Hebatnya Tradisi Warisan Ulama Dahulu Menghidupkan Malam-malam Terakhir Ramadhan
Cari Berita

Advertisement

Hebatnya Tradisi Warisan Ulama Dahulu Menghidupkan Malam-malam Terakhir Ramadhan

Duta Islam #02
Senin, 27 Mei 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi berdoa. (Foto: istimewa)
Oleh M Dalhar

DutaIslam.Com - Pelan-pelan Ramadan beranjak mulai meninggalkan kita. Seakan tidak terasa, puasa telah memasuki hitungan sepuluh hari yang terakhir. Secara umum kelesuan beribadah mulai tampak di beberapa masjid atau musholla. Padahal pada hari-hari yang terakhir terdapat banyak keutamaan yang diraih.

Kelesuan malam-malam Ramadan tampak dari berkurangnya jamaah yang menunaikan salat tarawih. Ada banyak faktor yang menyebabkannya. Sekurang-kurangnya, kelesuan terlihat dari lamanya lantunan syair atau kasidah (pujian) yang dilantunkan takmir masjid dalam menunggu jamaah. Pujian di antara adzan dan iqomat dapat dimaknai sebagai isyarat bagi para jamaah agar segera merapat ke masjid. 

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Ramadan dibagi menjadi tiga bagian. Sepuluh hari pertamanya adalah rahmat, sepuluh hari yang kedua penuh ampunan (maghfiroh), dan sepuluh hari ketiga adalah pembebasan dari api neraka (itqun mina an-nar). Pada sepuluh hari yang terakhir juga Nabi Muhammad Saw menambah intensitas ibadahnya dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Hal itu menjadi isyarat bahwa di antara malam sepuluh hari yang terakhir adalah malam diturunkannya lailatul qadar. Ada banyak doa mustajab yang hendaknya diamalkan agar mendapatkan kemuliaan malam seribu bulan.

Begitu besar keutamaan pada sepuluh hari terakhir, biasanya banyak masjid atau musholla yang menyelenggarakan tambahan ibadah, yaitu shalat tasbih berjamaah. Tujuannya adalah untuk menghidupkan malam Ramadan. Salat ini dilakukan di antara salat tarawih dan witir. Sudah barang tentu, waktu yang dihabiskan menjadi lebih lama dari biasanya. Bagi musholla yang sudah rutin melaksanakannya, bukan sesuatu yang mengejutkan atau memberatkan karena sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun.

Di samping itu, pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir warga juga membuat menu nasi atau asahan. Nasi beserta dengan lauknya disajikan dalam wadah besar kemudian disantap bersama usai salat witir berjamaah. Satu asahan bisa dimakan tiga sampai lima orang. Kondisi tersebut berbeda dari malam-malam yang lain di mana warga atau jamaah cukup membawa snack atau makanan ringan secara bergiliran.

Adanya "kewajiban" membuat asahan secara bergiliran atau snack ringan setiap malam secara tidak langsung menjadi pengikat bagi para jamaah untuk berangkat ke masjid. Selain itu, secara bersamaan akan terjalin komunikasi dan kepedulian yang dapat meningkatkan solidaritas sesama warga dan sesama muslim. Hal tersebut turut berkontribusi pada kuatnya ikatan kekeluargaan bagi masyarakat di pedesaan.

Program Ramadan yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan akan menjadi sesuatu yang tidak memberatkan bagi masyarakat. Kegiatan Ramadan berbasis pada tradisi yang dijalankan secara konsisten akan mudah diingat dan diwariskan kepada generasi penerus. Karena sudah menjadi kebiasaan, sehingga tidak diperlukan koordinasi atau rapat kegiatan. Cukup dikomunikasikan saja, semuanya sudah akan berjalan sebagaimana yang sudah berjalan.

Misalnya saja tradisi Ramadan yang lain, pembacaan syair akidah (aqo'id 50) yang dibaca setelah shalat witir. Syair berbahasa Jawa tersebut dilantukan dengan lagu yang berbeda-beda memiliki pelajaran yang sangat penting. Sayangnya, banyak jamaah, terutama generasi muda yang tidak mengikutinya. Hal semacam itulah yang perlu diantisipasi.

Contoh yang lain adalah tradisi tetek atau tongtek, membangunkan sahur. Terlepas dari perubahan yang terjadi, tradisi tersebut pada awalnya adalah syiar dalam membangunkan orang-orang untuk sahur. Atau dengan kata lain, tongtek pada dini hari adalah bagian dari dakwah.

Nilai-nilai agama yang dikemas dalam bingkai tradisi menjadikan ritual agama hidup. Budaya dapat menjadi penyangga tegaknya nilai-nilai agama di suatu komunitas. Dengan demikian, kita wajib berterima kasih kepada para ulama terdahulu yang mewariskan tradisi-tradisi ini guna mensyiarkan agama Islam rahmatan lil 'alamin. [dutaislam.com/gg]

M Dalhar, nahdliyin Banjaragung.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB