KH. Ahmad Dahlan Tremas (Adik Syekh Mahfudz Tremas): Guru dan Inspirator Nama Pendiri Muhammadiyah
Cari Berita

Advertisement

KH. Ahmad Dahlan Tremas (Adik Syekh Mahfudz Tremas): Guru dan Inspirator Nama Pendiri Muhammadiyah

Duta Islam #02
Kamis, 25 Juli 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Makam KH Sholeh Darat Semarang dan KH Ahmad Dahlan Tremas. (Foto: NU Online)
Oleh Ahmad Baso

DutaIslam.Com - Anda tahu siapa gurunya KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, hingga yang terakhir ini ganti nama dari Muhammad Darwis Yogyakarta menjadi KH. Ahmad Dahlan karena mengikuti nama gurunya itu?

Ya dialah Kiai Haji Ahmad Dahlan Tremas – dikenal pula dengan sapaan “as-Samarani” (yang bertempat tinggal di Semarang). Salah seorang ulama ahli falak keturunan pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Murid KH. Saleh Darat Semarang ini dikenal sebagai seorang penulis kitab ilmu falak berjudul Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati, Bulughu-l Wathar dan Natijatu-l-Miqat.

Kiai Ahmad Dahlan lahir di Tremas, Pacitan, sekitar tahun 1279 H/1862 dari pasangan KH. Abdullah bin KH. Abdul Mannan Dipomenggolo dan Nyai Siti Aminah. Kakeknya, KH. Abdul Manan Dipomenggolo (wafat 1862), adalah pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, di tahun 1830. Sementara ayahnya, KH. Abdullah, melanjutkan kepemimpinan pesantren dari tahun 1862 hingga wafatnya di Mekah pada tahun 1894. Beliau mengantar keempat putra-putranya,  Mahfuzh, Ahmad Dahlan, Dimyathi dan Abdurrozak, naik haji dan belajar selama bertahun-tahun di Mekah. Kecuali Syekh Mahfuzh Tremas, mereka kembali ke Tanah Air di penghujung tahun 1896.

Perjuangan Kiai Abdullah tidaklah sia-sia. Semua putra beliau menjadi ulama besar. Syekh Mahfudz Tremas (wafat 1920), adalah guru besar dan ulama kenamaan di Mekah. KH. Dimyathi menjadi pelanjut kepemimpinan Pesantren Tremas. KH. Muhammad Bakri menjadi ulama ilmu al-Quran. KH. Abdurrozaq jadi ulama dan mursyid Tarekat Syadziliyah yang berbasis di Tremas. Sementara KH. Ahmad Dahlan sendiri menjadi ulama falak.

Sejak kecil Kiai Ahmad Dahlan belajar pertama kali di pesantren ayahnya di Tremas, lalu menuju Mekah belajar pada ulama-ulama Hijaz termasuk kepada sang kakak beliau sendiri, Syekh Mahfuzh Tremas. Di kota suci itu beliau bersahabat erat dengan Syekh Muhammad Hasan Asy’ari asal Bawean (wafat sekitar tahun 1921 di Pasuruan, Jawa Timur) yang dikenal juga ulama ahli falak dengan karyanya Muntaha Nataiji-l-Aqwal. Keduanya kemudian berangkat menuju beberapa wilayah di Tanah Arab dan menuju ke Al-Azhar. Di Kairo inilah keduanya bertemu dua ulama besar Nusantara yaitu Syekh Jamil Djambek dan Syekh Ahmad Thahir Jalaluddin Al Azhar dan secara khusus mengkhatamkan kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisabi-l-Kawakib ala-r-Rashdi-l-Jadid, sebuah kitab induk ilmu falak yang ditulis Syekh Husein Zaid al-Mishri dari awal abad 19.

Usai belajar di kampus al-Azhar Kiai Ahmad Dahlan Tremas berangkat menuju Mekah dan berpamitan pada kakaknya untuk pulang ke Jawa. Sebelum berangkat pulang bersama Syekh Hasan Asy’ari, beliau diberi pesan oleh kakaknya untuk mampir ke Darat, Semarang, untuk berguru pada KH. Muhammad Saleh Darat.

Selama nyantri di Pesantren Darat, Semarang, beliau menjadi santri favorit, dan diminta membantu gurunya mengajar. Kiai Abu Bakar Kediri adalah salah seorang murid beliau, yang selalu menulis dalam kitab-kitab yang dipelajarinya dengan kata “Syaikhani” yang berarti KH. Saleh Darat dan KH. Ahmad Dahlan Tremas. Pendiri organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, juga berguru kepada kedua ulama besar ini. Waktu nyantri di Semarang, Kiai Ahmad Dahlan masih menggunakan nama H. Muhammad Darwis. Setelah kembali ke Yogyakarta, beliau kemudian ganti nama menjadi KH. Ahmad Dahlan – mengikuti nama gurunya tersebut.

Kiai Ahmad Dahlan mengajar ilmu falak dan sempat menyelesaikan tiga buah kitab falak, yaitu Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati (selesai ditulis pada tahun 1901), Natijatu-l-Miqat dan Bulughu-l Wathar (selesai ditulis pada tahun 1903).

Kitab Natijatu-l-Miqat berisi penggunaan rubu’ mujayyab (alat hitung tradisonal yang didesain dengan bentuk seperempat lingkaran sehingga membetuk sudut siku-siku) dalam penentuan awal waktu salat dan arah kiblat. Kitab ini merangkum pemikiran guru-gurunya, seperti Syeikh Husain Zaid Mesir, Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Misri, Syekh Muhammad bin Yusuf al-Makki, hingga KH. Saleh Darat. Pada tahun 1930 kitab ini disyarah atau diberi komentar oleh Syekh Ihsan Jampes Kediri (wafat 1952) dalam kitabnya Tashrihu-l-Ibarat. Sedangkan kitab Tadzkiratu-l-Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal A’mali-l-Falakiyati berisi perhitungan ijtima’ dan gerhana dengan mabda’ (basis perhitungan) kota Semarang, dengan menggunakan sistem haqiqi taqribi. Sejumlah ulama ilmu falak merujuk kepada kitab beliau ini. Di antaranya KH. Abdul Jalil Hamid Kudus (wafat 1974) dalam karyanya Fathu-r- Ra’uf al-Mannan, KH. Mohammad Wardan, seorang ulama ahli falak organisasi Muhammadiyah dalam karyanya Hisab Haqiqi, dan KH. Yunus Abdulloh Kediri, pengarang kitab Risalatu-l-Qamarain.

Sementara kitab Bulughu-l Wathar membahas perhitungan gerhana bulan dan gerhana matahari, dengan memakai sistem haqiqi tahqiqi. Konon kitab ini disebut sebagai kitab hisab falak pertama dengan sistem tahqiqi yang ditulis oleh ulama Indonesia. Kitab ini ditulis bersamaan dengan kitab Muntaha Nataiji-l-Aqwal yang ditulis sahabat beliau, Syekh Hasan Asy’ari Bawean. Kedua kitab ini merujuk kepada kitab al-Mathla’ as-Sa’id karya Syekh Husain Zaid al-Mishri.

Karya-karya Kiai Ahmad Dahlan Tremas, Syekh Hasan Asy’ari Bawean maupun Kiai Saleh Darat mempengaruhi perkembangan ilmu falak, serta membuka dinamika ilmu falak dalam dunia keilmuan pesantren. Mereka mempunyai kesadaran untuk mengabadikan disiplin ilmu mereka itu dalam bentuk karya monumental hingga bisa dibaca dan dijadikan pegangan oleh generasi peminat kajian ilmu falak di masa-masa selanjutnya. Dengan karya-karya mereka, masa depan ilmu falak tetap akan cerah di Indonesia, dan tidak akan surut.

Kiai Ahmad Dahlan menikah pertama kali dengan Nyai Ummu Kulsum Semarang, dan dikaruniai seorang putra bernama Ahmad (1899-1976). Putra beliau ini – dikenal dengan nama KH. Ahmad al-Hadi – kemudian menjadi ulama terkenal di Bali, pendiri pesantren di Kampung Timur Sungai, Jembrana, tahun 1930 dan pendiri NU pertama di Loloan, Negara, Bali, di tahun 1934.
Setelah Kiai Saleh Darat wafat di tahun 1903, Kiai Ahmad Dahlan meneruskan perjuangan gurunya itu dalam mengasuh Pesantren Darat selama delapan tahun lebih.

KH. Ahmad Dahlan Tremas wafat pada hari Ahad tanggal 7 Syawal tahun 1329 H/ 1911 dan dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang, dimana pusara beliau berjejer dengan makam gurunya, KH. Saleh Darat Semarang. [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB