Radikalisme. Ilustrasi: Istimewa. |
Hal ini disampaikan Direktur pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamli usai menjadi pembicara dalam Dialog pelibatan civitas akademika di kampus Universitas Jember, Rabu (24/07/2019) lalu.
Oleh karena itu, Hamli meminta sejak dini kampus harus memberikan pemahaman terkait agama dan berbagai masalah sosial budaya serta menumbuhkan rasa nasionalisme kepada mahasiswa.
"Misalnya di saat penerimaan mahasiswa baru. Kampus juga diminta aktif membuat regulasi yang jelas di bidang kegiatan kemahasiswaan," tuturnya.
Terpisah, Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan bakal mendata Nomor telepon dan akun media sosial (medsos) milik dosen, pegawai, dan mahasiswa di kampus akan di pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Pendataan ini guna menjaga perguruan tinggi dari paparan radikalisme dan intoleransi.
Dengan pendataan itu, lanjut Nasir, maka jika ada ujaran tentang radikalisme atau intoleransi yang mereka lakukan akan bisa dilacak melalui media sosial atau nomor teleponnya.
"Itu baru kita lacak. Oh, ternyata mereka punya jaringan ke organisasi ini," ujar Nasir dalam konferensi pers penerimaan mahasiswa baru di Kantor Kemenristekdikti, Jumat (26/07/2019) dikutip dari Republika.co.id.
Namun jika tak ada unggahan tentang radikalisme atau intoleransi, maka tidak akan dilacak.
Nasir menyatakan tak bermaksud membatasi aktivitas mahasiswa, seperti demonstrasi atau kebebasan berpendapat. Tapi ia tak mau jika dalam demonstrasi digunakan untuk mendukung radikalisme atau intoleransi. Salah satu kasus yang ramai dalam masalah ini adalah Prof Suteki, guru besar dari Univesitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, yang dinonaktifkan tahun lalu. [dutaislam.com/pin]