Pemilu dan Para Pejuang Khilafah: Antara Mengharamkan, Menikmati dan Adu Domba
Cari Berita

Advertisement

Pemilu dan Para Pejuang Khilafah: Antara Mengharamkan, Menikmati dan Adu Domba

Duta Islam #04
Jumat, 26 April 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Pendukung khilafah (sumber: istimewa)
Oleh: Lufaefi

DutaIslam.Com - Pemilu 2019 menjadi sorotan dunia, bukan saja karena keberlangsungannya yang aman dan damai, namun juga sebab meningkatnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengikuti kontestasi demokrasi lima tahunan itu. Ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia karena jumlah pemilih bertambah menjadi 80% dari yang sebelumnya hanya 70%. Setidaknya, itu menurut Sania Mashobi, dilansir dalam Liputan6.

Namun, kita meski mengajukan pertanyaan, apa sebenarnya yang mendorong pemilih Indonesia meningkat? Siapa sebenarnya mereka  yang 10% tersebut? Apa motif dari pemilih dengan jumlah 10% itu? Benarkah itu menjadi bukti bahwa demokrasi kita semakin membaik?

CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, sebagaimana dilansir Kompas pada 2018, menilai, bahwa isu populisme agama akan tetap ditonjolkan pada Pemilu 2019 mendatang. Artinya, bukan hal mengada-ada jika dikatakan bahwa dorongan yang muncul dari masyarakat dalam pemilu itu (terutama dari 10% yang sudah dijelaskan, dan ini dugaan kuat) ialah semangat politik identitas keagamaan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Hal di atas setidaknya dapat dibaca dengan munculnya tokoh-tokoh Gerakan radikal yang mendukung Paslon Presidan dan Wakil Presiden tertentu. Rupanya, keberhasilan isu agama di DKI pada Pilgub 2017 lalu menginspirasi kelompok-kelompok tersebut untuk meneruskannya di panggung Nasional.

Salah satu bentuk dukungan itu dapat disinyalir bukan saja pasca Pemilu, namun sebelum pemilu. Dilansir oleh Detik.com, Ismail Yusanto (Jubir HTI) bersepakat akan mendukung salah satu partai politik dalam Pilpres 2019. Di sinilah blunder HTI. Satu sisi mengharamkan demokrasi, namun di sisi lain menikmatinya dengan lahap tanpa henti.

Tak hanya kelompok HTI, beberapa kelompok yang memiliki visi yang sama, yaitu tegaknya negara Islam dan atau khilafah islamiyyah, pun berada di barisan pasangan paslon tertentu. Kelompok tersebut ialah FPI dan FUI. Dua kelompok ini militansinya tidak diragukan lagi, utamanya dalam amal makruf nahi mungkar (setidaknya amal maruf nahi mungkar versi mereka), yang sebenarnya menjadikan demokrasi sebagai batu loncata untuk mencapai cita-cita negara Islam (NKRI Bersyariah: versi FPI. Khilafah islamiyyah: versi HTI/FUI).

Mengutip pendapat Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta, dikatakan bahwa Pemilu tahun 2014 berbeda dengan tahun 2014, yaitu karena di tahun 2019 yang dimainkan sebagian kelompok bukanlah gagasan, akan tetapi isu-isu keagamaan. Isu ini memang menjadi menarik setelah dimainkan dan berhasil di salah satu daerah. Isu tersebut dibawa oleh sekelompok yang 'menggilai' politik identitas keagamaan. Dan, jika dikatakan - agakanya kelompok ini bukan lain adalah kelompok-kelompok yang paling nyaring dalam menolak Pemimpin non Islam dalam kontestasi Pilkada di daerah-daerah.

Kini, kelompok-kelompok 'islamis' menemukan momentumnya kembali di Pemilu 2019. Gencarnya Pemerintahan dalam menangkal kelompok-kelompok radikal, ekstrim, dan konservatif, membuat kelompok ini merasa perlu menggagalkan paslon tertentu untuk menjadi Wakil Negara. Ditambah dengan keputusan pemerintah kepada pembubaran salah satu kelompok radikal HTI, membuat semangat untuk menggagalkannya semakin militan.

Apa yang dilakukannya pun bukan saja teriak " Ganti Presiden", namun mencoba membuat 'adu domba' antar satu anak bangsa dengan bangsa yang lain pra dan bahkan pasca Pemilu berlangsung. Ditambah dengan Paslon dukungannya yang mendapatkan dukungan lebih kecil dari Paslon yang tidak didukung, membuat hasratnya memuncak untuk jangan sampai lagi Indonesia dipimpin oleh orang hang anti kelompok-kelompok tersebut.

Pada akhirnya, Pemilu 2019 menjadi kesempatan emas kelompok radikal untuk mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa, dengan alasan klasik: tidak menerapkan hukum Allah dan telah lama kafir. Mereka enggan mau melihat Indonesia satu namun dalam dekapan kekafiran demokrasi. Mereka enggan nyaman hidup dalam satu kesatuan sistem yang tidak diinginkan Islam, dengan simbol-simbolnya, Pancasila, UUD, dan NKRI.

Meskipun demokrasi adalah produk haram, namun sistem ini dilahap dengan kenyang oleh kelompok islamis, radikal, untuk mencapai cita-citanya. Melalui salah satu paslon tertentu, mereka menyusup dan menggelindingkan bola panas agar meledak di tengah-tengah damainya pemilu.

Isu yang mengarah kepada kegaduhan antar masyarakat terus dikobarkan. Menari-nari dalam panasnya politik. Menebar paku tajam di tengah karpet sejuknya bangsa Indonesia. Hingga, jika saatnya warga telah terkoyak dan terpecah, mereka akan teriak "demokrasi telah gagal, dan harus diganti dengan khilafah islamiyyah, dengan NKRI Bersyariah, dan Ganti Presiden dengan Khalifah yang satu!". Mereka bukan memperbaiki Demokrasi, tapi justru mengotori demokrasi.

Berhati-hatilah! [dutaislam.com/in]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB