Kitab Al-Farqu Bainal Firaq Tidak Membahas Khilafah ala HTI
Cari Berita

Advertisement

Kitab Al-Farqu Bainal Firaq Tidak Membahas Khilafah ala HTI

Sabtu, 17 Agustus 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
khilafah dalam al farqu bainal firaq
Cover Kitab Al-Farqu Bainal Firaq yang dimursalkan daftar isinya oleh Syabab HTI.

Oleh Prof. Nadirsyah Hosen

Dutaislam.com - Kitab Al-Farqu Baynal Firaq karya Abu Manshur Abdul Qahir al-Baghdadi (wafat tahun 1037) belakangan ini dijadikan argumen oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang sudah resmi dibubarkan itu, untuk menunjukkan bahwa khilafah adalah inti dari ajaran Islam. Mereka mengedarkan skrinsut halaman daftar isi dari kitab itu yang menyebut topik khilafah sebagai salah satu pokok ajaran Islam. Benarkah demikian? Apa sebenarnya isi penjelasan kitab tersebut?

Kitab ini sebenarnya penjelasan mengenai berbagai sekte dalam Islam. Ditulis sebagai penjelasan akan hadits yang berbicara tentang terpecahnya umat Islam ke dalam 73 firqah (golongan), dan dikabarkan bahwa hanya satu yang selamat. Kitab ini menjabarkan semua aliran yang berkembang pada saat itu disertai dengan penjelasan tentang keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Jadi, ini kitab polemik yang tujuannya membandingkan antara Aswaja dengan kelompok di luar Aswaja.

Kitab dibuka dengan penjelasan mengenai doktrin 8 kelompok non-Aswaja, seperti Rafidhah, Mu’tazilah, Dirariyah, Murji’ah dan lainnya. Baru kemudian ada 15 point pembahasan, dimana pengarang kitab yang bermazhab Syafi’i dan Asy’ari ini mendaras perbedaan Aswaja dengan kelompok lainnya, dalam masalah teologi, sifat Allah, kenabian, dan seterusnya. Beliau mengklaim ini berdasarkan kesepakatan jumhur ulama Aswaja.

Dalam poin kedua belas beliau membahas

‎“فِي معرفَة الْخلَافَة والامامة وشروط الزعامة”

"Pengetahuan tentang khilafah dan Imamah, serta Syarat Kepemimpinan".

Pada halaman 340-342 beliau mengupas bahwa mengangkat pemimpin itu sebuah kewajiban. Pada titik ini semua kitab Aswaja bersepakat mengenai perlunya pemimpin. Sampai di sini tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah HTI selalu menganggap yang wajib itu menegakkan sistem khilafah. Ini dua hal yang berbeda.

Yang satu bicara soal kepemimpinan, dan yang satu lagi bicara soal sistem pemerintahan. Seperti telah sering saya jelaskan, bahwa sistem khilafah yang dikoar-koarkan oleh HTI itu bukan saja isinya tidak baku, tapi juga khilafah ala Undang-Undang Dasar HTI itu berbeda dengan pembahasan para ulama klasik.

Nah, yang merupakan bagian dari ajaran Islam itu adalah doktrin mengenai kepemimpinan, bukan mengenai sistem pemerintahan. Itu sebabnya Kitab Al-Farqu Baynal Firaq dalam bahasan poin kedua belasnya tidak bicara mengenai sistem khilafah Aswaja, tapi kepemimpinan menurut Aswaja. Apalagi isi bahasannya hendak menegaskan poin penting perbedaan antara proses pemilihan dan persyaratan kepemimpinan Aswaja dengan kelompok lainnya. Juga ditegaskan posisi Aswaja mengenai konflik para sahabat tentang kepemimpinan. Sama sekali tidak bicara mengenai sistem pemerintahan.

Sekali lagi, jangan hanya melihat halaman daftar isi kitab, tetapi pahami isi kitab ini maka kita akan tahu bahwa tidak benar kitab ini menganggap sistem pemerintahan khilafah yang digembar-gemborkan HTI itu sebagai pokok ajaran Islam. Yang dibahas adalah kepemimpinan, bukan sistem pemerintahan.

Baca: Kesaksian dan Catatan Membungkam Jubir HTI, Hizbut Tahrir di Pengadilan

Berikut saya terjemahkan pembahasan keduabelas dari kitab ini, biar masyarakat umum tidak mudah tertipu oleh propagamda HTI yang hanya mengandalkan skrinsut halaman daftar isi kitab.

Mari kita simak bersama:

"Mengenai pokok ajaran kedua belas tentang khilafah dan imamah, mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) mengajarkan bahwa kepemimpinan itu wajib atas komunitas karena pengangkatan seorang pemimpin meniscayakan keberadaan hakim dan pemerintah. Seorang pemimpin menjaga anak buahnya, memimpin pasukan dan mengalokasikan pampasan perang, dan menghukum yang bersalah. Mereka mengatakan metode mengangkat kepemimpinan seorang imam itu dengan pemilihan berdasarkan ijtihad (al-ikhtiyar bil ijtihad), dengan mencari yang paling layak. Mereka mengatakan tidak ada nash dari Nabi mengenai mengangkat secara khusus orang tertentu, dan ini berbeda dengan pendapatnya kaum Rafidhah bahwa Nabi menunjuk kepemimpinan Ali, dengan riwayat yang sanadnya maqthu’ (terputus). Tapi jika memang ada riwayat penunjukkan Ali itu, maka riwayat senada tentang yang lain juga ada. Sesiapa yang membuat klaim tentang Ali berdasarkan riwayat yang tidak mutawatir, tidak bisa menolak riwayat serupa tentang Abu Bakar, atau orang lain, meski keabsahan mengenai riwayatnya dipertanyakan.”

‘Mereka (Aswaja) mengajarkan bahwa syarat menjadi pemimpin itu harus dari nasab suku Quraisy, yaitu keturunan dari Banu Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah, bin Alyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Dirariyah bahwa kepemimpinan boleh dijabat oleh semua orang Arab, atau budak yang sudah dimerdekakan, atau oleh orang non-Arab. Dan ini juga berbeda dengan pandangan kelompok Khawarij dimana pemimpin mereka dari Rabi’ah dan suku lain, yang ini semua bertentangan dengan Hadits Nabi: al-aimmah min Quraysh.’ "

...dst...dst

“Tidak diwajibkan seorang pemimpin itu ma’shum (terbebas dari dosa), dimana ini bertentangan dengan pandangan kelompok Syi’ah Imamiyah bahwa Imam itu harus ma’shum....”

...dst

”Mereka (Aswaja) berpandangan kepemimpinan itu hanya satu orang untuk semua wilayah Islam, kecuali ada pembatas di antara daerah seperti lautan, terhalang oleh musuh dimana dua daerah tidak mungkin saling bantu. Dalam kasus ini maka sah untuk mengangkat pemimpin lainnya yang layak di daerah tersebut.”

"Mereka (Aswaja) mengakui kepemimpinan Abu Bakar setelah Nabi Muhammad, dan ini berbeda dengan Rafidhah yang mengonfirmasi itu sebagai hak Ali, dan berbeda dengan kelompok Rawandiyah yang mengonfirmasi kepemimpinan Abbas setelahnya."

...dst...

"Mereka (Aswaja) berpandangan Ali di pihak yang benar dalam perang di Basrah, Siffin dan Nahrawan, dan memandang Talhah dan Zubair telah bertaubat dan menarik diri dari perang melawan Ali, dan Zubair dibunuh oleh Amr bin Jurmuz di Wadi Siba’ setelah menarik diri dari pertempuran, sementara Talhah dipanah dan dibunuh oleh Marwan bin Hakam."

"Mereka (Aswaja) mengatakan Siti Aisyah bermaksud menegakkan urusan dengan Ishlah antara dua kelompok tetapi Banu Dhabbah dan al-Azd tidak menghiraukan pandangan Siti Aisyah dan perang melawan Ali tanpa ijin Siti Aisyah, sehingga terjadilan perang Jamal. Mengenai perang Siffin, mereka (Aswaja) berkata kebenaran di pihak Ali, sementara Mu’awiyah dan pengikutnya keliru dalam hal penafsiran, sehingga mereka berdosa tapi tidak lantas menjadi kafir. Mereka (Aswaja) jugaberpandangan bahwa kebenaran di pihak Ali dalam proses tahkim, namun kedua arbitrer (Amru bin Ash dan Abu Musa Asy’ari) tidak berdosa dalam memakzulkan Ali dari posisinya, karena kesalahan salah satu arbitrer....."

...dst...

Demikian penjelasan dari kitab Al-Farqu Baynal Firaq. Bahkan isi pembahasan di atas juga ada perbedaan dengan isi Undang-Undang Dasar Khilafah yang dibuat oleh HTI. [dutaislam.com/ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB