pesantren tradisional yang tertua di Kabupaten Kudus saat itu adalah Pesantren Bareng. Pesantren ini terletak di Desa Jekulo Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Pesantren ini awalnya didirikan oleh Kyai Yasin dan dibantu oleh Kyai Yasir (mertua) dan Kyai Sanusi (guru).

Pesantren ini merupakan pesantren pertama di daerah Jekulo, dan bahkan ada yang menyatakan sebagai pesantren pertama di kawasan Kudus. Pesantren ini didirikan pada sekitar tahun 1918 M dan mulai ramai didatangi para santri dari berbagai daerah pada tahun 1923 M. Pesantren yang didirikan Kyai Yasin ini dikenal oleh para santri dengan sebutan Pesantren Bareng.

Asal penyebutan tersebut terjadi karena setiap santri yang berasal dari luar kota, ketika hendak pergi ke atau pulang dari pesantren, rata-rata menggunakan jasa angkutan kereta api yang kebetulan stasiunnya berada di Dukuh Bareng Desa Hadipolo yang terletak di sisi barat Desa Jekulo. Akhirnya, dari kebiasaan itulah para santri menyebut pesantren Kyai Yasin dengan Pesantren Bareng. (Amirul Ulum, 2018: 60-4).

Salah satu ciri khas Pesantren Bareng yang berbeda dengan pesantren yang ada di kawasan Kudus lainnya adalah pesantren ini dikenal dengan pesantren riyadhah (tirakat). Artinya, pesantren ini, selain mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang ilmu (tauhid, fiqh, akhlak, dlsb), juga mengajak para santri untuk melakukan latihan-latihan spiritual atau olah batin.

Kyai Yasin selalu mendorong para santri untuk dapat menjalankan puasa Dalail al-Khairat selama tiga tahun, puasa nyireh (tidak makan sesuatu yang bernyawa), dan puasa muteh (hanya memakan nasi putih dan air). Baca: Kala Masih Hidup, Nabi Sudah Kenal Nusantara. Ini Buktinya.

Selain itu, para santri juga diberi amalan-amalan zikir dan hizib yang harus dibaca secara rutin dan istiqamah. Perilaku tirakatan seperti ini dimaksudkan sebagai bagian dari usaha penyucian jiwa (tazkiyatun nufus). Mengenai perilaku ini, Kyai Ahmad Basyir, santri kinasih Kyai Yasin, pernah berwasiat: “enom riyalat, tuwone nemu derajat, jiret weteng, nyengkal moto” (masa muda tirakatan, masa tua mendapat derajat, berani lapar, dan bangun malam). (Amirul Ulum, 2018: 73).

Sepeninggal Kyai Yasin, tradisi pesantren dikawal oleh Kyai Hanafi, Kyai Ahmad Basyir, dan Kyai Muhammad. Ketiganya dikenal sebagai tiga serangkai dari Pesantren Bareng. Kyai Hanafi merupakan santri senior sekaligus menantu Kyai Yasin dan mendirikan Pesantren al-Hanafiyah. Kyai Ahmad Basyir merupakan santri kinasih Kyai Yasin dan mendirikan Pesantren Darul Falah.

Kedua kyai tersebut mendirikan pesantren di sekitar pesantrennya Kyai Yasin yang pada tahun 1979 M diberi nama Pesantren al-Qaumaniyah oleh putra sekaligus penerus Kyai Yasin, yaitu Kyai Muhammad. Ketiga pesantren tersebut, meski telah memiliki nama dan pengasuh yang berbeda, namun ketiganya masih menjadi bagian dari intelektualisme Pesantren Bareng yang didirikan oleh Kyai Yasin. (Amirul Ulum, 2018: 70-2).

Intelektualisme Sunan Muria di Pesantren Bareng 
Sebagaimana uraian pada pembahasan sebelumnya, bahwa peta dakwah Sunan Muria berkisar pada kawasan lereng Gunung Muria. Misi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Muria tidak hanya dijalankan olehnya sendiri, melainkan juga diamanahkan oleh beberapa sekabat atau muridnya. Sehingga banyak sekali makam atau situs yang memiliki keterkaitan erat dengan Sunan Muria.

Selain itu, terdapat pula berbagai cerita tutur rakyat yang mengisahkan perjalanan dakwah Sunan Muria dan beberapa muridnya di masyarakat lokal sekitar Gunung Muria. Salah satu makam dan situs yang ada adalah empat makam keramat yang ada di sekitar Pesantren Bareng. Keempat makam tersebut adalah Makam Simbah Abdul Jalil dan Makam Simbah Abdul Qahhar yang berada di Barat Masjid Kauman Jekulo serta Makam Simbah Ahmad dan Makam Simbah Rifai yang terletak di Desa Klaling.

Keempat tokoh tersebut, oleh masyarakat setempat, diyakini hidup satu masa dengan Sunan Muria. Bahkan tiga dari mereka juga merupakan murid Sunan Muria, yaitu Simbah Abdul Jalil, Simbah Ahmad, dan Simbah Rifai.

Jika dikaitkan dengan jejak intelektual Sunan Muria di daerah Jekulo dan Pesantren Bareng khususnya, maka Simbah Abdul Jalil adalah tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Sunan Muria di kawasan tersebut. Diceritakan bahwa Simbah Abdul Jalil merupakan murid Sunan Muria yang berasal dari daerah Tuban Jawa Timur.

Abdul Jalil selanjutnya diberi amanah oleh Sunan Muria untuk melakukan dakwah di sekitara lereng Gunung Muria. Sunan Muria memberikan informasi kepada Abdul Jalil bahwa daerah yang akan menjadi tempat dakwahmu adalah daerah yang memiliki tanah berbau harum, yang dalam bahasa Jawa disebut “Bumi Wangi”.

Setelah melakukan perjalanan dan pencarian, akhirnya Abdul Jalil menemukan tempat tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Desa Jekulo. Ia hidup menetap di daerah tersebut dan menyebarkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Sunan Muria. Sepeninggal Simbah Abdul Jalil dan sekabat Sunan Muria lainnya di kawasan pesantren tersebut, tradisi keagamaan yang telah diajarkan tetap dilestarikan oleh generasi setelahnya.

Ajaran serta tradisi keagamaan yang mencerminkan ajaran Sunan Muria di kawasan pesantren masih sangat kental dirasakan. Perilaku hidup sederhana, suka tirakatan, serta sangat kuat menjunjung tradisi Islam tradisional (kolot) masih dapat dirasakan hingga saat ini. Setidaknya ada tiga faktor yang dapat menjamin warisan intelektual Sunan Muria hingga saat ini masih terasa di Pesantren Bareng.

Pertama, santri dan masyarakat di sekitar pesantren senantiasa menjaga serta melestarikan warisan budaya dan peninggalan yang ada, seperti merawat situs makam yang ada dan melaksanakan acara haul (menghormati hari kematian) dari setiap makam yang ada. Kedua, sebagai bagian dari kaum tradisional, santri dan masyarakat selalu memasukkan nama-nama kyai tersebut hingga bersambung kepada Sunan Muria dalam rangkaian doa-doa mereka.

Baca: Dalam Kondisi Umat Terancam Pecah, Belajarlah Sejarah Walisongo

Dalam kaca mata budaya, penyebutan nama-nama kyai atau tokoh dalam rangkaian doa tidak hanya diartikan sebagai wasilah atau perantara doa agar mudah dikabulkan oleh Tuhan. Namun, hal tersebut juga dapat diartikan sebagai bagian dari pengetahuan kolektif masyarakat tentang pentingnya silsilah pengetahuan keagamaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Rangkaian nama-nama tersebut merupakan bagian dari proses transmisi pengetahuan keagamaan yang diamalkan oleh masyarakat tersebut.

Ketiga, Pesantren Bareng yang dikenal sebagai pesantren riyadhah menyiratkan adanya keterkaitan dengan ajaran Sunan Muria. Ajaran tersebut adalah ajaran mistis/tasawuf yang bercirikan tasawuf akhlaqi yang titik konsentrasinya pada upaya pembersihan diri dan jiwa melalu beragam olah batin dan latihan spiritual. Selain itu, kesehajaan dalam berpakaian dan berperilaku juga menjadi penegas bahwa Pesantren Bareng merupakan bagian dari warisan intelektual Sunan Muria yang ada hingga saat ini.   
 
Warisan Pengetahuan Waliyullah
Para wali, sebagaimana nabi dan rasul, tidak mewariskan harta, namun mereka mewariskan pengetahuan dan tradisi keagamaan. Dakwah yang dilakukan oleh para wali tidak hanya dilakukan secara lisan dan tulisan, tetapi juga dalam segala keadaan, seperti akulturasi budaya serta internalisasi ajaran-ajaran Islam dalam perilaku masyarakat yang ada.

Sunan Muria yang menjadi bagian dari penyiar agama Islam di Jawa juga telah memberikan kontribusi yang nyata dalam keberislaman masyarakat di sekitar Gunung Muria. Nalar keberislaman yang akulturatif serta harmoni dengan tradisi dan budaya masyarakat yang ada telah menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari karakter masyarakat muslim di kawasan lereng Gunung Muria. Pesantren Bareng adalah salah satu dari sekian banyak arena yang menjadi wadah bagi pengetahuan kolektif yang diajarkan oleh Sunan Muria tersebut.

Pesantren Bareng setidaknya mewarisi intelektualitas Sunan Muria dalam tiga hal. Pertama, pengakuan kolektif sebagai bagian dari sejarah perjuangan dakwah Sunan Muria yang diwujudkan dengan pelestarian makam-makam keramat yang ada. Kedua, pengetahuan kolektif tentang pentingnya mengikat diri dalam satu jalur transmisi intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan melalui nama-nama kyai yang bersambung hingga ke Sunan Muria yang selalu dimasukan dalam rangkaian doa/wasilah.

Ketiga, sikap dan perilaku keagamaan yang kental dengan nilai kesederhanaan, kesahajaan, dan istiqamah dalam menjalankan olah batin yang itu merupakan salah satu karakter yang ada di dalam ajaran Sunan Muria. [dutaislam.com/ab]

Dr. Ahmad Tajuddin Arafat, alumnus Ma’had al-‘Ulum asy-Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an Kudus, mengabdi sebagai pembina di Ma’had Darul Falah Besongo 
dan Ma’had Ulil Albab Lilbanin Semarang. 

Referensi:

  1. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2017)
  2. Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011)
  3. Amirul Ulum, KH. Yasin Bareng: Sang Mujiz Dala'il al-Khairat dari Nusantara. (Yogyakarta: CV Global Press, 2018)
  4. Anasom dkk, Sejarah Sunan Muria, (Semarang: UIN Walisongo, 2018)
  5. Damar Shasangka, Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati, (Jakarta: Dolphin, 2014)
  6. George Quinn, What Do the Names of the Mountains of Java Mean? diakses dari researchgate.com pada 19 September 2018
  7. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Walisongo dalam Mengislamkan Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) 
  8. James Danandjaja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti)
  9. Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, terj. J. Sirait, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982)
  10. Masykur Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, (Jogjakarta: Dipta, 2013)
  11. Ridin Sofwan dkk, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
  12. Sutedjo K. Widodo et.al, Sunan Muria Today, (Semarang, Tiga Media Utama, 2014)
  13. Umar Hasyim, Sunan Muria antara Fakta dan Legenda, (Kudus: Menara, 1983), h. 14; Agus Sunyoto, Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011)

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB