Fakta Sejarah Telah Jelas: Stop Serukan Khilafah!
Cari Berita

Advertisement

Fakta Sejarah Telah Jelas: Stop Serukan Khilafah!

Duta Islam #04
Selasa, 25 Juni 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Penjelasan stop serukan khilafah (photo: sindonews)
Oleh: Iin Sholihin

DutaIslam.Com - Di dalam literatur sejarah peradaban Islam, tidak sedikit teks-teks kesejarahan yang berpandangan bahwa periode sahabat merupakan zaman keemasan. Sehingga di era sekarang, muncul kelompok yang berkeinginan menjadikan periode sahabat sebagai rule model idaman dalam segala hal, termasuk sistem pemerintahan, yakni sistem khilafah.

Di Mesir, kelompok ini tergabung dalam wadah "ikhwanul muslimin. Meraka gencar mengumandangkan slogan-slogan yang merindukan kembalinya negara Islam. Sepanjang pemilu di Mesir, slogan-slogan semisal “Wahai Negara Islam, Kembalilah!”, “Islam Adalah Solusi”, “Islam, Mesti Islam!”, terus didengungkan.

Bagi pendukung khilafah, berdirinya negara Islam menjadi instrument terbentuknya sistem khilafah dan tegaknya syariat Islam. Para penyeru penerapan syariat itu, sebagaimana telah kita sebutkan, selalu menyerukan slogan bahwa Islam adalah agama dan negara.

Menurut mereka, syariat Islam dipahami sebagai mata rantai penghubung antara konsep Islam sebagai agama dan konsep Islam sebagai negara. Hubungan antara keduanya bukanlah hubungan antara dua konsep yang berbeda, tetapi bagi mereka penegasan bahwa keduanya adalah dua wajah dari satu mata uang yang sama, yaitu Islam yang benar.

Namun Farag Fouda berpandagan lain, bahwa penerapan syariat Islam itu sendiri sesungguhnya bukanlah esensi dari Islam. Syariat telah diterapkan secara penuh dan terjadilah apa yang terjadi. Oleh sebab itu, yang lebih penting dari penerapan syariat itu sendiri adalah menetapkan ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang adil dan berkesesuaian dengan semangat Islam.

Ia menilai peristiwa yang menimpa di Sudan, cukup menjadi bukti riskannya menampilkan paras Islam yang sanksional. Hal itu terjadi bilamana seorang pemimpin memaksakan penerapan syariat Islam dalam sebuah negara. Dengan segera, mereka menerapkan sanksi hudud di tengah masyarakat yang terancam kelaparan.

Akibatnya, para pendukung penarapan syariat sendiri menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya syariat Islam. Sangat ironi bukan?.

Bagi Fouda, yang paling utama ditampilkan dari wajah Islam adalah hal yang paling pokok, bukan dari cabang. Diawali dari hal yang paling esensial, bukan permukaan luarnya saja. Mengutamakan asas keadilan di atas sanksi-sanksi. Begitu juga dengan mendahulukan stabilitas di atas qisas dan menggaransi rasa aman di atas teror serta menjamin perut kenyang daripada memotong tangan. (hal 45)

Tidak ada sistem kenegaraan yang baku dalam Islam

Dalam pandangan Fouda, selama kesejarahan peradaban Islam, tidak ada ketentuan yang baku dan jelas terntang sistem pemerintahan pada masa khulfa Rosyidin. Ketidakjelasan ini secara jelas muncul pada masing-masing awal periode kepemimpinan sahabat.

Di samping itu, al-Quran sendiri tidak menjelaskan ketentuan spesifik tentang tata cara pemilihan pemimpin. Nabi pun tidak mewasiatkan apa-apa kepada sahabat-sahabtnya terkait perkara itu. Sehingga yang terjadi adalah polemik antara Saad bin Ubadah yang hendak diangkat kaum Anshar menggantikan nabi dengan Abu Bakar yang dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah Al-Jarrah.

Setelah melalui polemik panjang, akhirnya Abu Bakar terpilih menggantikan nabi. Di sini tidak ada penggunaan hadist nabi (kalaupun benar ada) dalam pencalonan. Jika tidak demikian, tidak mungkin akan terjadi perdebatan sengit dan pertentangan keras di dalam pertemuan Tsaqifah. Kalau ada ketentuan, pasti Ali bin Abi Thalib tidak akan menolak mengakui Abu Bakar dan segera membaiatnya (hal.77).

Suksesi pemilihan pemimpin pada masa Abu Bakar, menurut Fouda, tidak dijadikan sebagai rule model yang paling benar dalam sejarah suksesi kepemimpinan Islam. Terbukti, Abu Bakar menjelang akhir kepemimpinannya, ia mewasiatkan penggantinya kepada Umar dengan surat tertutup atau yang lebih dikenal dengan Majlis Ahl al-Halli Wa al-‘Aqdi.

Atas dasar itulah, Umat Islam membaiat Umar bin Khattab sebagai khalifah baru yang menggantikan Abu Bakar. Kemudian model suksesi tersebut pada masa Umar diperbaharui lagi. Yakni dengan menunjuk satu di antara enam orang pemuka sahabat, yaitu Ali, Utsman, Thalhah, al-Zubair, Ibnu Auf, dan Saad bin Abi Waqash. Tata cara di masa Umar juga berbeda dengan yang dilakukan Muawiyah, yang melakukan pendekatan senjata, serta Yazid yang mewariskan kekuasaannya. (hal. 18).

Fouda melihat  khilafah dalam sejarahnya tak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Ia mempertanyakan label "Islam” khilafah. Kemudian ia berusaha menunjukkan bahwa yang sering tampak dari sejarah politik Islam justru hal-hal yang berlawanan dengan Islam. Faktanya, tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al-Rasyidun wafat karena pembunuhan politik yang terjadi di tengah polarisasi atau perang saudara di kalangan pengikut-pengikut Nabi yang, menurut riwayat, telah dijamin akan masuk surga.

Maka menurut Fouda, sudah sepatutnya memisahkan Islam dari praktik kekuasaan atas nama Islam. Praktik khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakan tolok ukur ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Terlepas dari sosok Fouda yang kontrovensi dan oleh sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar dinilai telah keluar dari Islam. Sebab pikiran-pikirannya dianggap telah menghujat agama. Sehingga, ia ditembak mati oleh kelompok islamis radikal di Mesir.

Buku yang berjudul “Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” karya Farag Fouda ini manwarkan pembacaan baru tentang sejarah khilafah. Hal itu sebagaimana dikatakan Buya Syafi'i Maarif dalam epilognya. Buku ini hadir untuk melihat sejarah lebih obyektif, agar kita tak terjebak pada pemberhalaan sejarah. Selamat membaca. Download bukunya di sini. [dutaislam.com/in]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB