Studi Al Munqidl Karya Al Ghazali: NU dan Kiai-Santri Melawan Kaum Ekstrimis
Cari Berita

Advertisement

Studi Al Munqidl Karya Al Ghazali: NU dan Kiai-Santri Melawan Kaum Ekstrimis

Duta Islam #02
Sabtu, 13 Juli 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Istigosah Kubro NU di Gelora Delta Sidoarjo. (Foto: indopos.co.id)
Oleh Ubaidillah Achmad

DutaIslam.Com - Kaum ekstrimis beranggapan, bahwa selalu menunjukkan dalil itu ciri kemegahan beragama dalam Islam dan menjadi bukti kealiman seseorang, namun tidak demikian bagi NU dan Kiai-Santri. Dalam tradisi pembelajaran di pesantren menegaskan, bahwa Al Ilmu biddirayah, laisa birriwayah. Artinya, Ilmu itu harus didasarkan riset, pembuktian secara rasio dan pengalaman indrawi manusia serta kontekstualisasi teks dalil, bukan hanya sekedar berdalil dengan klaim klaim kebenaran.

Prinsip NU dan Kiai-Santri ini merupakan cara untuk membaca kekerasan verbal kaum ekstrimis membohongi umat Islam untuk kehendak kuasanya atas nama Islam. Sikap NU dan Kiai-Santri ini menunjukkan kedewasaan dan kematangannya dalam keberagamaan dan memberikan pendampingan kepada umat dalam keberagamaan dan hidup berbangsa dan bernegara.

Prinsip NU dan Kiai-Santri ini tidak terlepas dari tradisi at-Turast yang selama ini menjadi sumber keilmuan dan pemikiran "tunggi" yang tumbuh subur di kalangan pesantren NU. Salah satunya, adalah at-turast yang bersumber dari Kitab Al Munqidl Min Ad Dlalal karya Imam Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al Ghazali. Kajian kitab ini, telah di bedah di Bait As Syuffah An Nahdliyah, Ds Njumput-Sidorejo Kec. Pamotan Kab, Rembang Jawa Tengah, pada hari Ahad, 16 Juni 2019.

Semangat mengkaji karya Al Ghazali ini, sudah berlangsung sejak KH. A. Tamamuddin Munji Bin Ismail Muhammad Kajen, yang menjadi modeling pesantren Bait As Syuffah An Nahdliyah Pamotan. Al Ghazali dalam Perspektif Kiai Tamam, telah membentuk kesadaran santri belajar secara benar supaya tidak menyesatkan pemahaman terhadap cara menggunakan teks dalil, relativitas filsafat dan ilmu pengetahuan.

Nalar dan Indera yang Tercerahkan
Pesan Al Ghazali ini penting, karena akhir akhir ini, banyak bermunculan model dakwah yang selalu menggunakan dalil, namun menjadi kontra produktif terhadap visi kenabian, yaitu visi untuk mencapai tujuan hidup bertauhid relasinya dengan kemanusiaan dan peradaban umat manusia. Misalnya, pola hidup berdasarkan kebenaran yang bersumber dari Allah yang disampaikan kepada para Nabi, yang menyinari nalar, indera dan perilaku hidup positif manusia.

Perilaku hidup positif, adalah yang bebas dari kuasa nafsu dan kepentingan golongan yang selalu mengedepankan pembenaran yang bersifat sementara, seperti kebenaran sementara dari dominasi imajinasi dan syahwat, madzhab pemikiran, pengikut Imam Ma'syum, logika dan argumentasi, pengakuan seseorang pada musyahadah dan mukasyafah.

Keempat kelompok di atas, selalu mengaku tidak bertaklid, namun dalam prakteknya adalah kelompok yang telah bertaklid buta. Pola berfikir yang seperti ini, menunjukkan pola berfikir yang melakukan pengandaian terhadap diri mereka yang terlalu tinggi dan menutupi kelemahan secara berlebihan, bertujuan untuk mendapatkan pengakuan publik, yang sebenarnya telah melakukan kebohongan publil.

Dari pandangan keempat kelompok di atas, Al Ghazzali tidak mempercayainya. Al Ghazali memilih mempercayai pengetahuan yang bersumber dari cahaya kenabian. Pengetahuan yang tidak datang dari Nabi bersifat nisbi dan terus mengalami perubahan dan pergantian prinsip yang tidak selamanya dapat dipercaya, karena dalam beberapa hal, telah menunjukkan contoh yang nyata, bahwa keempat kelompok di atas tidak percaya terhadap idenya sendiri dan memilih untuk bertaklid kepada keraguan yang mereka rasakannya.

Berkaca dari keempat kelompok "sumber semu" Ilmu pengetahuan di atas, telah menunjukkan kaca taklidnya sudah menjadi pecah dan rusak. Mereka mengetahui pola berfikir yang kusut yang tidak bisa dibenahi dengan cara pemilahan (talfiq) dan penggabungan (ta'lif). Puncaknya, akan merasakan sendiri kegalauan dan kesedihan atas pengetahuan dan keyakinannya yang tidak mampu membebaskan dari kegelisahan intelektualnya sendiri.

Kembali Kepada Cahaya Kenabian
Bagi Al Ghazali dalam kitab Munqidl, nalar, indera dan perilaku positif yang tercerahkan dan yang bebas dari hegemoni relativitas empat kelompok yang bertaklid buta di atas, adalah yang kembali kepada cahaya kenabian. Dari cahaya kenabian muncul sinar kewahyuan dan keutamaan jejak pengikut kenabian yang dalam konteks Indonesia, telah menguatkan Walisongo dan cucunya tetap istiqamah mempertahankan NU dan Pesantren. Cahaya kenabian ini, yang menjadi dasar makna perilaku anak cucu Adam membenarkan kebenaran dan menjauhi semua kebatilan.

Cahaya kenabian dapat menunjukkan ketidaksesuaian antara mereka yang berdalil justru menafikan kebaikan dan keutamaan. Cahaya kenabian mencakup kebenaran wahyu, akhlak Terpuji Nabi, universalitas kesadaran fitri, model kearifan Walisongo dan Syekh Ahmad Al Mutamakkin di Nusantara. Semua cakupan makna kenabian ini, merupakan pengetahuan yang sahih dan valid melampaui kebenaran relatif akal, pandangan tentang agama, klaim kebenaran bagi kelompok pemikiran yang membanggakan golongan sendiri (Ar Ruum/30: 32).

Al Ghazali mencontohkan pada pengikut bathiniyah, pengikut dzahiriyah, pengikut para filosof, pengikut Zindiq, pengikut ilmu kalam, pengikut kesufian, pengikut ahli ibadah, yang kesemuanya ini, adalah hanya mendapatkan rahasia dari yang diikutinya, yang bersifat sementara. Karenanya, untuk memvalidasi kebenaran keempat kelompok di atas dan aliran pemikiran, perlu kembali kepada cahaya kenabian dan kebenaran fitrah yang tidak hanya berdasarkan pada klaim kebenaran subjektif dan kebenaran komunal yang akan selalu menjadi virus keberagamaan umat Islam. [dutaislam.com/ed/gg]

Ubaidillah Achmad, Penulis buku Suluk Kiai Cebolek Dan Islam Geger Kendeng, Khadim Pesantren Bait As Syuffah An Nahdliyah Ds Sidorejo-Njumput Kec. Pamotan Kab. Rembang.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB