Para Penolak HTI dan Partai yang Dekat Pengasong Khilafah
Cari Berita

Advertisement

Para Penolak HTI dan Partai yang Dekat Pengasong Khilafah

Duta Islam #03
Senin, 22 Juli 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
HTI dan PKS. Foto: Istimewa.
Oleh Hasanudin Abdurakhman

DutaIslam.Com - Di zaman sekarang dibangun atau terbangun kesan, kalau orang menolak Hizbut Tahrir atau yang lebih dikenal dengan sebutan HTI, ia dianggap anti-Islam. Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Jokowi dianggap anti-Islam salah satu alasannya adalah karena membubarkan HTI dan membuat statusnya menjadi ilegal. Tapi apakah hanya Jokowi, yang bolehlah dianggap mewakili PDIP sekaligus kaum abangan, yang menolak HTI? Sebenarnya tidak demikian.

Kita harus memilah masalahnya menjadi dua, yaitu antara HTI dan gagasan khilafah. HTI adalah penganjur gagasan khilafah. Tapi HTI bukan satu-satunya penganjur gagasan itu. HTI hanya satu-satunya yang berani terang-terangan menganjurkannya. Yang lain diam-diam saja.

Yang cukup dekat dengan HTI dalam soal khilafah adalah Partai Keadilan Sejahtera atau PKS. Sebelum mendirikan partai orang-orang yang aktif dalam organisasi ini sudah lebih dahulu bergerak dalam suatu wadah yang sangat informal, yang bisa kita sebut jaringan bawah tanah, yang tentu saja tanpa nama. Di kalangan internal mereka menyebut diri Jamaah Tarbiyah. Substansi ajarannya sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Sebagaimana HTI, Jamaah Tarbiyah ini juga bergerak mendidik orang (kader) untuk berjuang menegakkan khilafah Islamiyah. Ini adalah negara transnasional yang tidak mengenal sekat bangsa. Mereka disatukan oleh identitas tunggal, yaitu Islam. Hanya saja, Jamaah Tarbiyah tidak membahas agenda itu di ruang terbuka.

Pihak-pihak lain seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah, dan sebagainya tidak menganjurkan tegaknya khilafah. Bagi orang-orang NU, misalnya, khilafah versi mereka adalah negara Republik Indonesia ini. Negara bertujuan untuk melindungi sekaligus membuat umat Islam sejahtera. Negara seperti Indonesia sudah menjalankan fungsi itu, sehingga negara ini sudah layak disebut khilafah, sehingga tidak diperlukan khilafah transnasional tadi.

Tapi itu adalah sikap formal. Bukan berarti dalam tubuh ormas-ormas tadi tidak ada yang punya gagasan soal khilafah. Ada! Keberadaan mereka melalui dua jalur, yaitu intrinsik dan infiltrasi. Bagaimana maksudnya?

Gagasan soal khilafah itu dibangun atas dasar dalil-dalil yang dikenal di kalangan pengkaji Islam. Ada yang berupa ayat Quran, hadis, ada pula hasil pemikiran ulama. Bagaimana dalil-dalil itu dimaknai, sangat tergantung pada tafsir pengkajinya. Yang pernah bersinggungan langsung dengan pemikir Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir saat belajar di Timur Tengah bisa saja terpengaruh. Bisa pula mereka membangun gagasan secara independen dari dalil-dalil yang mereka baca. Orang-orang seperti ini ada dalam ormas mana pun.

Kelompok kedua adalah produk infiltrasi. Baik Jamaah Tarbiyah maupun HTI sejak dulu aktif membina orang-orang yang sudah berafiliasi dengan ormas lain. Jadi ada kader NU yang HTI atau Tarbiyah, demikian pula di Muhammadiyah. Mereka tetap jadi kader di dua tempat. Itu memang disengaja oleh kedua gerakan tadi. Mereka memang berniat merebut NU dan Muhammadiyah.

Jadi, siapa yang menolak HTI? Di atas sudah saya sebut, bahwa secara formal NU dan Muhammadiyah menolak mereka. Alasannya, karena kedua organisasi ini menganggap NKRI adalah wadah final untuk umat Islam Indonesia. Ada lagi sejumlah organisasi lain yang lebih kecil. Selain itu, ada alasan yang lebih pragmatis, yaitu mereka merasa terganggu oleh infiltrasi organisasi itu. Dalam hal yang kedua ini mereka tidak hanya merasa terganggu oleh HTI, tapi juga oleh Jamaah Tarbiyah. Beberapa tahun yang lalu PP Muhammadiyah sampai pernah mengeluarkan surat edaran yang memperingatkan warganya soal adanya infiltrasi itu.

Menariknya, Jamaah Tarbiyah juga menolak HTI. HTI mereka anggap menyimpang, termasuk dalam hal akidah. Saya pernah menjadi kader Jamaah Tarbiyah saat masih jadi mahasiswa di dekade 90-an. HTI yang waktu itu belum mendirikan organisasi formal berusaha merekrut pengikut di kampus-kampus. Jamaah Tarbiyah juga melakukan hal yang sama. Sederhananya, mereka bersaing berebut pengaruh. Saya waktu itu pernah ditugaskan untuk membendung pengaruh HTI itu. Sebelum berangkat ke sebuah acara di mana saya akan berhadapan langsung dengan kader HTI, saya diberi pengarahan oleh tokoh penting Jamaah Tarbiyah.

Tapi kenapa Mardani Ali Sera bisa bersatu dengan Ismail Yusanto dalam gerakan ganti presiden tempo hari? Boleh jadi keduanya sudah berubah. Saya mendeteksi perubahan mendasar pada Jamaah Tarbiyah. Dulu sejauh yang bisa saya pahami, mustahil mereka akan terlibat dalam pemerintahan yang mereka anggap sesat (taghut). Tapi kini mereka terlibat, baik di legislatif maupun eksekutif. Menurut seorang rekan saya yang kader PKS, perdebatan untuk memutuskan berdiri atau tidaknya partai sangat keras.

Tapi boleh jadi pula itu sifatnya sementara saja. Sangat sering terjadi, gerakan-gerakan Islam bersatu ketika ada musuh bersama. Setelah musuh bersama itu dikalahkan, mereka akan cakar-cakaran dengan sesama.

Jadi, yang menolak HTI sebenarnya bukan hanya kalangan abangan-sekuler. Orang-orang Islam pun banyak yang menolak. Termasuk yang sangat dekat dengan mereka. [dutaislam.com/pin]

Hasanudin Abdurakhman, cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia. Disadur dari Detik.com dengan judul asli 'Para Penolak HTI'.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB