Menolak Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah Dhalalah
Cari Berita

Advertisement

Menolak Bid’ah Hasanah adalah Bid’ah Dhalalah

Senin, 01 April 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah

Oleh Habib Mundzir Al-Musawa

DutaIslam.Com - Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan bid’ah dhalalah, dan bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat khulafa’urrasyidin.

Nah, di antaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw dan dilakukan oleh khulafa’urrasyidin, dan Rasul Saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin.

Bagaimana sunnah Rasul Saw? Beliau Saw membolehkan bid’ah hasanah, bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin? Mereka melakukan bid’ah hasanah, maka penolakkan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul Saw.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan kitab Al-Qur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Qur’an dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah Saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma’ atau kesepakatan pendapat para sahabat radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah Saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. ini pun tak pernah ada perintah Rasul Saw untuk membukukannya, tak pula khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul Saw dan memberikan klasifikasi hukum hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah perbuatan bid’ah namun bid’ah hasanah.

Demikian pula ucapan “radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu disebut dalam Al-Qur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah, namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul Saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh madzhab mengikutinya.

Dan ini merupakan bid’ah hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Al-Qur’an yang di kasetkan, di-CD-kan, program Al-Qur’an di handphone, Al-Qur’an yang diterjemahkan, ini semua adalah bid’ah hasanah.

Bid’ah yang baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Qur’an, untuk selalu membaca Al-Qur’an, bahkan untuk menghafal Al-Qur’an dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Al-Qur’an tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam? Al-Qur’an masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, di hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu versi Al-Qur’an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Qur’an dan hancurlah Islam.

Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Qur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits–hadits Rasulullah Saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul Saw yang telah membolehkannya, beliau Saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal-hal baru yang berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau Saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (bid’ah dhalalah).

Saudara - saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan - ucapannya adalah Mutiara Al-Qur’an, sosok agung Abubakar Asshiddiq ra berkata mengenai bid’ah hasanah: “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra: ”....bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah Saw??” Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal–hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt.

Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah.

Dan Rasul Saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang maksudnya berpeganglah erat–erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka).

Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah


1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)

Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi Saw yang berbunyi: “seburuk - buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal – hal yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw, atau perbuatan sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: “Barang siapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”. (Shahih Muslim hadits No.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)

Penjelasan mengenai hadits: “Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat–buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya”.

Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan - kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau Saw: “semua yang baru adalah bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.

Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik - sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah

Mengenai hadits “bid’ah dhalalah” ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur (atau pula ayat: “Sungguh telah Ku-pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim), atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul Saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Kemudian bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits? Atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam? [dutaislam.com/ab]

Sumber: Buku Kenalilah Akidahmu - Habib Mundzir Al-Musawa (Download PDF)

cover buku bid'ah hasanah habib mundzir
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB